Skip to main content

Review Artikel Liberalisme Politik John Rawls



John Rawls, bernama lengkap John Borden Rawls (1921-2002), adalah filsuf asal Amerika yang pemikirannya banyak dipengaruhi Immanuel Kant. Argumen-argunen yang ia miliki selalu dibangun dari telaah sejarah secara mendalam yang didasari pada wawasan keilmuan serta disiplin yang beragam yang ia geluti seperti ilmu ekonomi dan ilmu filsafat. Seusai perang Dunia II ia mengajar sebagai profesor filsafat berturut-turut di Universitas Princeton, Universitas Cornell, dan Massachussets Institute of Technology (MIT). Sejak tahun 1962 ia mengajar di Universitas Harvard hingga masa pensiunnya. 
Pada masa remajanya, sesaat setelah iamenyelesaikan studinya di Princeton, Rawls sempat menjadi tentara, Ia sempat menyaksikan apa yang tenjadi di kawasan Pasifik dan juga sempat ditugaskan di Nu Guini, Filipina dan Jepang. ia juga menyaksikan ketika Amerika membombardir Hiroshima pada 1945. Kelak lima tahun pasca pemboman itu Rawls mengkritik keras tindakan tersebut lewat artikelnya di jurnal politik Amerika, Dissent. Sejak saat itu di Universitas Harvard sekitar tahun 60-an, ia mulai mengkampanyekan anti-perang dalam sebuah Konferensi Anti Perang di Washington saat Amerika berusahan\ menguasai Vietnam.
Rawls keluar dan tentara pada 1946, dan Ia lalu kembali ke almamaternya, Princeton untuk menulis disertasi doktoralnya di bidang flisafat moral. Tahun 1949 ia menikah dengan Margaret Fox, seorang pelukis. Mereka dikarunia lima orang anak. Di akhir masa studinya di tahun 1949-1950, Rawls mengambil kursus di bidang teori politik, yang kelak menjadi batu pertama penulisan karya besarnya tentang keadilan, A Theory of Justice (Teori Keadilan), yang diterbitkan pada tahun 1971 (jadi Rawls telah mempersiapkan bukunya itu dalam kurun waktu 20 tahun). A Theory of Justice pun menjadi salah satu buku filsafat dan abad ke-20 yang paling banyak ditanggapi dan dikomentari, bukan saja di kalangan filsafat melainkan dari para ahli ekonomi dan politik.

Gagasan Nalar Publik & Kebutuhan Nalar Publik – Justifikasi Umum dan Otonomi Politis
Dua prinsip keadilan Rawls yang merupakan solusi bagi problem utama keadilan adalah Pertama, prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty) mencakup :
 Kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan politik (hak bersuara, hak mencalonkan diri dalam pemilihan).
 Kebebsan berbicara (termasuk kebebasan pers).
 Kebebasan berkeyakinan (termasuk keyakinan beragama).
 Kebebasan menjadi diri sendiri (person).
 Hak untuk mempertahankan milik pribadi.
Kedua, prinsip ini terdiri dari dua bagian, yaitu prinsip perbedaan (the difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the prinsiple of fair equality of opprtunity). Inti prinsip pertama adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosio-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidak samaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan dan otoritas. Sedang istilah yang paling kurang beruntung (paling kurang diuntungkan) menunjuk pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan otoritas. Dengan demikian prinsip perbedaan menurut diaturnya struktur dasar masyarakat adalah sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan.
Ada dua tujuan dari teori keadilan menurut John Rawls, yaitu : Pertama, teori ini mau mengartikulasikan sederet prinsip-prinsip umum keadilan yang mendasari dan dan menerangkan berbagai keputusan moral yang sungguh-sungguh dipertimbangkan dalam keadaan-keadaan khusus kita. Yang dia maksudkan dengan “keputusan moral” adalah sederet evaluasi moral yang telah kita buat dan sekiranya menyebabkan kita untuk melakukan tindakan sosial. Keputusan moral yang sungguh dipertimbangkan menunjuk pada evaluasi moral yang kita buat secara refleksif. Kedua, Rawls mau mengembangkan suatu teori keadilan sosial yang lebih unggul atas teori utilitarianisme. Rawls memandang bahwa institusi sosial dikatakan adil jika diabdiakan untuk memaksimalisasi keuntungan dan kegunaan.
Dari Prinsip-prinsip keadilan yang ia kemukakan, ternyata lebih unggul dalam hal menjelaskan keputusan moral etis atas keadilan sosial. Terdapat dua unsur penting yang dikemukakan oleh Rawls: yang pertama, overlapping konsensus; kedua, gagasan alasan publlik yang dilengkapi dengan perundingan dan perdebatan masyarakat yang digunakan secara politis dan membenarkan hukum melalui hal tersebut.

