I.
Kasus Posisi
I.
Kasus Posisi
Angelina
Sondakh (AS) selaku anggota DPR, mendapatkan amanah untuk mengikuti rapat
pembahasan anggaran untuk beberapa proyek pemerintah pada saat itu. Sebelumnya ia bertemu dengan Nazaruddin selaku
owner dari Permai Grup untuk
membicarakan kerjasama perihal penggiringan anggaran ke perusahaan Nazaruddin
selaku pemenang tender untuk proyek pembangunan sarana pendidikan dan olahraga
pemerintah. Atas kerjasama tersebut AS, meminta imbalan sejumlah 7% (yang
akhirnya dikurangi menjadi 5%) dari total dana anggaran yang diperoleh Permai
Grup dan dibayarkan dalam dua tahap pembayaran yakni saat pembahasan anggaran
di DPR dan saat DIPA telah disetujui.
Untuk
memperlancar kerjasama tersebut, AS aktif menghubungi beberapa pihak terkait
khususnya dari kemendiknas guna memperlancar usaha penggiringan dana ke
perusahaan Nazaruddin. Oleh sebab itu ia didakwa oleh penuntut umum dengan pasal
tindak pidana korupsi berupa penerimaan suap atas diri AS, dengan tuntutan
pidana penjara 12 tahun penjara, denga Rp 500 juta dan Uang Pengganti Rp 12 M +
2 juta 150 ribu U$ dollar.
Atas
tuntutan tersebut, oleh pengadilan negeri tindak pidana korupsi, AS dijatuhi hukuman
penjara selama 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 250 juta (sesuai dakwaan
alternative ketiga). Tidak puas akan putusan hakim, jaksa akhirnya mengajukan
upaya hukum melalui Mahkamah Agung (MA). Atas upaya kasasi tersebut MA
memutuskan bahwa AS patut dijatuhi pidana penjara 12 tahun penjara, denga Rp
500 juta dan Uang Pengganti Rp 12 M + 2 juta 150 ribu U$ dollar berdasarkan
dakwaan alternative pertama jaksa penuntut umum. Dari kondisi tersebut, terlihat
bahwa terdapat putusan yang sangat jomplang antara putusan yang dijayuhkan
judex factie dan putusan yang dijatuhkan oleh judex juris (MA).
II.
Isu Hukum atau Rumusan Masalah
1.
Dapatkah
MA selaku judex juris menjatuhkan putusan yang lebih berat dari putusan yang
telah dijatuhkan judex factie
sebelumnya ?
2.
Keadaan
seperti apa saja yang menjadi hal peringan dan pemberat hukuman terdakwa dalam penjatuhan
putusan oleh hakim ?
III.
Isi
1. Isu
Hukum I (kewenangan Mahkamah Agung) :
Teori (dasar hukum)
Pada masa kolonial, Mahkamah Agung (MA) merupakan sebuah simbol penting
yang dalam konteks Indonesia modern menjadi mustahil disingkirkan begitu saja.
Ia merupakan
simbol spesialisai fungsional kekuasaan pemerintahan, sebuah sistem yang ditunjukan untuk
memastikan agar badan legislative, pemerintah dan yudikatif terpisah dan
dijalankan oleh orang orang dan lembaga yang berbeda.[1]Lahirnya
gerakan reformasi tahun 1998 dan penyelenggaraan pemilihan umum pertama pasca
reformasi tahun 1999 telah menghasilkan kekuatan partai politik yang
menghendaki dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Hingga
Akhirnya, perubahan UUD 1945 telah dilakukan sebanyak empat kali sejak tahun
1999 sampai dengan tahun 2002. Sebelum amandemen, berdasarkan Pasal 24 Ayat (1)
UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain
badan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung.
Dahulunya,
kekuasaan kehakiman banyak dipengaruhi dan tidak terlepas dari intervensi
institusi negara lainnya termasuk pemerintah yang ikut mempengaruhi jalannya proses peradilan yang seharusnya bebas dan mandiri.
Namun, Setelah reformasi tahun 1998, ide untuk melakukan perubahan terhadap UUD
1945 mulai muncul sejak tahun dengan
Perubahan Pertama UUD 1945
hingga empat kali
Perubahan. Salah satu kemajuan kekuasaan kehakiman tahun 1999 adalah telah dimulai
upaya untuk menyatukan kekuasaan
kehakiman dalam satu atap (one roof system) yakni di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung.
Mahkamah
Agung dan Fungsi Kasasi
Ditinjau
dari segi istilah, Kasasi
berasal dari kata casser yang artinya
memecah. Lembaga Kasasi pertama kali diperkenalkan di Perancis, ketika suatu putusan hakim
dibatalkan demi untuk mencapai
kesatuan peradilan. Mulanya, kewenangan itu berada di tangan raja beserta
dewannya yang disebut conseil du Roi.[2]
Di Perancis sendiri, pemeriksaan kasasi ini merupakan salah satu gagasan revolusi
Perancis yang megatakan bahwa ” that the law
ought to be codified so that if it would be
uniform and applied equally to everyone. A logical extension of this idea was
that a tribunal be instituted to ensure the uniform incorrectly, this tribunal
would quash these decisions. Hence the word cassation..”[3]
Awalnya pengadilan kasasi ini
dibentuk sebagai bagian dari legislature bukan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman. Dengan
kedudukan the Cour de cassation, yang tujuanya
adalah untuk dapat
memastikan bahwa ”its supremacy as the
sole source of the law”. Dengan
dibentuknya the
Cour de cassation ini maka menurut Chaterine Elliott and Catherine Vernon,”All
the courts ceased to have the power to
make law”. Dalam perkembangannya putusan dalam
pemeriksaan kasasi ini menjadi yurisprudensi sebagai sumber hukum dalam
melengkapi legislasi. Oleh karena itu, menurut Prof. Oemar Seno Adji bahwa MA
adalah “rechtsingang” ketiga, bukan sebagai suatu instansi ketiga.[4]
Setelah
berkembang di Perancis, praktek tentang upaya hukum kasasi inipun kemudian
dikembangkan di Belanda. Dalam
perundang–undangan Belanda, ada tiga alasan untuk melakukan kasasi, yaitu [5];
1.
