John Rawls, bernama
lengkap John Borden Rawls (1921-2002), adalah filsuf asal Amerika yang
pemikirannya banyak dipengaruhi Immanuel Kant. Argumen-argunen yang ia miliki selalu dibangun dari telaah sejarah secara mendalam yang didasari pada wawasan
keilmuan serta disiplin yang beragam yang ia geluti seperti ilmu ekonomi dan ilmu filsafat. Seusai perang Dunia II ia mengajar sebagai
profesor filsafat berturut-turut di Universitas Princeton, Universitas Cornell,
dan Massachussets Institute of Technology (MIT). Sejak tahun 1962 ia mengajar
di Universitas Harvard hingga masa pensiunnya.
Pada masa remajanya, sesaat setelah iamenyelesaikan studinya di Princeton, Rawls sempat menjadi tentara, Ia sempat menyaksikan apa yang tenjadi di
kawasan Pasifik dan juga sempat ditugaskan di Nu Guini, Filipina dan Jepang. ia juga menyaksikan ketika Amerika membombardir Hiroshima pada 1945. Kelak lima
tahun pasca pemboman itu Rawls mengkritik keras tindakan
tersebut lewat artikelnya di jurnal politik Amerika, Dissent. Sejak
saat itu di Universitas Harvard sekitar tahun 60-an, ia mulai mengkampanyekan anti-perang dalam sebuah Konferensi Anti
Perang di Washington saat Amerika berusahan\ menguasai Vietnam.
Rawls keluar dan tentara pada 1946, dan Ia lalu kembali ke
almamaternya, Princeton untuk menulis disertasi doktoralnya di bidang flisafat
moral. Tahun 1949 ia menikah dengan Margaret Fox, seorang pelukis.
Mereka dikarunia lima orang anak. Di akhir masa studinya di tahun 1949-1950, Rawls
mengambil kursus di bidang teori politik, yang kelak menjadi batu pertama
penulisan karya besarnya tentang keadilan, A Theory of Justice (Teori
Keadilan), yang diterbitkan pada tahun 1971 (jadi Rawls telah mempersiapkan
bukunya itu dalam kurun waktu 20 tahun). A Theory of Justice pun
menjadi salah satu buku filsafat dan abad ke-20 yang paling banyak ditanggapi
dan dikomentari, bukan saja di kalangan filsafat melainkan dari para ahli
ekonomi dan politik.
Gagasan Nalar Publik
& Kebutuhan Nalar Publik – Justifikasi Umum dan Otonomi Politis
Dua prinsip keadilan Rawls
yang merupakan solusi bagi problem utama keadilan adalah Pertama, prinsip
kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty)
mencakup :
Kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan politik (hak
bersuara, hak mencalonkan diri dalam pemilihan).
Kebebsan
berbicara (termasuk kebebasan pers).
Kebebasan
berkeyakinan (termasuk keyakinan beragama).
Kebebasan
menjadi diri sendiri (person).
Hak untuk
mempertahankan milik pribadi.
Kedua, prinsip ini terdiri dari dua bagian, yaitu prinsip perbedaan (the
difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the
prinsiple of fair equality of opprtunity). Inti prinsip pertama adalah
bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang
paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan
sosio-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidak samaan dalam prospek
seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan dan otoritas.
Sedang istilah yang paling kurang beruntung (paling kurang diuntungkan)
menunjuk pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek
kesejahteraan, pendapatan dan otoritas. Dengan demikian prinsip perbedaan
menurut diaturnya struktur dasar masyarakat adalah sedemikian rupa sehingga
kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan.
Ada dua tujuan dari teori keadilan menurut
John Rawls, yaitu : Pertama, teori
ini mau mengartikulasikan sederet prinsip-prinsip umum keadilan yang mendasari
dan dan menerangkan berbagai keputusan moral yang sungguh-sungguh
dipertimbangkan dalam keadaan-keadaan khusus kita. Yang dia maksudkan dengan
“keputusan moral” adalah sederet evaluasi moral yang telah kita buat dan
sekiranya menyebabkan kita untuk melakukan tindakan sosial. Keputusan moral
yang sungguh dipertimbangkan menunjuk pada evaluasi moral yang kita buat secara
refleksif. Kedua, Rawls
mau mengembangkan suatu teori keadilan sosial yang lebih unggul atas teori utilitarianisme.
Rawls memandang bahwa institusi sosial dikatakan adil jika diabdiakan untuk
memaksimalisasi keuntungan dan kegunaan.
Dari
Prinsip-prinsip keadilan yang ia kemukakan, ternyata lebih unggul dalam hal menjelaskan
keputusan moral etis atas keadilan sosial. Terdapat dua unsur penting yang
dikemukakan oleh Rawls: yang pertama,
overlapping konsensus; kedua, gagasan alasan publlik yang
dilengkapi dengan perundingan dan perdebatan masyarakat yang digunakan secara
politis dan membenarkan hukum melalui hal tersebut.