Overlapping Consensus
Peran utama dari gagasan konsensus ini adalah untuk menyelesaikan masalah keseimbangan dalam masyarakat. Overlapping Konsensus secara sederhana memiliki makna bahwa individu dalam suatu tatanan masyarakat akan bertindak dalam kesamaan dengan keadilan hukum dan akan mendukung konsep keadilan liberal untuk berbagai alasan yang berbeda yang berasal dari konsep mengenai apa yang menurut mereka baik, termasuk pandangan moral mereka. 
Overlapping Konsensus adalah sebuah hipotesis mengenai jenis konsepsi yang sebagian besar akan dikembangkan oleh masyarakat yang tersusun dengan baik. Overlapping Konsensus memperluas alasan dibalik prinsip psikologis dari timbal balik atas teori keadilan menjadi doktrin yang menyeluruh. Asumsi terpenting dari prinsip ini adalah bahwa setiap individu cenderung mengembangkan keinginan untuk mendukung institusi keadilan yang memberi manfaat bagi mereka dan yang mereka pedulikan, sehingga mereka akan menggabungkan keinginan tersebut kedalam konsep mengenai hal yang baik dan akan muncul keinginan untuk melakukan keadilan sebagaimana disebutkan dalam hukum dan institusi keadilan dalam masyarakat. Overlapping Konsensus mengasumsikan bahwa alasan menyeluruh mengenai doktrin agama, filsafat dan moral yang memiliki penganut dalam masyarakat akan dikembangkan untuk mendukung nilai politik liberal dan prinsip keadilan liberal sebagai bagian dari nilai moral secara menyeluruh.
           
Prinsip Liberal Legitimasi
Rawls awalnya memperkenalkan gagasan nalar publik sebagai bagian dari keadilan sebagai kepatutan. Dia memisahkan dua jenis nilai-nilai politik liberal, yaitu:
1.    Nilai dari keadilan politik – berada dibawah prinsip keadilan bagi struktur dasar
2.    Nilai dari nalar publik – berada dibawah pedoman pemeriksaan publik yang membuat pemeriksaan tersebut bebas dan umum.
“Nilai nalar publik” awalnya digambarkan secara sempit, sebagai salah satu pedoman untuk menerapkan prinsip keadilan pada subjek hukum kecuali dalam masyarakat. Dengan mengasumsikan bahwa terdapat banyak perbedaan dalam tatanan masyarakat yang meskipun setiap orang menerima prinsip keadilan yang sama (keadilan sebagai kebenaran), maka mereka akan menerapkan prinsip ini secara berbeda. Dengan perbedaan pada nilai dan kepercayaan dasar, standar bukti, kesimpulan, alasan yang baik dan pertimbangan juga berbada diantara berbagai keseluruhan pandangan. Sebagai hasilnya, terdapat kebutuhan dalam tatanan masyarakat sebagai pemeriksaan dasar yang akan membuat individu mempertahankan pandangan yang berbeda untuk menemukan kesimpulan yang sama dalam menerapkan konsepsi dasar keadilan.
Rawls menyatakan bahwa legitimasi liberal membebankan sebuah moral duty of civility pada masyarakat : sebuah kewajiban untuk mampu saling menjelaskan kepada yang lain mengenai pertanyaan fundamental (terkait nilai konstitusional dan persoalan keadilan dasar) bagaimana mereka mengadvokasikan prinsip dan kebijakan dapat didukung oleh nilai politik dari nalar publik. Hal ini tidak berarti bahwa kita harus menjelaskan kepada yang lain ketentuan nalar publik dari ukuran politik yang kita anut. Hal tersebut mungkin dapat menjadi hal yang memberatkan dan menyita waktu, bahkan bisa saja menjadi hal yang sangat memperatkan bahwa setiap orang harus mempersiapkan diri untuk menjelaskan seluruh pilihan politik mereka.


Legitimasi politik

Secara umum, gagasan legtimasi dalam hukun dan politik berkaitan dengan keberlakuan dan penerapan hukum dan kekuasaan jabatan, semuanya didasarkan pada penerimaan secara umum dan sesuai prosedur. Ketika suatu jabatan politik sah, mereka dianggap memiliki kekuasaan hukum untuk bertindak berdasarkan prosedur yang ada, hukum, penilaian hukum, atau peraturan eksekutif dan deckrit yang mereka terbitkan secara umum diteruma sebbagai suatu hal yang sah dan mengiikat secara hukum oleh jabatan politik dan hukum lainnya.
Sebaliknya, legitimasi prinsip liberal Rawls adalah sebuah standar moral untuk pengenalan hukum dan kekuasaan pemerintah dalam masyarakat liberal dan demokratis. Dinyatakan bahwa meskipun secara umum diterima atau secara demokratis hukum yang berlaku tidak sah jika tidak didasarkan pada konstitusi yang diterima secara demokratis oleh masyarakat.

Gagasan Nalar Publik
Nalar publik, bukanlah suatu alasan yang diambil secara keseluruhan dari ajaran agama, filsafat, dan moral, namun merupakan suatu pertimbangan yang harus diminta untuk memutuskan batasan dari kebebasan konstitusional. Hal ini merupakan suatu hal yang pening untuk memahami politik liberal dan berbagai ciri, termasuk wilayah politik, justifikasi politik, dan prinsip legitimas liberal, spesifikasi dasar-dasar liberal, dan gagasan Rawls mengenai demokrasi deliberatif.

