Hingga saat ini, akses masyarakat
terhadap keadilan masih terbilang sulit. Hal tersebut sesuai dengan hasil
pengukuran pemerintah terkait akses keadilan di masyarakat (indeks) tahun 2019
lalu. Meskipun Indonesia memiliki skor cukup baik yakni 69,6[1]
dari maksimum 100, ternyata masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Salah
satunya terkait akses akan layanan hukum seperti bantuan hukum dari pengacara.
Pandemi COVID-19 semakin mempersulit
kondisi ini, mengingat ruang gerak masyarakat yang terbatas, akses keadilan pun
semakin sulit dijangkau.
Berkaitan dengan kondisi tersebut,
Kehadiran inovasi teknologi yang berbentuk situs cukup penting dan merupakan
sebuah kebutuhan. khususnya ketika
banyak masyarakat sulit mendapat bantuan hukum lantaran persebaran Lembaga
penyedia layanan bantuan hukum di Indonesia tidak merata.
Berbagai inovasi atau situs-situs di
bidang hukum sudah digagas oleh banyak pihak, tidak hanya pemerintah dan swasta
melainkan juga dilakukan oleh organisasi nirlaba seperti Non-Government
Organization (NGO) yang bergerak di bidang hukum.
Contohnya indekshukum.org[2]
milik Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (Leip),
Korupedia.org[3]
milik Transparansi Internasional Indonesia (TI), Pantau Peradilan milik
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) dan eprobono.org[4]
yang dikembangkan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS).
Namun demikian, dari sisi
kelembagaan NGO di tingkat nasional dan provinsi masih sangat bergantung pada
donor internasional untuk pendanaan[5].
Mengingat kondisi tersebut, maka sebuah upaya tentu diperlukan untuk
menanggulanginya. Salah satunya dengan mendorong penggunaan metode Design
Thinking dan Social Busines Model Canvas sejak proses perencanaan
kerja kerja NGO.
Design thinking merupakan metode penyelesaian
masalah yang berakar pada kebutuhan pengguna. Dalam menciptakan inovasi hukum
cara berpikir tersebut sering luput sehingga teknologi yang awalnya dibentuk
untuk masyarakat menjadi tidak berdaya guna lantaran dibentuk hanya dengan
pandangan pembuat.
Terdapat 5 tahapan yang harus
dilalui dalam membuat sebuah situs dengan metode design thinking.
Yang pertama adalah discover
atau menggali permasalahan masyarakat dengan wawancara mendalam, sintesis atau
mendata kemungkinan solusi atas permasalahan. Selanjutnya adalah ideate atau
memetakan dampak yang mungkin ditimbulkan solusi (baik positif atau negatif), prototype
dan execute atau tahap pelaksanaan ide.
Dalam menjalankan proses design
thinking di atas diperkenalkan alat bantu berupa Social Busines Model
Canvas.
Social Business Model Canvas
Business Model Canvas[6] adalah satu metode perencanaan
bisnis yang diperkenalkan oleh pengusaha asal Swiss, Alexander Osterwalder
untuk memudahkan pelaku bisnis dalam memahami dan mengkomunikasikan bisnis
perusahaannya kepada orang lain dalam rangka menciptakan peluang bisnis itu
sendiri.
Metode ini kemudian diadaptasi oleh
penggiat sosial menjadi Social Business Model Canvas yang sudah banyak
digunakan NGO di berbagai negara[7].
Tanpa harus membuat proposal
kegiatan yang panjang, canvas ini akan memudahkan mereka dalam menggambarkan
ide untuk mengatasi permasalahan sosial yang terjadi seiring dengan memetakan
sumber pendanaan penunjang.
Karena merupakan bagian dari proses
perencanaan, dalam mengisi canvas ini terdapat beberapa informasi utama
yang harus ditetapkan secara matang.
Seperti siapa saja penerima manfaat,
nilai apa yang akan ditawarkan, solusi kongkret atas permasalahan yang
dihadapi, pemetaan aktor pendukung dan pemangku kebijakan yang bisa dilibatkan,
aktivitas utama yang akan diselenggarakan, komponen anggaran yang menjadi modal
kegiatan dan terakhir pemetaan potensi pemasukan.