Apabila
terdapat kelalaian dalam acara;
2. Peraturan hukum tidak dilaksanakan
atau ada kesalahan pada pelaksanaannya;
3. Apabila tidak dilaksanakan cara
melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan undang – undang.
Di
Indonesia, dalam
undang–undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa
segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan–alasan dan dasar putusan
itu, memuat pula pasal–pasal tertentu dari peraturan–peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Ini adalah dasar hukum
yang sah bahwa suatu putusan hakim haruslah memuat alasan–alasan dan
dasar–dasar putusan itu.
Pada tahun 1947 dan 1974, Hoge Raad
membatalkan putusan hakim yang lebih rendah karena alasan–alasan yang kurang
cukup dan kelihatan di situ bahwa pidana yang dijatuhkan kurang seimbang dengan
alasan–alasan yang dikemukakan dalam putusan pengadilan tersebut. Berdasarkan
alasan–alasan atau pertimbangan–pertimbangan yang ditentukan oleh undang–undang
yang menjadi dasar suatu putusan yang kurang jelas, dapat diajukan kasasi
melalui jalur kelalaian dalam acara (vormverzuim) itu. Dalam putusan pengadilan negeri atau pengadilan
tinggi kadang– kadang tidak disertai dengan pertimbangan yang dikehendaki oleh
undang–undang (dalam hal ini khususnya yang tercantum pada Undang–Undang
Kekuasaan Kehakiman). Tidak/kurang adanya pertimbangan/alasan–alasan atau pun
alasan–alasan yang kurang jelas, sukar dimengerti ataupun bertentangan satu
sama lain, dapat menimbulkan suatu kelalaian dalam acara, oleh karena itu dapat
menimbulkan batalnya putusan pengadilan negeri/tinggi oleh Mahkamah Agung dalam
putusan kasasi. [6]
Pada asasnya, kasasi didasarkan atas
pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui
kekuasaan kehakimannya. Hadar Djenawi Tahir menyebutkan dalam bukunya bahwa kasasi merupakan upaya hukum
terhadap putusan banding yang telah dijatuhkan oleh pengadilan banding/tinggi.
Selama ini banyak orang keliru menafsirkan bahwa pemeriksaan kasasi adalah
pemeriksaan tingkat tiga. Pemeriksaan tingkat kasasi itu sebenarnya bukanlah pemeriksaan
tingkat ketiga. Kasasi adalah membatalkan atau memecah. Kasasi merupakan upaya
hukum terhadap putusan–putusan yang diberikan tingkat tertinggi oleh
pengadilan–pengadilan lain dalam perkara– perkara pidana maupun perdata, agar
dicapai kesatuan dalam menjalankan peraturan–peraturan dan undang–undang.[7]
1. Koreksi terhadap kesalahan putusan
pengadilan bawahan. Salah satu tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan
kesalahan penerapan hukum,agar hukum benar–benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah
cara mengadili perkara benar–benar dilakukan menurut ketentuan undang–undang.
2. Menciptakan dan membentuk hukum
baru. Selain tindakan koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam
peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum
baru dalam bentuk yurisprudensi.
3. Pengawasan terciptanya keseragaman
penerapan hukum. tujuan lain dari pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan
kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau
unified legal frame work dan
unified legal opinion.
Prof. Andi Hamzah secara garis besar menguraikan tentang
kasasi dan bagaimana pemeriksaan kasasi
sampai dalam sistem hukum kita sebagai berikut[9] :
Lembaga kasasi ...kata asalnya ialah casser yang artinya
memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan.
Semula berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut Conseil du Roi. Setelah
revolusi yang meruntuhkan kerajaan Perancis, dibentuklah suatu badan khusus yang
tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum jadi merupakan badan antara yang
menjembatani pembuat undang-undang dan kekuasaan kehakiman.
Pada tanggal 21 Agustus 1790 dibentuklah le tribunal de
cassation dan pada tahun 1810 de Cour de cassation telah terorganisasi dengan
baik. Kemudian lembaga kasasi tersebut ditiru pula di Negeri Belanda yang pada
gilirannya dibawa pula ke Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas
pertimbangan bahwa terjadi kesalahan ... penerapan hukum atau hakim telah
melampaui kekuasaan kehakimannya. Arti kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan
secara luas dan sempit. Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan
penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan
undang-undang atau keliru dalam memerapkan hukum.