Sifat Nalar Publik
 Dalam konstitusi demokrasi, masyarakat dan pemerintah pada dasarnya memiliki daya nalar yang dengan tepat maupun tidak dimasukkan dalam forum legislatif dan yudisial dan ketika berargumentasi hukum dan konstitusional dengan indiviidu yang menganut pertentangan pandangan agama dan politik. Kita sering melihat dalam ruang umum, dimana orang berusaha untuk menarik alasan tertentu untuk dibagikan dengan orang lainnya. Juga terdapat pertimbangan strategis lainnya untuk batasan pada argumentasi yang kita buat untuk meyakinkan orang lain yaang memiliki perbedaan pandangan. Tetapi juga terdapat alasan moral untuk membatasi argumen yang akan dibagikan dalam ruang politik publik.
            Gagasan penalaran publik mudah disalahartikan. Jika semua “nalar publik” merupakan semua hal yang dibagikan oleh individu dalam masyarakat, maka masyarakat memiliki konsep nalar publik. Rawls menyatakan “nalar publik merupakan karakteristik dari masyarakat demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa hanya karena individu dalam suatu masyarakat menerima secara umum suatu pandangan umum tidak membuat ajaran tersebut sebagai sebuah nalar publik

Kebutuhan Nalar Publik – Justifikasi Umum Dan Otonomi Politis
            Untuk mempertimbangkan secara detail mengapa terdapat kebutuhan untuk pandangan nalar publik dalam sebuah demokrasi. Rawls merancang gagasannya mengenai nalar publik pada awalnya untuk menangani kesenjangan yang muncul setelah ia membedakan masalah yang muncul dalam keseimbangan masyarakat dalam A theory of Justice. Berdasarkan argumentasi keselarasan Rawls, masyarakat akan menganggap perkembangan dan evaluasi kekuatan moral sebagai peraturan dan berguna untuk kepentingan mereka sendiri. Konsekuensi dari penegasan umum dari otonomi tersebut adalah alasan moral dan otonomi rasional (individu) dan berkaitan dengan gagasan Kantian akan mendapatkan peran dalan deliberasi yudisial dan legislatif, dan lebih umum dalam justifikasi publik dalam tatanan masyarakat.
            Kita telah melihat permasalahan yang dikemukakan oleh Rawls dengan banding politik sampai ke otonomi. Nilai otonomi merupakan bagian dari satu atau lebih keseluruhan ajaran yang tidak dapat didukung secara umum oleh masyarakat, sekalipun dalam suatu tatanan yang baik. Sebagai konsekuensinya, otonomi moral dan rasional tidak memiliki peran dalam justifikasi publik dalam susunan masyarakat. Untuk memberikan nilai atas otonomi moral sebagai peran inti dalam menginterpretasikan konstitusi politis adalah inkonsistensi dengan otonomi politik dalam masyarakat yang bebas dan sama. Meskipun teori ini merupakan bagian yang terpisah dari keseluruhan ajaran Kantian, masih sedikit menerapkan politik yang beerbeda dari pandangan masyarakat yang menolak nilai tersebut dari kepercayaan agama.
Pernikiran-pemikiran Rawls dalam A Theory of Justice tak dapat disangkal memiliki basis kuat pada etika sentral Immanuel Kant mengenai otonomi manusia. Oleh Rawls hak-hak dasar dan politik masyarakat ditempatkan pada jantung sistem pemikiran etika politiknya yang tak boleh diganggu-gugat. Mengafirmasi Kant, Rawls percaya bahwa ciri yang paling membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuannya untuk secara bebas memilih apa yang rnenjadi pilihan dan kehendaknya. Gagasan Kant tentang otonomi (rasionalitas) manusia memang oleh Rawls dijadikan sebagai salah satu basis kebenaran tesisnya. Bagi Rawls pelaku yang otonom adalah seseorang yang tindakannya ditentukan oleh prinsip-prinsip rasional, bukan oleh dorongan-dorongan sementara. Gagasan ini ia meujuk pada Kant. Katanya, kita bertindak secara otonom (rasional) jika kita menerima prinsip-prinsip yang dipilih dalam posisi asali (original position), sebab otonomi atau rasionalitas (Kant mengidentikkan keduanya) adalah unsur penting dalam menentukan prinsip prinsip keadilan.
 