Overlapping Consensus
Peran utama dari gagasan konsensus ini
adalah untuk menyelesaikan masalah keseimbangan dalam masyarakat. Overlapping Konsensus secara sederhana
memiliki makna bahwa individu dalam suatu tatanan masyarakat akan bertindak
dalam kesamaan dengan keadilan hukum dan akan mendukung konsep keadilan
liberal untuk berbagai alasan yang berbeda yang berasal dari konsep mengenai
apa yang menurut mereka baik, termasuk pandangan moral mereka.
Overlapping
Konsensus adalah sebuah hipotesis mengenai jenis konsepsi yang sebagian
besar akan dikembangkan oleh masyarakat yang tersusun dengan baik. Overlapping Konsensus memperluas alasan
dibalik prinsip psikologis dari timbal balik atas teori keadilan menjadi
doktrin yang menyeluruh. Asumsi terpenting dari prinsip ini adalah bahwa setiap
individu cenderung mengembangkan keinginan untuk mendukung institusi keadilan
yang memberi manfaat bagi mereka dan yang mereka pedulikan, sehingga mereka
akan menggabungkan keinginan tersebut kedalam konsep mengenai hal yang baik dan
akan muncul keinginan untuk melakukan keadilan sebagaimana disebutkan dalam
hukum dan institusi keadilan dalam masyarakat. Overlapping Konsensus mengasumsikan bahwa alasan menyeluruh
mengenai doktrin agama, filsafat dan moral yang memiliki penganut dalam
masyarakat akan dikembangkan untuk mendukung nilai politik liberal dan prinsip
keadilan liberal sebagai bagian dari nilai moral secara menyeluruh.
Prinsip Liberal Legitimasi
Rawls awalnya memperkenalkan gagasan
nalar publik sebagai bagian dari keadilan sebagai kepatutan. Dia memisahkan dua
jenis nilai-nilai politik liberal, yaitu:
1. Nilai dari keadilan politik – berada
dibawah prinsip keadilan bagi struktur dasar
2. Nilai dari nalar publik – berada
dibawah pedoman pemeriksaan publik yang membuat pemeriksaan tersebut bebas dan
umum.
“Nilai nalar publik” awalnya digambarkan secara sempit,
sebagai salah satu pedoman untuk menerapkan prinsip keadilan pada subjek hukum
kecuali dalam masyarakat. Dengan mengasumsikan bahwa terdapat banyak perbedaan
dalam tatanan masyarakat yang meskipun setiap orang menerima prinsip keadilan
yang sama (keadilan sebagai kebenaran), maka mereka akan menerapkan prinsip ini
secara berbeda. Dengan perbedaan pada nilai dan kepercayaan dasar, standar
bukti, kesimpulan, alasan yang baik dan pertimbangan juga berbada diantara
berbagai keseluruhan pandangan. Sebagai hasilnya, terdapat kebutuhan dalam
tatanan masyarakat sebagai pemeriksaan dasar yang akan membuat individu
mempertahankan pandangan yang berbeda untuk menemukan kesimpulan yang sama
dalam menerapkan konsepsi dasar keadilan.
Rawls menyatakan bahwa legitimasi
liberal membebankan sebuah moral duty of
civility pada masyarakat : sebuah kewajiban untuk mampu saling menjelaskan
kepada yang lain mengenai pertanyaan fundamental (terkait nilai konstitusional
dan persoalan keadilan dasar) bagaimana mereka mengadvokasikan prinsip dan
kebijakan dapat didukung oleh nilai politik dari nalar publik. Hal ini tidak
berarti bahwa kita harus menjelaskan kepada yang lain ketentuan nalar publik
dari ukuran politik yang kita anut. Hal tersebut mungkin dapat menjadi hal yang
memberatkan dan menyita waktu, bahkan bisa saja menjadi hal yang sangat
memperatkan bahwa setiap orang harus mempersiapkan diri untuk menjelaskan
seluruh pilihan politik mereka.
Legitimasi
politik
Secara umum, gagasan legtimasi dalam
hukun dan politik berkaitan dengan
keberlakuan dan penerapan hukum dan kekuasaan jabatan, semuanya didasarkan pada
penerimaan secara umum dan sesuai prosedur. Ketika suatu jabatan politik
sah, mereka dianggap memiliki kekuasaan hukum untuk bertindak berdasarkan
prosedur yang ada, hukum, penilaian hukum, atau peraturan eksekutif dan deckrit
yang mereka terbitkan secara umum diteruma sebbagai suatu hal yang sah dan
mengiikat secara hukum oleh jabatan politik dan hukum lainnya.
Sebaliknya, legitimasi prinsip
liberal Rawls adalah sebuah standar moral untuk pengenalan hukum dan kekuasaan
pemerintah dalam masyarakat liberal dan demokratis. Dinyatakan bahwa meskipun
secara umum diterima atau secara demokratis hukum yang berlaku tidak sah jika tidak didasarkan pada konstitusi yang
diterima secara demokratis oleh masyarakat.
Gagasan Nalar Publik
Nalar
publik, bukanlah suatu alasan yang diambil secara keseluruhan dari ajaran
agama, filsafat, dan moral, namun merupakan suatu pertimbangan yang harus
diminta untuk memutuskan batasan dari kebebasan konstitusional. Hal ini
merupakan suatu hal yang pening untuk memahami politik liberal dan berbagai
ciri, termasuk wilayah politik, justifikasi politik, dan prinsip legitimas
liberal, spesifikasi dasar-dasar liberal, dan gagasan Rawls mengenai demokrasi
deliberatif.