Sebagai
lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman secara bebas dan merdeka,
Mahkamah Agung (MA) berdasarkan amanat pasal 24 ayat (2) UUD 1945 MA memiliki
fungsi utama dalam hal penegakan hukum dan keadilan. Dalam menjalankan fungsi yudisial secara
umum maka
Pasal 28 UU MA mengatur
bahwa : “Mahkamah Agung berwenang untuk
memeriksa dan memutus :
a. Permohonan
kasasi
b. Sengketa
kewenangan mengadili
c. Permohonan
PK terhadap putusan yang BHT”
Kewenagan MA terkait kasasi yang membatalkan suatu
putusan atau penetapan pengadilan dalam pasal 30 UUMA dimungkinkan apabila :
a). Tidak
berwenang atau melampaui batas kewenangan;
b). Salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,
Dikaji
dari pendapat doktrina makna “salah menerapkan hukum” berarti judex facti telah keliru menerapkan suatu
peraturan hukum seperti yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang
(verkeerde toepossing) atau
telah menerapkan suatu peraturan hukum bertentangan atau berlawanan dengan yang
ditentukan oleh atau dalam undang-undang (schending der wet). Tegasnya, dapat
dikonklusikan bahwa adanya kesalahan penerapan hukum yang dilakukan judex facti
baik terhadap hukum acara maupun hukum materiilnya. Menurut Bagir Manan,
terdapat empat kemungkinan kesalahan dalam penerapan hukum yaitu: kesengajaan
sebagai cara menyembunyikan keterpihakan,kelalaian atau kekurang cermatan,
pengetahuan yang terbatas dalam menggunakan legal reasoning dan kurang dalam
pertimbangan hukum. Hakim Agung sebagai puncak pelaksana kekuasaan kehakiman
harus mengambil peran yang optimal untuk menjadi pembaru hukum guna mewujudkan
pengadilan yang bersih. [10]
c). Lalai
memenuhi syarat2 yang diwajibkan uu, yang jika lalai memenuhinya maka putusan
akanbatal demi hukum. Hal ini terkait struktur suatu putusan dalam pasal 197
ayat (1) KUHAP, yakni :
a) Kepala
putusan
b) Identitas
terdakwa
c) Dakwaan
d) Pertimbangan
yang disusun secara ringkas, berdasarkan pembuktian penentu kesalahan dari diri
terdakwa
e) Tuntutan
pidana
f)
Pasal yang menjadi dasar pemidanaan
g) Hari
dan tanggal musyawarah hakim
h) Pernyataan
kesalahan (pemenuhan unsur pidana) dari siterdakwa
i)
Keterangan terkait bukti surat
j)
Perintah untuk ditahan/ dibebaskan
k) Hari,
tanggal, jpu dan hakim, panitera terkait putusan.
Didalam
KUHAP, Pasal 253 ayat (1) juga dimuat beberapa alasan mengajukan
kasasi, yaitu;
1.
Apakah
benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
2.
Apakah
benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang– undang;
3.
Apakah
benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Permohonan pemeriksaan tingkat kasasi harus dilakukan
menurut tenggang–tenggang waktu tertentu, yaitu 14 hari setelah putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa atau
penuntut umum, dan kemudian harus disusul dengan mengajukan memori kasasi yang
memuat alasan – alasan permohonan kasasi, dalam tempo 14 hari setelah
mengajukan permohonan tersebut (pasal 245 dan 248). Jika tenggang waktu
sebagaimana dimaksudkan di atas dilampaui, hak mengajukan permohonan kasasi dan
hak menyerahkan memori menjadi gugur dengan sendirinya (pasal 246 ayat (2) dan
pasal 248 ayat (4) KUHP).
Adapun pihak pihak yang diberi hak untuk mengajukan
upaya hukum kasasi adalah :
1. pihak–pihak terkait
dalam perkara pidana,
yaitu terdakwa atau penuntut umum, pihak–pihak ini mengajukan permohonan kepada
Mahkamah Agung, maka pembatalan keputusan dalam tingkat kasasi mempengaruhi
keputusan yang dimintakan kasasi itu;
2. Jaksa Agung demi kepentingan hukum.
jaksa agung menyampaikan
permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung. Kasasi demi kepentingan hukum ini
tidak membawa pengaruh terhadap putusan pengadilan yang elah dijatuhkan. Tujuan
kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan
membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang– undang atau keliru dalam menerapkan
hukum.
Selain
alasan-alasan diatas, hal lain yang juga dapat membenarkan MA untuk melakukan
pembatalan putusan judex factie adalah terjadinya kondisi “onvoldoende gemotiveerd”
atau pertimbagan yang tidak cukup dalam suatu putusan, oleh pengadilan
sebelumnya. Onvoldoende
gemotiveerd merupakan
bahasa Belanda yang sering digunakan Mahkamah Agung dalam putusan-putusan untuk
menyebut jika hakim pertama dan banding tak cukup pertimbangan. Dalam bahasa
Inggris,
keadaan tersebut lazim disebut sebagai insufficient judgement. Ada
yang mengartikannya sebagai pertimbangan yang tidak cukup lengkap, ada pula
yang menyebutnya putusan yang kurang pertimbangan. Pada putusan
Mahkamah Agung No 1992 K/Pdt/2000 dipakai frasa
‘putusan tidak sempurna’. Putusan selalu
disebut sebagai mahkota hakim, oleh sebab itu hakim
harus benar-benar membuat putusan yang bagus dan benar secara formil ataupun materil. Sederhananya putusan hakim
mencakup irah-irah dan kepala putusan, pertimbangan, dan amar. Dari cakupan
itu, yang dipandang sebagai dasar putusan adalah pertimbangan. Dalam
perkara pidana terdapat perpaduan antara penetapan peristiwa dengan penemuan
hukum sebagai konsekuensi mencari kebenaran materiil. [11]
Putusan Mahkamah Agung No 638K/Sip/1969 juga menegaskan bahwa putusan yang
tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan menjadi alasan untuk kasasi,
dan putusan demikian harus dibatalkan. Putusan Mahkamah Agung No 67 K/Sip/1972
juga mengandung kaidah hukum “putusan judex factie harus dibatalkan jika judex
factie tidak memberikan alasan atau pertimbangan yang cukup dalam hal