Aplikasi Kegunaan Teori Rawls Di Indonesia (Kaitan antara Teori Keadilan dan Nalar Publik)
Sifat dari keadilan dapat dilihat dalam dua arti pokok yaitu dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum dan dalam arti materil, menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita‑cita keadilan masyarakat. Keadilan dapat berubah‑ubah isinya, tergantung dari pihak siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga faktor‑faktor lainnya yang turut membentuk konteks keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Namun secara umum, ada unsur‑unsur formal dari keadilan. Sesuai dengan pembagian aliran keadilan menurut Jhon Rawls yang pada dasarnya terdiri atas:
a.    keadilan merupakan nilai yang mengarahkan, setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak‑hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak)
b. perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat).
Nilai keadilan mempunyai aspek empiris juga, di samping aspek idealnya. Maksudnya adalah apa yang dinilai adil, dalam konteks hukum, harus dapat diaktualisasikan secara kongkrit menurut ukuran manfaatnya. Dengan adanya ukuran manfaat nilai keadilan ini pada akhirnya keadilan dapat dipandang menurut konteks yang empiris juga.
Tujuan teori keadilan Rawls adalah untuk mengartikulasikan sederet prinsip-prinsip umum keadilan yang mendasari dan menerangkan berbagai keputusan moral yang sungguh-sungguh dipertimbangkan dalam keadaan-keadaan khusus. Yang dimaksud dengan keputusan moral adalah sederet evaluasi moral yang telah kita buat yang menyebabkan tindakan sosial. Keputusan moral yang sungguh-sungguh dipertimbangkan menunjuk pada evaluasi moral yang kita buat secara reflektif. Teori keadilan versi Rawls diasumsikannya memiliki kemampuannya menjelaskan keputusan moral yang terkait dengan keadilan sosial.[1]
Mencari relevansi keadilan sosial menurut teori Rawls di Indonesia, adalah penting untuk melihat sejauh mana teori tersebut dapat diimplementasikan. Namun perlu diingat bahwa teori tadi muncul dalam masyarakat yang berbeda dengan masyarakat di Indonesia. Keadilan sosial tidak boleh dipisahkan dengan aspek ke-Tuhan-an, kemanusiaan, kesatuan dan integrasi dari pluralitas dan jiwa musyawarah dan gotong royong. Sehingga para pendiri bangsa Indonesia, tampaknya tidak mau mempertentangkan keadilan social.[2]
Di negara Indonesia, keadilan sosial merupakan bagian dari cita-cita bangsa Indonesia seperti yang termaktub dalam Pancasila sila yang ke V (lima). Artinya bahwa keadilan sosial merupakan sesuatu yang ideal dicita-citakan oleh semua rakyat bahkan dirumuskan dengan jelas dalam dasar negara kita Pancasila. Jadi tuntutan keadilan sosial adalah hal yang sangat penting. Namun dalam kenyataannya praktek keadilan sosial itu belum terwujud seiring dengan harapan dan cita-cita masyarakat, karena realitas menunjukkan bahwa ketidakadilan terjadi dalam banyak bidang dan peristiwa. Misalnya saja dalam bidang akses terhadap keadilan bagi masyarakat (peradilan). Kendala tersebut disebabkan oleh banyak factor. Salah satunya adalah factor politik yang berkembang di Indonesia.
Mengenai akses terhadap keadilan di Indonesia.  Penegakan hukum yang berjalan selama ini terkesan kuat masih berorientasi dalam bentuk keadilan prosedural yang sangat menekankan pada aspek regularitas dan penerapan formalitas legal semata. Sejalan dengan itu rekayasa hukum menjadi fenomena yang cukup kuat dalam hampir setiap penegakan hukum di negeri ini. Keadilan substantif sebagai sumber keadilan prosedural masih bersifat konsep parsial dan belum menjangkau seutuhnya ide-ide dan realitas yang seharusnya menjadi bagian intrinsik dari konsep dan penegakan keadilan. Akibatnya, penegakan hukum menjadi kurang atau bahkan tidak mampu menyelesaikan inti persoalan sebenarnya.[3] Hal ini tercermin melalui putusan yang dihasilkan oleh hakim di persidangan.
Produk peradilan berupa putusan hakim sering dianggap kontroversial, cenderung tidak dapat diterima oleh kalangan luas hukum serta tidak sejalan dengan nilai-nilai hukum. Dengan kata lain, putusan-putusan yang dijatuhkan dianggap tidak berdasarkan pada pertimbangan hukum yang cermat dan komprehensif (onvoeldoende gemotiverd), tetapi hanya didasarkan pada silogisme yang dangkal dalam mengkualifikasi peristiwa hukumnya yang kemudian berdampak pula pada konstitusi hukumnya.[4]
Salah satu penyebabnya adalah karena banyaknya intervensi dan tekanan pihak luar terhadap hakim, terkadang membuat kinerja hakim tidak lagi optimal, atau bahkan memilih bersikap opportunis. Tidak semua hakim dapat mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah. Padahal, Mahkamah Agung sendiri dalam intruksinya No. KMA/015/INST/VI/1998 tanggal 1 juni 1998 mengintruksikan agar para hakim memantapkan profesionalisme dalam mewujudkan peradilan yang berkualitas, dengan menghasilkan putusan hakim yang eksekutabel, berisikan ethos (integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang utama), filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat), serta logos (dapat diterima akal sehat), demi terciptanya kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman.[5]