Sifat Nalar Publik
Dalam konstitusi demokrasi,
masyarakat dan pemerintah pada dasarnya memiliki daya nalar yang dengan tepat
maupun tidak dimasukkan dalam forum legislatif dan yudisial dan ketika
berargumentasi hukum dan konstitusional dengan indiviidu yang menganut
pertentangan pandangan agama dan politik. Kita sering melihat dalam ruang umum,
dimana orang berusaha untuk menarik alasan tertentu untuk dibagikan dengan
orang lainnya. Juga terdapat pertimbangan strategis lainnya untuk batasan pada
argumentasi yang kita buat untuk meyakinkan orang lain yaang memiliki perbedaan
pandangan. Tetapi juga terdapat alasan moral untuk membatasi argumen yang akan
dibagikan dalam ruang politik publik.
Gagasan penalaran publik mudah
disalahartikan. Jika semua “nalar publik” merupakan semua hal yang dibagikan
oleh individu dalam masyarakat, maka masyarakat memiliki konsep nalar publik.
Rawls menyatakan “nalar publik merupakan karakteristik dari masyarakat
demokratis. Hal ini menunjukkan bahwa hanya karena individu dalam suatu
masyarakat menerima secara umum suatu pandangan umum tidak membuat ajaran
tersebut sebagai sebuah nalar publik
Kebutuhan Nalar Publik –
Justifikasi Umum Dan Otonomi Politis
Untuk
mempertimbangkan secara detail mengapa terdapat kebutuhan untuk pandangan nalar
publik dalam sebuah demokrasi. Rawls merancang gagasannya mengenai nalar publik
pada awalnya untuk menangani kesenjangan yang muncul setelah ia membedakan
masalah yang muncul dalam keseimbangan masyarakat dalam A theory of Justice. Berdasarkan
argumentasi keselarasan Rawls, masyarakat akan menganggap perkembangan dan
evaluasi kekuatan moral sebagai
peraturan dan berguna untuk kepentingan mereka sendiri. Konsekuensi dari penegasan
umum dari otonomi tersebut adalah alasan moral dan otonomi rasional (individu)
dan berkaitan dengan gagasan Kantian akan mendapatkan peran dalan deliberasi
yudisial dan legislatif, dan lebih umum dalam justifikasi publik dalam tatanan
masyarakat.
Kita telah melihat permasalahan yang
dikemukakan oleh Rawls dengan banding politik sampai ke otonomi. Nilai otonomi
merupakan bagian dari satu atau lebih keseluruhan ajaran yang tidak dapat
didukung secara umum oleh masyarakat, sekalipun dalam suatu tatanan yang baik.
Sebagai konsekuensinya, otonomi moral dan rasional tidak memiliki peran dalam
justifikasi publik dalam susunan masyarakat. Untuk memberikan nilai atas
otonomi moral sebagai peran inti dalam menginterpretasikan konstitusi politis
adalah inkonsistensi dengan otonomi politik dalam masyarakat yang bebas dan
sama. Meskipun teori ini merupakan bagian yang terpisah dari keseluruhan ajaran
Kantian, masih sedikit menerapkan politik yang beerbeda dari pandangan
masyarakat yang menolak nilai tersebut dari kepercayaan agama.
Pernikiran-pemikiran
Rawls dalam A Theory of Justice tak dapat disangkal memiliki
basis kuat pada etika sentral Immanuel Kant mengenai otonomi manusia.
Oleh Rawls hak-hak dasar dan politik masyarakat ditempatkan pada jantung sistem
pemikiran etika politiknya yang tak boleh diganggu-gugat. Mengafirmasi Kant,
Rawls percaya bahwa ciri yang paling membedakan manusia dengan makhluk lain
adalah kemampuannya untuk secara bebas memilih apa yang rnenjadi pilihan dan
kehendaknya. Gagasan Kant tentang otonomi (rasionalitas) manusia memang oleh
Rawls dijadikan sebagai salah satu basis kebenaran tesisnya. Bagi Rawls pelaku yang
otonom adalah seseorang yang tindakannya ditentukan oleh prinsip-prinsip
rasional, bukan oleh dorongan-dorongan sementara. Gagasan ini ia meujuk pada
Kant. Katanya, kita bertindak secara otonom (rasional) jika kita menerima
prinsip-prinsip yang dipilih dalam posisi asali (original position),
sebab otonomi atau rasionalitas (Kant mengidentikkan keduanya) adalah unsur
penting dalam
menentukan prinsip prinsip keadilan.
Aplikasi
Kegunaan Teori Rawls Di Indonesia (Kaitan antara Teori Keadilan dan Nalar
Publik)
Sifat
dari keadilan dapat dilihat dalam dua arti pokok yaitu dalam arti formal yang
menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum dan dalam arti materil, menuntut
agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita‑cita keadilan masyarakat.