Secara keseluruhan, jika semua
tahapan design thinking sudah dilakukan dengan baik, maka dapat
dipastikan segala inovasi sosial yang kemudian dihadirkan akan lebih efisien,
menciptakan berbagai kolaborasi antar stakeholder dan menghindari
pekerja sosial dari kehilangan pasarnya.
Dikarenakan NGO bekerja tidak hanya
mengejar keuntungan semata (profit oriented), namun juga berfokus pada
penyelesaian masalah-masalah sosial. Maka Segala bentuk keuntungan dipergunakan
untuk keberlangsungan program dan operasional[8].
Hal ini merupakan salah satu solusi
dari permasalahan kemandirian pendanaan NGO termasuk dalam merawat situs-situs
sebagai bagian inovasi yang diluncurkan.
Kehadiran beberapa situs-situs hukum
yang dijelaskan sebelumnya perlu diapresiasi. Namun, tidak semua situs hukum
bisa bertahan seperti beberapa contoh di atas. Berbagai faktor menjadi
penyebabnya[9],
mulai dari tidak matangnya perencanaan dari situs yang diluncurkan, nilai kemanfaatan
minim, kurangnya kebaharuan hingga lemahnya sistem pendanaan yang dimiliki oleh
penggagas kembali menjadi penyebab matinya situs yang diluncurkan.
Memang belum ada contoh sukses
penggunaan metode ini di Indonesia. Namun di luar negeri, praktik baik
penggunaan metode design thinking dalam kegiatan sosial ini dapat
dilihat dari apa yang sudah dijalankan oleh Maria stopez (sebuah penyedia
layanan sosial dibidang kontrasepsi dan KB) di Zambia[10].
Dengan metode design thinking
dan Bersama IDEO.org[11],
Maria menyelenggarakan program peningkatan kesadaran remaja melalui Diva
Centres (ruang yang di dekor sedemikian rupa dan menyediakan layanan
perawatan seperti di salon) yang di dalamnya disediakan mentor sebagai
pendengar atas pendapat mereka mengenai lelaki dan seks.
Program tersebut berhasil
meningkatkan pemahaman para remaja dan mendorong mereka untuk berani membuat
keputusan tentang masa depan mereka.
Penggunaan design thinking,
khususnya SBM canvas dalam proyek sosial oleh NGO atau komunitas masyarakat
lainnya sudah diterapkan di 80 negara[12].
Materinya juga telah diajarkan pula di beberapa kampus seperti Oxford,
Georgetown dan Stanford University.
Bagaimana metode ini bisa diterapkan
di Indonesia?
Kedepannya, jika metode ini
digunakan di Indonesia dan dikembangkan secara terus menerus, maka cita-cita
pekerja sosial mandiri seperti NGO dalam menjalankan situsnya akan dapat
terwujud. Hal tersebut tentu berdampak pula pada suksesnya pembaharuan hukum
Indonesia.
Sederhananya metode design
thinking dan penggunaan SBM canvas ini bisa dipraktikkan sejak organisasi
sosial atau NGO menyelenggarakan rencana strategi yang biasa dilakukan setiap
awal tahun.
Dengan demikian, jauh sebelum
implementasi kegiatan NGO sudah dapat memetakan secara matang apa saja yang
akan dilakukan, dengan siapa mereka bisa bekerja sama serta pemasukan apa yang
bisa dimanfaatkan sebagai alternatif pendanaan lembaga agar tetap bertahan
meskipun berada dalam kondisi yang sulit.
[1]
(https://www.liputan6.com/global/read/4131728/bappenas-luncurkan-indeks-terhadap-keadilan-dalam-inlu-2019)
[5]
(https://theconversation.com/lsm-indonesia-sekarang-bisa-akses-dana-pemerintah-untuk-pelayanan-masyarakat-102047)
[7]
(https://socialenterpriseinstitute.co/wp-content/uploads/2018/12/Social-Business-Model-Canvas.pdf).
Comments
Post a Comment