Sehingga tidaklah berlebihan kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa mahkota atau wibawa hakim terletak pada putusannya atau kalau mau lebih dalam lagi ada pada pertimbangan hukumnya. Oleh karena itu kewibawaan hakim juga akan luntur dengan sendirinya kalau putusan-putusannya tidak berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sehubungan dengan itu menurut Paulus Effendi Lotulung, untuk mencari hakim yang jujur dan berkualitas, sesungguhnya tidak perlu metode yang berbelit-belit, cukup dilihat dari putusan-putusan yang telah dihasilkannya selama ini. Salah satu caranya adalah dengan cara eksaminasi putusan, yang sesungguhnya telah lama dikenal dalam dunia peradilan di Indonesia berdasarkan ketentuan SEMA No. 1 Tahun 1967 tentang Eksaminasi, Laporan Bulanan, dan Daftar Banding.
Gustav Radbruch mengemukakan idealnya dalam suatu putusan harus memuat idee des recht, yang meliputi 3 unsur yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit) dan kemanfaatan (Zwechtmassigkeit). Ketiga unsur tersebut semestinya oleh Hakim harus dipertimbangkan dan diakomodir secara proporsional. Kemudian, Mochtar Kusumaatmadjapun juga mengemukakan bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, bebas dari campur tangan masyarakat, campur tangan eksekutif maupun legislatif. Dengan kebebasan yang demikian itu, diharapkan hakim dapat mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinannya yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat.[6]
Jika dikaitkan dengan teori yang telah dikemukakan oleh Jhon Rawls mengenai prinsip keadilan, overlapping consensus, kebutuhan akan nalar public dalam merumuskan nilai nilai public berdasarkan moral, yang kemudian dituangkan dalam tatanan hokum suatu Negara, maka jelas sebagai suatu produk hokum, dalam hal ini adalah putusan hakim, seharusnya putusan tersebut mampu mengakomodir pemenuhan akan keadilan dengan memutuskan suatu perkara secara bebas dan mandiri, serta berdasarkan pada nilai nilai yang telah diakui secara umum / diterima sebagai nalar public (baik tertulis ataupun tidak). Dengan demikian tentu keadilan social yang diamanatkan oleh undang undang dasar akan dapat terwujud. Disinilah letak manfaat dari ajaran ajaran yang dikemukakan oleh jhon rawls, khususnya dalam tahap melahirkan suatu putusan yang sesuai dengan nilai nilai masyarakat secara moral diterima secara umum.
John Rawls juga menyatakan bahwa Keadilan tidak akan membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang. Karena itu, dalam masyarakat yang adil maka sudah selayaknya hakim, dalam menjalankan profesinya tidak boleh menyebabkan kekecewaan pada masyarakat yang sedang mencari keadilan. Meskipun salah satu pihak kalah dalam perkaranya, namun jika putusan hakim terkait telah dibuat dengan norma dan pemikiran Rawls diatas, tentu putusan tersebut akan tetap dinilai baik, karena secara materil tidak ada rasa keadilan yang tercederai.
Adapun contoh peran hakim yang menjalankan profesinya sesuai dengan hal diatas adalah Putusan hakim dalam kasus Gedung Ombo beberapa waktu silam. Sehubungan dengan gugatan tersebut, PN Semarang dalam putusannya No. 117/Pdt/G/1990/PN.Smg menyatakan menolak gugatan para penggugat seluruhnya. Dalam upaya hukum banding, Pengadilan Tinggi Semarang kembali menguatkan putusan sebelumnya, dengan tetap menolak gugatan. Selanjutnya dalam tingkat kasasi, Majelis hakim kasasi menjatuhkan putusan yang dianggap fenomenal. Dalam putusannya No. 2263.K/Pdt/1991, Majelis hakim kasasi yang dipimpin oleh Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH. Menghukum pihak tergugat untuk membayar ganti rugi secara tanggung renteng melebihi ganti rugi yang telah dimintakan oleh pihak penggugat. 
Secara yuridis normatif, putusan kasasi ini memang berupaya menerobos ketentuan hukum dalam Pasal 178 ayat (3) HIR, yang berbunyi : “Hakim wajib mengadili seluruh bagian gugatan, tatapi Hakim dilarang menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak dituntut atau mengabulkan putusan lebih daripada yang dituntut”. Meskipun demikian, majelis hakim kasasi beralasan bahwa putusan tersebut dijatuhkan atas pertimbangan aspek keadilan, tidak semata-mata pada aspek kepastian hukum. Memang dilihat dari sisi kepastian hukum bisa dikatakan melanggar ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR, tetapi dari sisi keadilan perlu diperhatikan bahwa harga tanah tidak mungkin konstan /tetap dari waktu kewaktu apalagi sudah berjalan beberapa tahun, sehingga sudah sepantasnya ganti rugi atas tanah juga disesuaikan dengan keadaan riel pada saat itu. Jadi dapat dikatakan ketika terjadi benturan antara aspek keadilan dan kepastian hokum didalam masysrakat, maka majelis kasasi lebih mendahulukan aspek keadilannya.
Dari contoh kasus diatas, jelas nilai keadilan benar benar sangat dijunjung dalam sitem kenegaraan yang bersifat demokratis seperti Indonesia dan berfungsi menentukan secara nyata, apa yang pantas (sebanding atau setimpal) diterima oleh seseorang sebagai konsekuensi lanjutan dari norma hukum yang lahir dari nilai nilai moral yang mengaturnya.