Keadilan dapat
berubah‑ubah
isinya, tergantung dari pihak siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk
juga faktor‑faktor
lainnya yang turut membentuk konteks keadilan itu, seperti tempat maupun
waktunya. Namun secara umum, ada unsur‑unsur formal dari keadilan. Sesuai
dengan pembagian aliran keadilan menurut Jhon Rawls yang pada dasarnya terdiri
atas:
a.
keadilan
merupakan nilai yang mengarahkan, setiap pihak untuk memberikan perlindungan
atas hak‑hak yang
dijamin oleh hukum (unsur hak)
b.
perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu
(unsur manfaat).
Nilai keadilan mempunyai
aspek empiris juga, di samping aspek idealnya. Maksudnya adalah apa yang
dinilai adil, dalam konteks hukum, harus dapat diaktualisasikan secara kongkrit
menurut ukuran manfaatnya. Dengan adanya ukuran manfaat nilai keadilan ini pada
akhirnya keadilan dapat dipandang menurut konteks yang empiris juga.
Tujuan
teori keadilan Rawls adalah untuk mengartikulasikan sederet prinsip-prinsip
umum keadilan yang mendasari dan menerangkan berbagai keputusan moral yang
sungguh-sungguh dipertimbangkan dalam keadaan-keadaan khusus. Yang dimaksud dengan
keputusan moral adalah sederet evaluasi moral yang telah kita buat yang
menyebabkan tindakan sosial. Keputusan moral yang sungguh-sungguh
dipertimbangkan menunjuk pada evaluasi moral yang kita buat secara reflektif.
Teori keadilan versi Rawls diasumsikannya memiliki kemampuannya menjelaskan
keputusan moral yang terkait dengan keadilan sosial.[1]
Mencari
relevansi keadilan sosial menurut teori Rawls di Indonesia, adalah penting
untuk melihat sejauh mana teori tersebut dapat diimplementasikan. Namun perlu diingat
bahwa teori tadi muncul dalam masyarakat yang berbeda dengan masyarakat di
Indonesia. Keadilan sosial tidak boleh dipisahkan dengan aspek ke-Tuhan-an,
kemanusiaan, kesatuan dan integrasi dari pluralitas dan jiwa musyawarah dan
gotong royong. Sehingga para pendiri bangsa Indonesia, tampaknya tidak mau
mempertentangkan keadilan social.[2]
Di
negara Indonesia, keadilan sosial merupakan bagian dari cita-cita bangsa
Indonesia seperti yang termaktub dalam Pancasila sila yang ke V (lima). Artinya
bahwa keadilan sosial merupakan sesuatu yang ideal dicita-citakan oleh semua
rakyat bahkan dirumuskan dengan jelas dalam dasar negara kita Pancasila. Jadi
tuntutan keadilan sosial adalah hal yang sangat penting. Namun dalam
kenyataannya praktek keadilan sosial itu belum terwujud seiring dengan harapan
dan cita-cita masyarakat, karena realitas menunjukkan bahwa ketidakadilan
terjadi dalam banyak bidang dan peristiwa. Misalnya
saja dalam bidang akses terhadap keadilan bagi masyarakat (peradilan). Kendala
tersebut disebabkan oleh banyak factor. Salah satunya adalah factor politik
yang berkembang di Indonesia.
Mengenai
akses terhadap keadilan di Indonesia. Penegakan
hukum yang berjalan selama ini terkesan kuat masih berorientasi dalam bentuk
keadilan prosedural yang sangat menekankan pada aspek regularitas dan penerapan
formalitas legal semata. Sejalan dengan itu rekayasa hukum menjadi fenomena
yang cukup kuat dalam hampir setiap penegakan hukum di negeri ini. Keadilan
substantif sebagai sumber keadilan prosedural masih bersifat konsep parsial dan
belum menjangkau seutuhnya ide-ide dan realitas yang seharusnya menjadi bagian
intrinsik dari konsep dan penegakan keadilan. Akibatnya, penegakan hukum
menjadi kurang atau bahkan tidak mampu menyelesaikan inti persoalan sebenarnya.[3]
Hal ini tercermin melalui putusan yang dihasilkan oleh hakim di persidangan.