dalil-dalil tidak bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangannya. Kemudian, pasal 50 ayat (1) UU No 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menegaskan pula bahwa putusan pengadilan harus
memuat alasan dan dasar putusan yang relevan dengan sumber hukum tertulis ataupun tidak. [12]
Yahya
Harahap (mantan hakim agung)
berpendapat
bahwa onvoldoende gemotiveerd adalah masalah yuridis. Konsekuensinya, putusan
pengadilan tingkat pertama yang tidak cukup pertimbangan bisa dibatalkan di
tingkat banding. Demikian seterusnya ke Mahkamah Agung. Pasal 197 KUHAP membuat
rincian apa saja yang harus dimuat hakim dalam surat putusan. Jika kurang
memuat materi tersebut bisa berakibat putusan batal demi hukum. [13]
Selain dalam Undang
Undang tentang Mahkamah Agung diatas, tiga jenis kewenagan hakim MA terkait
kasasi juga diatur sama persis dalam pasal 253 Kitab Undang Undang Hukum Acara
Perdata (KUHAP). Hal yang sama kemudian juga diatur dalam Rancangan KUHAP tahun
2012, namun fungsi MA terkait kasasi dalam RKUHAP tersebut dibatasi dengan
tidak bolehnya MA menjatuhkan putusan yang lebih berat dari apa yang dijatuhkan
judex factie kecuali ada alasan alasan tertentu
yang dibenarkan oleh undang undang. Adapun bunyi poin pertimbanga RKUHAP
tentang kewenangan MA tersebut adalah :
“putusan
MA tidak boleh menyangkut fakta dan pembuktian, serta MA juga tidak boleh
menjatuhkan pidana lebih berat dari yang dijatuhkan oleh PN/PT. KECUALI, jika pengadilan yang lebih rendah tersebut memutus kurang dari
minimum khusus pidana yang telah ditetapkan. ”[14]
Berdasarkan teori dan
dasar hukum diatas, dapat
disimpulkan bahwa pengadilan di tingkat kasasi pada dasarnya
bertujuan untuk menjaga kesatuan hukum, baik melalui pengawasan penerapan hukum
pada pengadilan yang lebih rendah, maupun melalui penafsiran hukum yang
diberlakukan sama di seluruh wilayah Indonesia. [15]
Tirtaamidjaja, Hakim Agung pada MA RI tahun 1953, menyebutkan dengan sangat
gamblang bahwa : “…kasasi itu pada asasnya tidak diadakan untuk
kepentingan pihak-pihak yang berperkara – meskipun mereka benar
berkepentingan dalam hal itu – tetapi untuk kepentingan kesatuan
pemakaian hukum. [16]
Oleh karena itu pemeriksaan dalam perkara kasasi fungsinya adalah untuk melihat
apakah Hakim pada pengadilan yang lebih rendah telah menerapkan hukum dengan
tepat.
Fakta
Persidangan
-
Sebagai
anggota DPR terdakwa mempunyai kewenangan membahas pokok-pokok kebijakan fiskal
secara umum dan prioritas anggaran bersama Pemerintah sebagai acuan bagi setiap
Kementerian/Lembaga dalam menyusun usulan anggaran,
-
Berdasarkan
kesepakatan internal di Komisi X, Terdakwa ditunjuk menjadi Koordinator
Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran yang bertugas menindaklanjuti kesepakatan
anggaran dengan mitra kerja yakni Kemendiknas dan Kemenpora melalui Rapat Kerja
dan Rapat Dengar Pendapat dalam Badan Anggaran,
-
Terdakwa
kemudian diajak oleh Muhammad Nazaruddin (rekan sesama anggota DPR) bertemu
dengan Mindo Rosalina Manulang dan beberapa orang lainnya dari Permai Grup yakni
Gerhana Sianipar, Clara Mauren, Silvy dan Bayu Wijokongko di Restoran untuk
saling berkenalan sebagai sesama Pengusaha,
-
Mindo
Rosalina Manulang adalah pihak yang nantinya berhubungan dengan Terdakwa dalam
rangka mendapatkan proyek-proyek di Kemendiknas dan di Kemenpora setelah
berbagi no.hp dan pin BBM,
-
Setelah
pertemuan tersebut Mindo Rosalina kembali bertemu terdakwa guna menanyakan
kesediaan Terdakwa untuk menggiring anggaran di Kemendiknas dan Kemenpora, untuk
kerjasama berupa Proyek-Proyek Pembangunan/ Pengadaan dan Nilai Anggaran yang disesuaikan
dengan permintaan Permai Grup,
-
Terdakwa
menyanggupinya dengan syarat awal Permai Group harus membuat proposal tentang
usulan kegiatan dari Universitas-Universitas, serta memastikanya ke Biro
Perencanaan Ditjen Dikti Kemendiknas,
-
Setelah
mempelajari berkas yang diajukan Mindo Rosalina, pertengahan Maret 2010 terdakwa
menyanggupi permintaan Permai Grup dengan meminta imbalan uang (fee) sebesar 7%
(tujuh persen) dari nilai proyek, dengan sistem 50% pada saat pembahasan
dilakukan dan setelah DIPA turun atau
disetujui,
-
Terhadap
permintaan tersebut Nazaruddin memerintahkan Mindo Rosalina supaya fee yang
diminta terdakwa dapat dikurangi. Terdakwa akhirnya mau mengurangi fee menjadi
5%,
-
Setelah
disetujui, Terdakwa kemudian memprakarsai pertemuan Mindo Rosalina Manulang dan
Harris Iskandar selaku Sekretaris Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Kemendiknas guna mempermudah upaya penggiringan anggaran di Kemendiknas sesuai
dengan permintaan Permai Grup,
-
Selanjutnya
Terdakwa mengikuti kegiatan pembahasan rapat-rapat di Badan Anggaran DPR RI
membahas alokasi Anggaran APBN-P 2010 dan APBN 2011, dalam rapat Terdakwa
mengajukan usulan program kegiatan sebagai aspirasi dari Komisi X,yang awalnya
tidak diusulkan Kemendiknas,
-
Terdakwa
beberapa kali melakukan komunikasi melalui telepon ataupun BBM dengan Mindo
Rosalina Manulang untuk membicarakan tindak lanjut dan perkembangan upaya
penggiringan anggaran serta imbalan uang
(fee) yang sebelumnya telah dijanjikan,
-
Memenuhi
janji tersebut, maka Permai Grup memberikan sejumlah uang kepada Terdakwa
beberapa kali secara bertahap yakni : pertama, Rp 70 juta - Rp 2 Milyar - Rp 5
Milyar - Rp 5 Milyar - 300.000 Dollar - 750.000 Dollar - 500.000 Dollar – 400.000 Dollar, dan terakhir
sebesar Rp 10 Juta Rupiah,
-
Bahwa
total keseluruhan uang yang diterima terdakwa dari Permai Group adalah
Rp12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan
US $.2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu Dollar Amerika Serikat).