Selain contoh diatas, Apabila kita sejajarkan antara prinsip keadilan Rawls dan konstitusi, maka ada dua prinsip keadilan yang menjadi premis utama dari teori Rawls juga tertera dalam konstitusi Indonesia, terlebih lagi setelah adanya perubahan UUD 1945 melalui empat tahapan dari 1999 sampai dengan 2002. Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle) tercermin dari adanya ketentuan mengenai hak dan kebebasan warga negara (constitutional rights and freedoms of citizens) yang dimuat di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Begitu pula dengan prinsip kedua bagian pertama sebagai prinsip perbedaan (difference principle), Konstitusi Indonesia mengadopsi prinsip yang sama pada Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dari sinilah dasar penerapan affirmative action atau positive discrimination dapat dibenarkan secara konstitusional.
Pengaturan demikian sama halnya dalam Konstitusi India yang menerapkan sistem “reservation” untuk mengangkat kelas terbelakang (backward class) di bidang pendidikan dan social berdasarkan Pasal 15 ayat (4) dan Bagian IV tentang “Directivem Principles of State Policy” Konstitusi India. Terhadap prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle) sebagai prinsip kedua bagian kedua dari teori keadilan Rawls, Konstitusi Indonesia secara tegas juga memberikan jaminan konstitusi (constitutional guarantee) yang serupa, sebagaimana salah satunya termuat pada Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terlepas dari adanya kesengajaan ataupun tidak, Indonesia secara nyata telah memasukan prinsip prinsip keadilan yang digagas oleh John Rawls ke dalam batang tubuh Konstitusi.
Begitu pula dalam praktik ketatanegaraan sehari-hari, walaupun tidak selalu digunakan, eksistensi teori keadilan Rawls telah malangmelintang penggunaanya baik di muka persidangan maupun di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Ahli-ahli Hukum Tata Negara seringkali merujuk pemikiran Rawls ketika menafsirkan makna dan esensi keadilan yang terkandung di dalam Konstitusi. Dalam konteks prinsip-prinsip keadilan, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa keadilan tidak selalu berarti memperlakukan sama kepada setiap orang. Menurut Mahkamah, keadilan haruslah diartikan dengan “memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama, dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda”. Sehingga, apabila terhadap hal-hal yang berbeda kemudian diperlakukan sama, justru akan menjadi tidak adil.
Masih terkait dengan konstitusi, Rawls juga menggarisbawahi bahwa keadilan dapat tercapai manakala terjadi kepatuhan terhadap konstitusi dan terintegralisasinya hak dan kewajiban constitutional yang berlandaskan nilai-nilai moral. Dengan kata lain, Rawls juga menempatkan moral konstitusi (constitutional morality) untuk menentukan apakah institusi-institusi yang diatur di dalamnya sudah bersifat adil. Oleh karenanya menurut Rawls, antara moral dan konstitusi, keduanya saling membutuhkan satu sama lain guna mewujudkan tatanan dasar kehidupan sosial dan bernegara. Artinya, konstitusi haruslah berlandaskan nilai-nilai moral dan sebaliknya juga agar berlaku efektif maka nilai-nilai moral harus didukung oleh konstitusi. Terhadap konsep demokrasi, John Rawls memilih pelaksanaanya berdasarkan demokrasi konstitusional (constitutional democracy) yang diwujudkan dengan keberadaan badan-badan perwakilan yang keanggotaannya dipilih melalui cara-cara yang adil. Kendatipun demikian, Rawls tetap membuka ruang adanya pembatasan terhadap kebebasan berpolitik. Akan tetapi pembatasan tersebut haruslah memberikan jaminan dan manfaat yang sama bagi kelompok atau golongan yang kurang beruntung (the least advantaged).[7]
Jadi, dapat disimpulkan teori keadilan yang dikemukankan oleh Jhon Rawls sangat eksis ditepakan dalam sistem kenegaraan Indonesia. Dalam prakteknya, konsep keadilan tersebut harus di topang oleh konsep pemikiran lain seperti konsep mengenai system politik, konsep nalar public yang kemudian dituangkan dalam konstitusi, guna mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Sewajarnya paham politik menurut rawls tidak boleh dipahami sebagai paham yang sifatnya umum dan menyeluruh khususnya menyangkut proses penegakan hokum. Sederhananya yang adil itu tidak akan menjadi adil jika hanya ditopang oleh susunan proposi dan kalimat yang dipaksakan secara umum untuk semua konteks dan situasi (dalam perumusan peraturan perundang undangan oleh para legislator), melainkan harus dengan pertimbangan pertimbangan kebijaksanaan keadilan (khususnya nalar dan nilai moral yang diakui secara umum). Kemudian, untuk dapat mewujudkan politik yang adil maka rawls menawarkan sebuah prosedur yang dapat diterapkan dalam realitas public yang majemuk (seperti Indonesia) dengan Permufakatanyang tumpang tindih/ overlapping consensus. Hal tersebut adalah penting guna mewujudkan keadilan diantara warga Negara yang memiliki pandangan, keyakinan, agama dan filosofi yang berbeda beda dan kemudian menguraikan ide tentang nalar public (public reason) sebagai penalaran bersama yang bersifat umum. Sehingga dapat disimpulkan selain pengakuan akan nilai moral, maka prosedur yang sah dalam praktek politik di Indonesia dalam hal penegakan hokum adalah hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainya.