Produk
peradilan berupa putusan hakim sering dianggap kontroversial, cenderung tidak
dapat diterima oleh kalangan luas hukum serta tidak sejalan dengan nilai-nilai
hukum. Dengan kata lain, putusan-putusan yang dijatuhkan dianggap tidak
berdasarkan pada pertimbangan hukum yang cermat dan komprehensif (onvoeldoende gemotiverd), tetapi hanya
didasarkan pada silogisme yang dangkal dalam mengkualifikasi peristiwa hukumnya
yang kemudian berdampak pula pada konstitusi hukumnya.[4]
Salah
satu penyebabnya adalah karena banyaknya intervensi dan tekanan pihak luar
terhadap hakim, terkadang membuat kinerja hakim tidak lagi optimal, atau bahkan
memilih bersikap opportunis. Tidak semua hakim dapat mengatakan yang benar
adalah benar, dan yang salah adalah salah. Padahal, Mahkamah Agung sendiri
dalam intruksinya No. KMA/015/INST/VI/1998 tanggal 1 juni 1998 mengintruksikan
agar para hakim memantapkan profesionalisme dalam mewujudkan peradilan yang
berkualitas, dengan menghasilkan putusan hakim yang eksekutabel, berisikan
ethos (integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang utama), filosofis
(berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan tata nilai
budaya yang berlaku dalam masyarakat), serta logos (dapat diterima akal sehat),
demi terciptanya kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman.[5]
Sehingga
tidaklah berlebihan kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa mahkota atau
wibawa hakim terletak pada putusannya atau kalau mau lebih dalam lagi ada pada
pertimbangan hukumnya. Oleh karena itu kewibawaan hakim juga akan luntur dengan
sendirinya kalau putusan-putusannya tidak berpihak lagi kepada nilai-nilai
kebenaran dan keadilan. Sehubungan dengan itu menurut Paulus Effendi Lotulung,
untuk mencari hakim yang jujur dan berkualitas, sesungguhnya tidak perlu metode
yang berbelit-belit, cukup dilihat dari putusan-putusan yang telah
dihasilkannya selama ini. Salah satu caranya adalah dengan cara eksaminasi
putusan, yang sesungguhnya telah lama dikenal dalam dunia peradilan di
Indonesia berdasarkan ketentuan SEMA No. 1 Tahun 1967 tentang Eksaminasi,
Laporan Bulanan, dan Daftar Banding.
Gustav
Radbruch mengemukakan idealnya dalam suatu putusan harus memuat idee des recht,
yang meliputi 3 unsur yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum
(Rechtsicherheit) dan kemanfaatan (Zwechtmassigkeit). Ketiga unsur tersebut
semestinya oleh Hakim harus dipertimbangkan dan diakomodir secara proporsional.
Kemudian, Mochtar Kusumaatmadjapun juga mengemukakan bahwa hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara, bebas dari campur tangan masyarakat, campur
tangan eksekutif maupun legislatif. Dengan kebebasan yang demikian itu,
diharapkan hakim dapat mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan
juga berdasarkan keyakinannya yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi
masyarakat.[6]
Jika dikaitkan dengan teori yang telah
dikemukakan oleh Jhon Rawls mengenai prinsip keadilan, overlapping consensus,
kebutuhan akan nalar public dalam merumuskan nilai nilai public berdasarkan
moral, yang
kemudian dituangkan dalam tatanan hokum suatu Negara, maka jelas sebagai suatu
produk hokum, dalam hal ini adalah putusan hakim, seharusnya putusan tersebut mampu mengakomodir pemenuhan akan keadilan
dengan memutuskan suatu perkara secara bebas dan mandiri, serta berdasarkan
pada nilai nilai yang telah diakui secara umum / diterima sebagai nalar public
(baik tertulis ataupun tidak). Dengan demikian tentu keadilan social yang
diamanatkan oleh undang undang dasar akan dapat terwujud. Disinilah letak
manfaat dari ajaran ajaran yang dikemukakan oleh jhon rawls, khususnya dalam
tahap melahirkan suatu putusan yang sesuai dengan nilai nilai masyarakat secara
moral diterima secara umum.
John
Rawls juga menyatakan bahwa Keadilan tidak akan membiarkan pengorbanan yang
dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang
dinikmati banyak orang. Karena itu, dalam masyarakat yang adil maka sudah
selayaknya hakim, dalam menjalankan profesinya tidak boleh menyebabkan kekecewaan
pada masyarakat yang sedang mencari keadilan. Meskipun salah satu pihak kalah
dalam perkaranya, namun jika putusan hakim terkait telah dibuat dengan norma
dan pemikiran Rawls diatas, tentu putusan tersebut akan tetap dinilai baik,
karena secara materil tidak ada rasa keadilan yang tercederai.
Adapun
contoh peran hakim yang menjalankan profesinya sesuai dengan hal diatas adalah Putusan
hakim dalam kasus Gedung Ombo beberapa waktu silam. Sehubungan dengan gugatan
tersebut, PN Semarang dalam putusannya No. 117/Pdt/G/1990/PN.Smg menyatakan
menolak gugatan para penggugat seluruhnya. Dalam upaya hukum banding,
Pengadilan Tinggi Semarang kembali menguatkan putusan sebelumnya, dengan tetap
menolak gugatan. Selanjutnya dalam tingkat kasasi, Majelis hakim kasasi
menjatuhkan putusan yang dianggap fenomenal. Dalam putusannya No.
2263.K/Pdt/1991, Majelis hakim kasasi yang dipimpin oleh Z. Asikin Kusumah
Atmadja, SH. Menghukum pihak tergugat untuk membayar ganti rugi secara tanggung
renteng melebihi ganti rugi yang telah dimintakan oleh pihak penggugat.