Analisa
Jika mengacu pada Pasal 253 KUHAP,
MA memiliki kewenangan untuk mengadili perkara khususnya dalam perkara pidana jika
: hakim sebelumnya salah menerapkan hukum, hakim sebelumnya tidak menerapkan
hukum acara sebagaimana mestinya atau hakim tersebut telah melampaui kewenagan
yang ia miliki. Berdasarkan pasal tersebut jika salah satu syarat atau secara
alternative dapat dipenuhi, maka MA melalui kewenaganya dapat “mengadili
sendiri” perkara yang bersangkutan. Untuk menjalankan fungsinya tersebut, maka MA
akan atau bisa saja menilai fakta dari perkara yang bersangkutan dari awal
hingga akhir, lalu kemudian membuat putusan sendiri, yang mana mungkin saja hal
itu akan memberikan pidana yang lebih berat atau bahkan lebih ringan dari
putusan hakim pada judex factie sebelumnya tergantung bagaimana hasil
pembuktian yang ia. Jadi pasal
253 KUHAP itu harus dipedomani dalam hal kasasi dilakukan dalam kasus pidana.
Kewenagan
MA yang demikian adalah sangat penting karena didalam praktek cenderung hakim judex
factie keliru dalam menjalankan kewenanganya dalam mengadili suatu perkara,
misalnya dalam kasus Angelina Sondakh diatas. Dimana semenjak penyususnan
dakwaan telah ditemukan kesalahan kesalahan oleh jaksa, sehingga akhirnya
putusan yang dijatuhkanpun menjadi keliru atau tidak tepat. Adapun dakwaan yang
dibuat oleh jaksa adalah berbentuk alternative, padahal seharusnya dakwaan
tersebut disusun secara subsideritas. Karena secara logika dasar saja, jika
dakwaan alternative, maka sifatnya pilihan sehingga hakim yang mengadili
perkarapun tidak harus menggali kebenaran materil masing masing unsur pasal,
namun cukup memilih salah satu saja yang jika menurutnya sudah terbukti, itulah
yang dijadikan dasar memutuskan pidana.
Kesalahan
berikutnya, dalam putusan terkait penggunaan pasal 12 dan pasal 5 UU Tindak
Pidana Korupsi. Secara umum pasal 12 merupakan delik yang bisa terpenuhi baaik
secara sengaja ataupun lalai sedangkan pada pasal 5 deliknya adalah delik opset
sehingga mutlak 5 tahun. Logikanya bagaimana hakim bisa memilih pasal 5,
sedangkan dalam kasus Anggelina Sondakh jelas suap yang diterima oleh sipelaku
lantaran adanya sikap aktif dari dirinya untuk meminta dan melakukan
serangkaian kegiatan agar ia mendapatkan uang dari si pemberi suap.
Sehingga
dengan kondisi demikianlah diperlukan MA sebagai lembaga yang menjamin bahwa
kekeliruan dalam hukum acara pidana bisa diperbaiki, agar putusan hakim dapat
memenuhi rasa keadilan baik bagi sipelaku dan masyarakat pada umumnya sebagai
korban tidak langsung dari tindak pidana korupsi yang terjadi. Adapun hal yang
mendasari kewenangan pengadilan yang lebih tinggi tersebut untuk memperbaiki
kekeliruan hukum yang terjadi dilakukan oleh MA melalui tugas dan kewenanganya
dalam hal pengaturan dan sebagai lembaga judex factie. (Inilah yang tidak boleh
dibatasi seperti apa yang ada didalam naskah akademis RUU KUHAP Tahun 2012)
Didalam
praktekpun hal ini sudah sering diterapkan oleh Mahkamah Agung, terutama dalam
Kasus Korupsi, dimana selain putusan Angelina Sondakh, ada beberapa putusan
lain yang memiliki “nasib” yang sama dengan putusan tersebut, dimana di
pengadilan negeri terdakwa diputus lebih ringan, dibanding apa yang kemudian
diputuskan oleh peradilan kasasi di Mahkmah Agung, seperti dalam kasus [17]:
Nama & Jabatan
|
Kasus Korupsi
|
Putusan Judex Factie
|
Putusan Judex Juris/ MA
|
1. TOMMY HINDRATNO (pegawai Ditjen Pajak).
|
suap Rp280 juta
terkait restitusi pajak milik PT Bhakti Investama Tbk.
|
3,5 tahun penjara
|
10 tahun penjara
|
2. ZEN UMAR (Direktur Utama PT Terang Kita).
|
Korupsi dana
Askrindo.
|
5 tahun penjara
|
15 tahun penjara
|
3. LABORA SITORUS (Anggota Polisi Sorong, Papua).
|
Kasus Pemilik
rekening gendut Rp1,5 triliun.
|
2 tahun penjara dan
denda Rp50 juta.
|
15 tahun penjara dan
denda Rp5 miliar subsider satu tahun kurungan.
|
4. ASMADINATA (hakim ad hov Pengadilan Tipikor Semarang)
|
Kasus korupsi/suap
mantan Ketua DPRD Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah
|
6 tahun penjara
|
10 tahun penjara
|
5.