PERBANDINGAN JHON RAWLS DAN AHLI LAINYA
Pada hakekatnya keadilan adalah kata sifat yang mempuyai arti adil atau tidak berat sebelah atau tidak pilih kasih. Sifat ini merupakan salah satu sifat manusia. Keadilan merupakan suatu konsep yang mengindikasikan adanya rasa keadilan dalam perlakuan (justice or fair treatment). Theo Huijbers menjelaskan perbedaan dari kedua istilah yang memang jelas dan nyata, yaitu: istilah hukum mengandung tuntutan keadilan, istilah undangundang menandakan norma-norma yang de facto digunakan untuk memenuhi tuntutan tersebut, entah tertulis atau tidak tertulis. Keadilan dalam konsep inilah sering digunakan dalam khasanah ilmu hukum.
Secara falsafati, ilmu hukum memandang keadilan sebagai konsepsi falsafati yang menjadi tujuan hokum itu sendiri, dan itu tergantung dengan ideologi Negara yang bersangkutan. Ada yang menjadikannya sebagai tujuan utama dalam berhukum, dan ada juga yang menomorduakannya, karena dengan alasan demi kepastian dan ketertiban hokum. [1]
Dari pandangan mengenai konsep keadilan yang disampaikan oleh  Theo Huijbers dalam bukunya Filsafat Hukum, dan kemudian dibandingkan dengan konsep keadilan yang dikemukakan rawls, terdapat poin penting, dimana sebagai seorang filsuf maka pandangan rawls akan konsep keadilan akan lebih dekat dengan tujuan hokum dan ideologi suatu Negara. Rawls lebih memandang keadilan sebagai nilai nilai luhur dan bersifat dasar, yang kemudian dijamin oleh suatu Negara melalui konstitusi Negara tersebut. Dengan demikian, apapun kegiatan kenegaraan yang akan dilaksanakan, harus mengacu pada nilai nilai konstitusi tersebut (dalam hal ini keadilan).
Menurut Plato, keadilan dalam suatu negara dapat dipelajari dari aturan yang baik dan jiwa. Jiwa manusia terdiri dari tiga bagian, bagian pikiran (logistikon), bagian perasaan dan nafsu, baik psikis maupun jasmani (ephithumetikon), dan bagian rasa baik dan jahat (thumoeides). Jiwa itu teratur secara baik, sepanjang dihasilkan suatu kesatuan harmonis antara ketiga bagian itu. Hal ini terjadi bila perasaan dan nafsu-nafsu dikendalikan dan ditundukkan pada akal budi melalui rasa baik dan jahat. Maka keadilan (dikaiosune) terletak dalam batas yang seimbang antara ketiga bagian jiwa, sesuai dengan wujudnya masing-masing. Kemudian, dalam teorinya pun Plato mengatakan keadilan tersebut sderhananya adalah mengembalikan sesuatu hal kepada posisi asalnya.
Jika dikaji dari pandangan Plato diatas, maka terdapat irisan antara konsep keadilan yang disampaikan oleh Jhon Rawls dan Plato. Dimana keduanya sama sama menekankan konsep keadilan tersebut dari sudut pandang jiwa (moral). Jika menurut Jhon Rawls dalam ulasan diatas, untuk merefleksikan nilai nilai keadilan, maka dibutuhkan public reason/ nalar public mengenai nilai apa yang diterima sebagai norma umum didalam masyarakat, dan kemudian di implementasikan dalam bentuk peraturan perundang undangan yang dibuat oleh hakim/ legislator berdasarkan sistem politik yang benar dan didasarkan dengan kewenagan yang sah. Maka plato juga mengemukakan hal yang hampir sama, namun cakupanya hanya sampai batas pada bagaimana suatu keadilan itu lahir, yakni  dengan keseimbangan antara ketiga jenis jiwa yang ada dalam diri manusia. Terkait posisi asal yang disinggung oleh Plato dalam teori keadilanya, hal tersebut juga dikemukakan demikian oleh Jhon Rawls.
Kemudian, Aristoteles mengemukakan pandangan bahwa hukum yang harus ditaati demi keadilan, dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam dianggap sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum itu tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Lain halnya dengan hukum positif, yang sebagian besar berwujud undang-undang Negara yang berlaku sesudah ditetapkan dan diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa. Tetapi, selain keadilan dianggap sebagai keutamaan umum (yaitu ketaatan hukum alam dan hukum positif), terdapat juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yaitu yang menentukan hubungan baik antara satu orang dengan yang lainnya, lalu keadilan berada di tengah dua ekstrem (keseimbangan), dan untuk mengukur keseimbangan maka perlu ukuran kesamaan (dihitung dengan cara aritmetis atau geometris).
Keadilan yang dimaksud oleh Aristoteles beranjak dari filsafat politik, yang dikemukakan di tengahtengah berkecamuknya krisis politik di Yunani saat itu. Untuk itu, Aristoteles membagi keadilan dalam beberapa hal, yakni:
a)    Keadilan dalam segi-segi tertentu dalam kehidupan manusia, yaitu:
·         Keadilan menentukan bagaimana seharusnya hubungan baik di antara manusia; dan
·         Keadilan itu terletak di antara dua kutub yang ekstrim; orang harus menemukan keseimbangan dalam memperjuangkan kepentingannya sendiri; orang tidak boleh hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan melupakan kepentingan orang lain;
b)    Pembagian keadilan secara garis besar, yaitu:
·         Keadilan distributif: mengatur hubungan antara masyarakat dan para anggota masyarakat, mewajibkan pemerintah untuk memberi apa yang menjadi hak para anggota; dan
·         Keadilan komutatif: mengatur hubungan antara para anggota masyarakat yang satu dan yang lain, dan mewajibkan setiap orang untuk bertindak sesuai dengan hukum alam dan atau perjanjian. Ini mengenai milik pribadi dan kepentingan pribadi;
c)    Keadilan yang menyangkut ketertiban umum, yaitu:
·         Keadilan legal: mewajibkan di satu pihak lembaga legislative untuk membuat undang-undang guna mencapai kesejahteraan umum dan mewajibkan di lain pihak para warga supaya patuh kepada undang-undang negara dan
·         Keadilan sosial mengatur hubungan antara majikan dan buruh [1]
Konsep menurut Aristoteles inilah yang menurut banyak kalangan merupakan awal mula diformulasikannya keadilan, sehingga menjadi titik tolak pengembangan konsep keadilan di kemudian hari. Meskipun Plato membuat konsep keadilan tapi tidak segamblang apa yang disampaikan oleh Aristoteles. Bahkan di dunia barat masih menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Aristoteles, karena masih dianggap relevan dijadikan dasar untuk kehidupan berbangsa dan bernegara menurut kultur barat, sehingga melahirkan konsep-konsep arti keadilan di kemudian hari, yaitu dari Era Yunani tersebut sampai dengan era yang memasuki Era Postmodern. Kemudian jika diakaitkan dengan konsep keadilan yang dikemukakan oleh Jhon Rawls, jelas sangat relevan dan bersesuaian dengan apa yang dikemukakan oleh Aristoteles mengenai konsep keadilan diatas.
                                                                                                                  