Secara
yuridis normatif, putusan kasasi ini memang berupaya menerobos ketentuan hukum
dalam Pasal 178 ayat (3) HIR, yang berbunyi : “Hakim wajib mengadili seluruh bagian gugatan, tatapi Hakim dilarang
menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak dituntut atau mengabulkan putusan
lebih daripada yang dituntut”. Meskipun demikian, majelis hakim kasasi beralasan bahwa putusan tersebut dijatuhkan atas pertimbangan
aspek keadilan, tidak semata-mata pada aspek kepastian hukum. Memang
dilihat dari sisi kepastian hukum bisa dikatakan melanggar ketentuan Pasal 178
ayat (3) HIR, tetapi dari sisi keadilan perlu diperhatikan bahwa harga tanah
tidak mungkin konstan /tetap dari waktu kewaktu apalagi sudah berjalan beberapa
tahun, sehingga sudah sepantasnya ganti rugi atas tanah juga disesuaikan dengan
keadaan riel pada saat itu. Jadi dapat dikatakan ketika terjadi benturan antara
aspek keadilan dan kepastian hokum didalam masysrakat, maka majelis kasasi
lebih mendahulukan aspek keadilannya.
Dari
contoh kasus diatas, jelas nilai keadilan benar benar sangat dijunjung dalam
sitem kenegaraan yang bersifat demokratis seperti Indonesia dan berfungsi menentukan secara nyata, apa yang
pantas (sebanding atau setimpal) diterima oleh seseorang sebagai konsekuensi
lanjutan dari norma hukum yang lahir dari nilai nilai moral yang mengaturnya.
Selain
contoh diatas, Apabila kita sejajarkan antara prinsip keadilan Rawls dan konstitusi,
maka ada dua prinsip keadilan yang menjadi premis utama dari teori Rawls juga
tertera dalam konstitusi Indonesia, terlebih lagi setelah adanya perubahan UUD
1945 melalui empat tahapan dari 1999 sampai dengan 2002. Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle)
tercermin dari adanya ketentuan mengenai hak dan kebebasan warga negara (constitutional
rights and freedoms of citizens) yang dimuat di dalam Bab XA tentang
Hak Asasi Manusia. Begitu pula dengan prinsip kedua bagian pertama sebagai prinsip perbedaan (difference principle),
Konstitusi Indonesia mengadopsi prinsip yang sama pada Pasal 28H ayat (2) UUD
1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan”. Dari sinilah dasar penerapan affirmative action
atau positive discrimination dapat dibenarkan secara konstitusional.
Pengaturan
demikian sama halnya dalam Konstitusi India yang menerapkan sistem
“reservation” untuk mengangkat kelas terbelakang (backward class) di bidang
pendidikan dan social berdasarkan Pasal 15 ayat (4) dan Bagian IV tentang “Directivem
Principles of State Policy” Konstitusi India. Terhadap prinsip persamaan
kesempatan (equal opportunity principle) sebagai prinsip kedua
bagian kedua dari teori keadilan Rawls, Konstitusi Indonesia secara tegas juga
memberikan jaminan konstitusi (constitutional guarantee) yang serupa,
sebagaimana salah satunya termuat pada Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
terlepas dari adanya kesengajaan ataupun tidak, Indonesia secara nyata telah
memasukan prinsip prinsip keadilan yang digagas oleh John Rawls ke dalam batang
tubuh Konstitusi.
Begitu
pula dalam praktik ketatanegaraan sehari-hari, walaupun tidak selalu digunakan,
eksistensi teori keadilan Rawls telah malangmelintang penggunaanya baik di muka
persidangan maupun di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Ahli-ahli Hukum Tata
Negara seringkali merujuk pemikiran Rawls ketika menafsirkan makna dan esensi
keadilan yang terkandung di dalam Konstitusi. Dalam konteks prinsip-prinsip
keadilan, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa keadilan tidak selalu berarti
memperlakukan sama kepada setiap orang. Menurut Mahkamah, keadilan haruslah diartikan
dengan “memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama, dan memperlakukan
berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda”. Sehingga, apabila terhadap
hal-hal yang berbeda kemudian diperlakukan sama, justru akan menjadi tidak
adil.