RUSLI ZAINAL (Mantan Gubernur
Sumbar)
|
korupsi kehutanan
dan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Riau 2012.
|
10 tahun penjara
|
14 tahun penjara dan
denda Rp 1 miliar. Hak politik Rusli juga dicabut.
|
6. RATU ATUT CHOSIYAH (Mantan Gubernur Banten)
|
Kasus suap Rp
1 miliar kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar melalui advokat Susi
Tur Andayani.
|
4 tahun
penjara
|
7 tahun penjara
|
7. ANAS URBANINGRUM (Mantan Ketua Umum Partai Demokrat)
|
Kasus Korupsi dan
pencucian uang terkait proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya.
|
7 tahun penjara
|
14 tahun penjara,
denda 1 miliar, kembalikan uang rp 51 miliar dan hak politik dicabut.
|
Berdasarkan
alasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam kasus Angelina Sondakh,
Mahkamah Agung memang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan pemidaan yang lebih
berat dibandingkan dengan yang dijatuhkan oleh judex factie. Apalagi dalam
kasus Angelina Sondakh terdapat kekeliruan hakim judex factie yang tidak
memberikan pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) tentang sikap aktif Angelina Sondakh sebagai pelaku
dalam tindak pidana suap untuk mendapatkan uang sebagai imbalan dari
penggiringan dana untuk proyek Nazaruddin.
2. Isu
Hukum II (hal meringankan dan memberatkan) :
Teori Dasar
Penegakan
hukum terhadap kejahatan
di Indonesia, khususnya dalam pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum untuk
membuktikan perbuatan yang didakwakan terbukti atau tidak, sehingga hakim dapat
menjatuhkan sanksi pidana yang tepat sehingga dapat memberikan efek jera kepada sipelaku. Hal ini memberikan
wacana kepada para hakim dalam merumuskan vonis penjatuhan sanksi pidana kepada
para pelaku kejahatan agar yang dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana harus disertai pula
fakta-fakta yang
digunakan, untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana, sebagaimana ditentukan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.
Memorie Van Toelichting
dari
Strafwetboek tahun 1886, memberikan
pedoman untuk mempertimbangkan
berat ringannya pidana sebagai berikut[18] :
“ Dalam menentukan tinggi rendahnya
pidana, hakim untuk tiap kejadian harus
memperhatikan keadaan obyektif dan subyektif dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatikan
perbuatan dan pembuatannya. Hak-hak apa saja
yang dilanggar dengan adanya tindak pidana itu? Kerugian apakah yang
ditimbulkan? Bagaimanakah sepak terjang kehidupan si pembuat dulu-dulu? Apakah
kejahatan yang dipersalahkan kepadanya itu langkah pertama kearah jalan yang
sesat ataukan merupakan suatu perbuatan, merupakan suatu pengulangan dari watak
jahat yang sebelumnya sudah tampak.”
Pedoman dari Memorie Van Toelichting ini
dapat pula dipergunakan sebagai pedoman
untuk
mempertimbangkan berat ringannya pidana dalam praktek peradilan di Indonesia, karena KUHP kita pada prinsipnya
merupakan salinan dari Strafwetboek tahun 1886. Dalam
perundang-undangan Indonesia juga terdapat ketentuan-ketentuan yang merupakan petunjuk ke arah
pertimbangan berat ringannya pidana. Ketentuan demikian tercantum pula dalam Pasal 8 ayat (2)
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan
Kehakiman yang menyebutkan dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan
pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Didalam KUHAP sendiri,
terkait hal yang meringankan dan memberatkan pemidanaan seorang terdakwa dimuat
dalam pasal 197 ayat (1) tentang format suatu putusan. Adapun bunyi pasal
tersebut adalah :
“Suatu
putusan pemidanaan memuat :
a)
Kepala putusan
b)
Identitas terdakwa
c)
Dakwaan
d)
Pertimbangan yang disusun secara ringkas, berdasarkan
pembuktian penentu kesalahan dari diri terdakwa
e)
Tuntutan pidana
f)
Pasal yang menjadi dasar pemidanaan
g)
Hari dan tanggal musyawarah hakim
h)
Pernyataan kesalahan (pemenuhan unsur pidana) dari
siterdakwa
i)
Keterangan terkait bukti surat
j)
Perintah untuk ditahan/ dibebaskan
k)
Hari, tanggal, jpu dan hakim, panitera terkait
putusan”
Berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP dapat
disimpulkan bahwa surat putusan pemidanaan
memuat “Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan
atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa”. Namun, terkait hal
yang meringankan dan memberatkan tersebut, KUHAP
tidak mengatur secara jelas hal-hal yang dijadikan tolak ukur nya, sehingga penentuan pemberat dan peringan tersebut merupakan kewenangan hakim dalam memutus suatu perkara
berdasarkan fakta-fakta yang termuat dalam persidangan.
Oleh sebab itu, untuk mengetahui panduan
akan hal apa saja yang menjadi peringan dan pemberat pemidanaan seseorang, maka
kita dapat melihatnya pada Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) tentang Pedoman
Penuntutan oleh jaksa. Dalam SEJA tersebut diatur bahwa :
I.
Dalam
hal Faktor memberatkan lebih dominan maka pedoman tuntutan pidana adalah
ancaman pidana badan maksimum yang diatur dalam pasal undang-undang
bersangkutan.
II.