[1] Agus Budi Susilo. Ibid,.                                                                                                                            

[1] Agus Budi Susilo. Jurnal Perspektif Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September. Hl. 220.
[2] Agus Budi Susilo. Ibid,.
 

[1] Sunaryo. Jurnal Kritik Chantal Mouffe atas Liberalisme Rawls: Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2013. Hlm. 9.
[2] Anil Dawan. Jurnal Keadilan Sosial: Teori Keadilan Menurut John Rawls Dan Implementasinya Bagi Perwujudan Keadilan Sosial Di Indonesia, Hlm.4.
[3] Bambang Stiyoso, Jurnal Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam Peradilan. Hlm. 2.
[4] Ibid,. Hlm. 4
[5] A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 98.
[6] Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan hukum dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, diedarkan oleh Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm. 319-320.
[7] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 1, April 2009. Hlm. 146-147.
 

Comments

Popular posts from this blog

PEMERIKSAAN LANJUTAN (NASPORING) OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM SELAKU DOMINUS LITIS PADA TAHAP PENYIDIKAN GUNA MEWUJUDKAN INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM

Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang selalu terjadi dalam kehidupan   masyarakat di belahan dunia manapun. Jika ditinjau dari ilmu kriminologi sebagai cabang ilmu yang mengkaji tentang kejahatan, maka dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) dipidana. Jika ditinjau lebih dalam sampai intinya, suatu kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. [1] Perkembangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat sangat berkaitan erat dengan penegakan hukum yang terutama menjadi tugas para penegak hukum digaris depan. Dalam kaitan ini Hyman Gross menyatakan bahwa penanggulangan kejahatan mendapat tempat penting diantara pokok perhatian pemerintah disetiap negara dan peradilan pidana saat in, yang oleh setiap orang hampir dianggap sebagai bagian dari usaha mayarakat yang besar yang diadakan untuk mengurangi kejahatan. Penegakan hukum, menurut Gross memainkan pera

Pentingnya Penerapan Social Business Model Canvas dalam Merancang Inovasi Sosial di Bidang Hukum

  Hingga saat ini, akses masyarakat terhadap keadilan masih terbilang sulit. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengukuran pemerintah terkait akses keadilan di masyarakat (indeks) tahun 2019 lalu. Meskipun Indonesia memiliki skor cukup baik yakni 69,6 [1] dari maksimum 100, ternyata masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Salah satunya terkait akses akan layanan hukum seperti bantuan hukum dari pengacara.   Pandemi COVID-19 semakin mempersulit kondisi ini, mengingat ruang gerak masyarakat yang terbatas, akses keadilan pun semakin sulit dijangkau.   Berkaitan dengan kondisi tersebut, Kehadiran inovasi teknologi yang berbentuk situs cukup penting dan merupakan sebuah kebutuhan.   khususnya ketika banyak masyarakat sulit mendapat bantuan hukum lantaran persebaran Lembaga penyedia layanan bantuan hukum di Indonesia tidak merata.   Berbagai inovasi atau situs-situs di bidang hukum sudah digagas oleh banyak pihak, tidak hanya pemerintah dan swasta melainkan juga dilakukan oleh org

Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

I.              Perbedaan Alat Bukti dan Barang Bukti Dalam kosa kata bahasa Inggris ada dua kata yang sama-sama diterjemahkan sebagai bukti dalam bahasa Indonesia, namun sebenarnya keduanya memiliki perbedaan yang cukup prinsipil. Pertama, adalah kata “evidence” dan yang kedua adalah kata “proof”. Kata evidence memiliki arti yaitu informasi yang memberikan dasar dasar mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara itu, proof adalah suatu kata dengan berbagai arti. Dalam wacana hukum, kata proof mengacu pada hasil suatu proses evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap evidence atau dapat juga digunakan lebih luas dalam mengacu pada proses itu sendiri. [1] Ian Denis mengemukakan [2] : evidence is information. It is information that provides grounds for belief that a particular fact or set of fact is true.  Proof is a term with a variable meaning. In legal discourse it may refer to the outcome of the process of evaluating evidence a