Masih
terkait dengan konstitusi, Rawls juga menggarisbawahi bahwa keadilan dapat
tercapai manakala terjadi kepatuhan terhadap konstitusi dan terintegralisasinya
hak dan kewajiban constitutional yang berlandaskan nilai-nilai moral. Dengan
kata lain, Rawls juga menempatkan moral konstitusi (constitutional morality)
untuk menentukan apakah institusi-institusi yang diatur di dalamnya sudah
bersifat adil. Oleh karenanya menurut Rawls, antara moral dan konstitusi,
keduanya saling membutuhkan satu sama lain guna mewujudkan tatanan dasar
kehidupan sosial dan bernegara. Artinya, konstitusi haruslah berlandaskan
nilai-nilai moral dan sebaliknya juga agar berlaku efektif maka nilai-nilai
moral harus didukung oleh konstitusi. Terhadap konsep demokrasi, John Rawls
memilih pelaksanaanya berdasarkan demokrasi konstitusional (constitutional
democracy) yang diwujudkan dengan keberadaan badan-badan perwakilan yang keanggotaannya
dipilih melalui cara-cara yang adil. Kendatipun demikian, Rawls tetap membuka ruang
adanya pembatasan terhadap kebebasan berpolitik. Akan tetapi pembatasan
tersebut haruslah memberikan jaminan dan manfaat yang sama bagi kelompok atau golongan
yang kurang beruntung (the least advantaged).[7]
Jadi,
dapat disimpulkan teori keadilan yang dikemukankan oleh Jhon Rawls sangat eksis
ditepakan dalam sistem kenegaraan Indonesia. Dalam prakteknya, konsep keadilan tersebut
harus di topang oleh konsep pemikiran lain seperti konsep mengenai system politik,
konsep nalar public yang kemudian dituangkan dalam konstitusi, guna mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan sosial. Sewajarnya paham politik menurut rawls tidak
boleh dipahami sebagai paham yang sifatnya umum dan menyeluruh khususnya
menyangkut proses penegakan hokum. Sederhananya yang adil itu tidak akan
menjadi adil jika hanya ditopang oleh susunan proposi dan kalimat yang
dipaksakan secara umum untuk semua konteks dan situasi (dalam perumusan
peraturan perundang undangan oleh para legislator), melainkan harus dengan
pertimbangan pertimbangan kebijaksanaan keadilan (khususnya nalar dan nilai
moral yang diakui secara umum). Kemudian, untuk dapat mewujudkan politik yang
adil maka rawls menawarkan sebuah prosedur yang dapat diterapkan dalam realitas
public yang majemuk (seperti Indonesia) dengan Permufakatanyang tumpang tindih/
overlapping consensus. Hal tersebut adalah penting guna mewujudkan keadilan
diantara warga Negara yang memiliki pandangan, keyakinan, agama dan filosofi
yang berbeda beda dan kemudian menguraikan ide tentang nalar public (public
reason) sebagai penalaran bersama yang bersifat umum. Sehingga dapat
disimpulkan selain pengakuan akan nilai moral, maka prosedur yang sah dalam
praktek politik di Indonesia dalam hal penegakan hokum adalah hal yang saling
berkaitan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainya.
PERBANDINGAN
JHON RAWLS DAN AHLI LAINYA
Pada
hakekatnya keadilan adalah kata sifat yang mempuyai arti adil atau tidak berat
sebelah atau tidak pilih kasih. Sifat ini merupakan salah satu sifat manusia.
Keadilan merupakan suatu konsep yang mengindikasikan adanya rasa keadilan dalam
perlakuan (justice or fair treatment). Theo Huijbers menjelaskan perbedaan dari kedua istilah yang memang
jelas dan nyata, yaitu: istilah hukum mengandung tuntutan keadilan, istilah
undangundang menandakan norma-norma yang de facto digunakan untuk memenuhi
tuntutan tersebut, entah tertulis atau tidak tertulis. Keadilan dalam konsep
inilah sering digunakan dalam khasanah ilmu hukum.
Secara
falsafati, ilmu hukum memandang keadilan sebagai konsepsi falsafati yang
menjadi tujuan hokum itu sendiri, dan itu tergantung dengan ideologi Negara yang
bersangkutan. Ada yang menjadikannya sebagai tujuan utama dalam berhukum, dan
ada juga yang menomorduakannya, karena dengan alasan demi kepastian dan
ketertiban hokum. [1]
Dari
pandangan mengenai konsep keadilan yang disampaikan oleh Theo Huijbers dalam bukunya Filsafat Hukum, dan kemudian dibandingkan dengan konsep keadilan
yang dikemukakan rawls, terdapat poin penting, dimana sebagai seorang filsuf
maka pandangan rawls akan konsep keadilan akan lebih dekat dengan tujuan hokum
dan ideologi suatu Negara. Rawls lebih memandang keadilan sebagai nilai nilai
luhur dan bersifat dasar, yang kemudian dijamin oleh suatu Negara melalui
konstitusi Negara tersebut. Dengan demikian, apapun kegiatan kenegaraan yang
akan dilaksanakan, harus mengacu pada nilai nilai konstitusi tersebut (dalam hal
ini keadilan).
Menurut
Plato, keadilan dalam suatu negara
dapat dipelajari dari aturan yang baik dan jiwa. Jiwa manusia terdiri dari tiga
bagian, bagian pikiran (logistikon), bagian perasaan dan nafsu, baik
psikis maupun jasmani (ephithumetikon), dan bagian rasa baik dan jahat (thumoeides).
Jiwa itu teratur secara baik, sepanjang dihasilkan suatu kesatuan harmonis
antara ketiga bagian itu. Hal ini terjadi bila perasaan dan nafsu-nafsu
dikendalikan dan ditundukkan pada akal budi melalui rasa baik dan jahat. Maka
keadilan (dikaiosune) terletak dalam batas yang seimbang antara ketiga
bagian jiwa, sesuai dengan wujudnya masing-masing. Kemudian, dalam teorinya pun
Plato mengatakan keadilan tersebut sderhananya adalah mengembalikan sesuatu hal
kepada posisi asalnya.