Dalam
hal faktor meringankan lebih dominan dan pasal undang-undang yang didakwakan
tidak mengatur ancaman pidana. mati, maka pedoman tuntutan pidana dibedakan
antara tindak pidana Umum dan tindak pidana. khusus :
-
Untuk
tindak pidana umum pada prinsipnya tuntutan pidananya adalah 2/3 (dua pertiga)
dari ancaman pidana penjara maksimum sebagaimana diatur dalam pasal
undang-undang bersangkutan.
-
Untuk
tindak pidana khusus, pada prinsipnya tuntutan pidananya adalah 3/4 (tiga
perempat) dari ancaman pidana penjara maksimum sebagaimana. diatur dalam pasal
undang-undang yang bersangkutan.
III. Dalam hal ancaman pidana badan
yang diatur dalam pasal undang-undang bersangkutan lebih dari satu seperti
antara lain pasal 340 KUHP. Yang menentukan ancaman pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 tahun maka pedoman
tuntutan pidananya adalah sebagai berikut:
-
Dalam
hal faktor memberatkan lebih dominan maka tuntutan pidananya adalah ancaman
pidana alternatif pertama (yang terberat) yaitu pidana mati.
-
Dalam
hal faktor meringankan lebih dominan maka tuntutan pidananya adalah ancaman
pidana alternatif kedua atau ketiga, sesuai dengan dominannya faktor
meringankan tersebut.
IV. Apabila di dalam undangan-undang
bersangkutan diatur mengenai hukuman tambahan, supaya di dalam tuntutan pidana
dicantumkan juga mengenai hukuman tambahan tersebut.
V.
Mengenai
berat ringannya pidana denda diserahkan kepada kebijakan kepala kejaksaan
Tinggi / Kepala Kejaksaan Negeri.
VI. Di dalam menentukan berat
ringannya tuntutan pidana perlu dipertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
A. Pelaku, harus dipertimbangkan mengenai
:
1.
Umur
2.
Pendidikan
3.
Kedudukan
sosial, ekonomi, kultural
4.
Recidivist
5.
Mental
/ Psychis
6.
Motivasi
7.
Phisik
B.
Perbuatan,
harus diperhatikan
mengenai
1.
Cara,
sifat dan kualitas perbuatan
2.
Kedudukan
dan peranan
a.
Actor
Intelectualis
b. Pelaku
c.
Peserta
d.
Pembantu
C.
Akibat
dari perbuatan, Dalam
hal ini harus diperhatikan akibat perbuatan yang telah dilakukan apakah
menimbulkan kerugian
1. Material Terhadap :
a.
Negara
b.
Masyarakat
c.
Perorangan
2.
Jiwa
3.
Badan
4.
Immaterial
5. Lingkup ruang
a. Lokal
b.
Nasional
.
c.
Internasional
6. Lingkup waktu
a. Jangka pendek
b. Jangka panjang
D.
Faktor-faktor
lain, Dalam
hal ini perlu diperhatikan ialah :
1.
Politik
hukum, yang ada kaitannya dengan rasa keadilan masyarakat.
2.
Politik
pemidanaan, yang ada kaitannya dengan daya tangkal.
Fakta
Persidangan
Dalam dakwaan dan tuntutan
jaksa penuntut umum, selain merumuskan uraian pasal yang didakwakan serta
pembuktianya didalam surat tuntutan, jaksa penuntut umum juga telah merumuskan
hal hal yang meringankan dan memberatkan hukuman terdakwa Angelina Sondakh.
-
Bahwa
Hal-hal yang memberatkan dari diri terdakwa :
a.
Perbuatan
Terdakwa tidak mendukung program Pemerintah yang saat ini
sedang giat-giatnya memberantas tindak pidana Korupsi
akan tetapi justru
memanfaatkan jabatannya selaku Anggota DPR-RI untuk
melakukan tindak
pidana Korupsi ;
b.
Perbuatan
Terdakwa telah merenggut hak sosial dan hak ekonomi masyarakat karena anggaran
yang telah ditetapkan tidak sepenuhnya digunakan
untuk kepentingan masyarakat ;
c.
Terdakwa
yang merupakan wakil rakyat dan publik figur justru tidak memberikan teladan
yang baik kepada masyarakat ;
d.
Terdakwa
tidak mengakui dan tidak menyesali perbuatannya ;
-
Bahwa
Hal-hal yang meringankan dari diri terdakwa :
a.
Terdakwa
bersikap sopan di persidangan ;
b.
Terdakwa
mempunyai tanggungan keluarga yakni seorang anak yang masih kecil ;
c.
Terdakwa
belum pernah dihukum dan relatif masih berusia muda sehingga diharapkan dapat
memperbaiki diri ;
Analisa
Jika
dikaji dari surat edaran dari jaksa agung dan putusan Angelina Sondakh, maka
terdapat perbedaan aplikasi antara aturan hukum dan praktek yang terjadi
dilapangan mengenai hal apa saja yang menjadi pemberat dan peringan pemidanaan
seseorang. Kondisi ini juga dibenarkan oleh jaksa KPK bapak Adnan Pasliadja.
Saat ini, jaksa menjadikan unsur delik sebagai pemberat pidana atas seseorang
terdakwa, padahal tidak bisa dilakukan demikian karena unsur delik sudah
memiliki ranah yang berbeda khususnya dalam pembuktian pokok perkara. Contohnya
saja terkait keterangan yang diberikan terdakwa dipersidangan tidak sesuai BAP
dijadikan dasar pemberat pidana, padahal terdakwa memang memiliki hak ingkar
sehingga jika BAP nya tidak sesuai dengan yang ia rasakan, boleh saja untuk di
Ingkari. Jadi seharusnya yang dijadikan hal yang meringankan dan memberatkan si
terdakwa lebih ke kondisi atau keadaan diluar pidana terdakwa seperti yang
diatur SEJA pedoman penuntutan.