Jika
dikaji dari pandangan Plato diatas, maka terdapat irisan antara konsep keadilan
yang disampaikan oleh Jhon Rawls dan Plato. Dimana keduanya sama sama
menekankan konsep keadilan tersebut dari sudut pandang jiwa (moral). Jika
menurut Jhon Rawls dalam ulasan diatas, untuk merefleksikan nilai nilai
keadilan, maka dibutuhkan public reason/ nalar public mengenai nilai apa yang
diterima sebagai norma umum didalam masyarakat, dan kemudian di implementasikan
dalam bentuk peraturan perundang undangan yang dibuat oleh hakim/ legislator
berdasarkan sistem politik yang benar dan didasarkan dengan kewenagan yang sah.
Maka plato juga mengemukakan hal yang hampir sama, namun cakupanya hanya sampai
batas pada bagaimana suatu keadilan itu lahir, yakni dengan keseimbangan antara ketiga jenis jiwa
yang ada dalam diri manusia. Terkait posisi asal yang disinggung oleh Plato
dalam teori keadilanya, hal tersebut juga dikemukakan demikian oleh Jhon Rawls.
Kemudian,
Aristoteles mengemukakan pandangan
bahwa hukum yang harus ditaati demi keadilan, dibagi menjadi hukum alam dan
hukum positif. Hukum alam dianggap sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan
dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum itu tidak pernah
berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Lain halnya dengan
hukum positif, yang sebagian besar berwujud undang-undang Negara yang berlaku
sesudah ditetapkan dan diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa. Tetapi,
selain keadilan dianggap sebagai keutamaan umum (yaitu ketaatan hukum alam dan
hukum positif), terdapat juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yaitu
yang menentukan hubungan baik antara satu orang dengan yang lainnya, lalu
keadilan berada di tengah dua ekstrem (keseimbangan), dan untuk mengukur
keseimbangan maka perlu ukuran kesamaan (dihitung dengan cara aritmetis atau
geometris).
Keadilan
yang dimaksud oleh Aristoteles beranjak dari filsafat politik, yang dikemukakan
di tengahtengah berkecamuknya krisis politik di Yunani saat itu. Untuk itu,
Aristoteles membagi keadilan dalam beberapa hal, yakni:
a)
Keadilan
dalam segi-segi tertentu dalam kehidupan manusia, yaitu:
·
Keadilan
menentukan bagaimana seharusnya hubungan baik di antara manusia; dan
·
Keadilan
itu terletak di antara dua kutub yang ekstrim; orang harus menemukan
keseimbangan dalam memperjuangkan kepentingannya sendiri; orang tidak boleh
hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan melupakan kepentingan orang lain;
b)
Pembagian
keadilan secara garis besar, yaitu:
·
Keadilan
distributif: mengatur hubungan antara masyarakat dan para anggota masyarakat,
mewajibkan pemerintah untuk memberi apa yang menjadi hak para anggota; dan
·
Keadilan
komutatif: mengatur hubungan antara para anggota masyarakat yang satu dan yang
lain, dan mewajibkan setiap orang untuk bertindak sesuai dengan hukum alam dan
atau perjanjian. Ini mengenai milik pribadi dan kepentingan pribadi;
c)
Keadilan
yang menyangkut ketertiban umum, yaitu:
·
Keadilan
legal: mewajibkan di satu pihak lembaga legislative untuk membuat undang-undang
guna mencapai kesejahteraan umum dan mewajibkan di lain pihak para warga supaya
patuh kepada undang-undang negara dan
·
Keadilan
sosial mengatur hubungan antara majikan dan buruh [1]
Konsep
menurut Aristoteles inilah yang menurut banyak kalangan merupakan awal mula
diformulasikannya keadilan, sehingga menjadi titik tolak pengembangan konsep
keadilan di kemudian hari. Meskipun Plato membuat konsep keadilan tapi tidak
segamblang apa yang disampaikan oleh Aristoteles. Bahkan di dunia barat masih
menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Aristoteles, karena masih dianggap
relevan dijadikan dasar untuk kehidupan berbangsa dan bernegara menurut kultur
barat, sehingga melahirkan konsep-konsep arti keadilan di kemudian hari, yaitu
dari Era Yunani tersebut sampai dengan era yang memasuki Era Postmodern.
Kemudian jika diakaitkan dengan konsep keadilan yang dikemukakan oleh Jhon
Rawls, jelas sangat relevan dan bersesuaian dengan apa yang dikemukakan oleh
Aristoteles mengenai konsep keadilan diatas.
[1]
Agus Budi Susilo. Jurnal Perspektif Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September.
Hl. 220.
[2] Agus Budi Susilo. Ibid,.
[1]
Sunaryo. Jurnal Kritik Chantal Mouffe
atas Liberalisme Rawls: Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik
Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2013. Hlm. 9.
[2]
Anil Dawan. Jurnal Keadilan Sosial: Teori Keadilan Menurut John Rawls Dan
Implementasinya Bagi Perwujudan Keadilan Sosial Di Indonesia, Hlm.4.
[3]
Bambang Stiyoso, Jurnal Mencari Format
Ideal Keadilan Putusan dalam Peradilan. Hlm. 2.
[4] Ibid,.
Hlm. 4
[5]
A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 98.
[6]
Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan hukum dalam Pembangunan
Nasional, Lembaga Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,
diedarkan oleh Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm. 319-320.
[7]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 6,
Nomor 1, April 2009. Hlm. 146-147.
Comments
Post a Comment