Penyebab
utama yang memperparah kesalahan praktek tersebut adalah dengan adanya mekanisme
pelaporan Rencana Tuntutan oleh jaksa kepada atasanya, yang mana dengan proses
tersebut hal-hal yang bisa memberatkan dan meringankan diri sipelaku ditentukan
oleh atasan sang jaksa. Padahal jika diperhatikan proses pemeriksaan si
tersangka, maka hal yang memberatkan dan meringankan pemidanaan terhadap
sitersangka hanya bisa diamati oleh jaksa yang bersangkutan, bukan oleh
atasanya. Oleh sebab itu, tidak adil rasanya jika orang yang tidak mengetahui
secara langsung kondisi dan keadaan siterdakwa, malah menentukan hal peringan
dan pemberat sitrerdakwa tersebut dalam proses penyelesaian perkaranya.
Didalam
Surat Edaran diatas, juga diatur mengenai hubunganya penjatuhan jumlah pidana
dan hal meringankan serta memberatkan diatas. Yang mana jika hal yang memberatkan
akan dirinya lebih dominan, maka pidana yang dijatuhkan lebh dari ½ pidana yang
didakwakan. Jika hal peringannya lebih dominan, maka pidananya kurang dari ½
dakwaan. Begitupun jika ternyata sebanding, maka ambilah jumlah pidana yang
ditengah.Dalam kasus Angelina Sondakh diatas, hal hal yang memberatkan yang di
ajukan oleh jaksa baik dalam dakwaan dan tuntutanya adalah hal hal yang
berkaitan dengan unsur delik.
IV.
Penutup
Kesimpulan
1.
Sebagai
lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk mengadili
sendiri suatu perkara yang mana perkara tersebut menurut MA memenuhi
kualifikasi bahwa telah dikeluarkan putusan yang tidak sesuai dengan hukum
acara yang sebenarnya, misalnya kurangnya pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd ) hukum hakim pada putusan sebelumnya. termasuk dalam
kasus Angelina Sondakh.
Dengan
alasan kurangnya pertimbangan hakim sebelumnya, maka untuk menciptakan putusan
yang adil, maka Hakim MA diberi kewenangan untuk menilai fakta fakta
persidangan dan membuat putusan sendiri. Sehingga tidak tertutup kemungkinan
jika putusan yang dikeluarkan pun mungkin saja lebih berat dari putusan
pengadilan sebelumnya.
2.
Dalam
praktek, jaksa penuntut umum sering keliru dalam merumuskan hal meringankan dan
memberatkan dari siterdakwa terkait pemidanaan yang dijathkan terhadapnya dalam
putusan hakim. Kekeliruan tersebut terjadi karena jaksa sering memasukkan unsur
delik sebagai pertimbangan hal pemberat dan peringan pidana dari siterdakwa,
padahal hal hal yang seharusnya
dijadikan dasar peringan dan pemberat pidana itu adalah hal yang berkaitan
dengan diri dan lingkungan dari sipelaku, seperti usia, keadaan politik hukum
dan politik pemidanaan itu sendiri.
Saran :
1.
Untuk
menjamin terpenuhinya keadilan terkait penjatuhan pidana seseorang, seharusnya
Mahkamah Agung diberi kewenangan yang lebih luas untuk menilai fakta hukum yang
telah dinilai sebelumnya oleh hakim judex faxtie karena dalam praktek
seringkali ditemukan kekeliruan yang dilakukan oleh hakim judex facti terkait
penilainya terhadap fakta persidangan, sehingga menyeebabkan penjatuhan pidana
menjadi kurang tepat.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan revisi terhadaop
R-KUHAP sebelum pengesahan, khususnya terkait poin yang membatasi kewenangan MA
untuk menjatuhkan putusan yang lebih berat dari yang telah dijatuhkan hakim
judex factie, karena mungkin saja MA memberi
putusan yang lebih berat karena penilain fakta yang ditemukan MA
memungkinkan untuk penjatuhan pidana yang demikian.
2.
Terkait
hal yang meringankan dan memberatkan pemidanaan, harusnya dibuat suatu aturan
yang memberikan arahan kepada jaksa untuk hal apa saja yang menjadi factor
peringan dan pemberat pidana siterdakwa. Kemudian untuk penentuanya pun
harusnya ditentukan oleh jaksa yang memang memeriksa sitersangka semenjak awal
pemeriksaan hingga proses persidangan, Hal demikian adalah penting karena
memang jaksa yang memeriksa itulah yang mengetahui kondisi si terdakwa, bukan
atasan dari jaksa yang bersangkutan.
[1] Sebastian
Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung.
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan : Jakarta. 2012. Hlm.
31.
[2] http://media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdf,
diakses pada 18 juni 2015. Pukul 11:00 wib.
[3] http://leip.or.id/wp-content/uploads/2010/07/Pembatasan-Perkara-Kasasi_-Dr-Luhut-Pangaribuan.pdf,
diakses pada 18 juni 2015, pukul 12:00 wib.
[8] Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : pemeriksaan sidang pengadilan,
banding, kasasi, dan peninjauan kembali . Jakarta
: Sinar Grafika, 2001.
[11] www.hukumonline.com/berita/baca/lt4eba3e97b3807/bahasa-hukum-onvoldoende-gemotiveerd,
Diunduh pada 19 maret 2015, pukul 21:30 wib.
[16]
Tirtaamidjaja, Kedudukan Hakim dan Djaksa
dan Atjara Pemeriksaan Perkara Pidana dan Perdata. Jjakarta: Penerbit Djambatan,
1953. Hlm. 100.
[18] hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/367_JURNAL-INTAN.pdf,
diakses pada 17 juni 2015. Pukul 04:28 wib.
Comments
Post a Comment