Skip to main content

Analisis Putusan Nomor 1616 k/Pid.Sus/2013 atas nama terdakwa Angelina Sondakh


I.                   Kasus Posisi

I.                   Kasus Posisi

Angelina Sondakh (AS) selaku anggota DPR, mendapatkan amanah untuk mengikuti rapat pembahasan anggaran untuk beberapa proyek pemerintah pada saat itu.  Sebelumnya ia bertemu dengan Nazaruddin selaku owner dari Permai Grup untuk membicarakan kerjasama perihal penggiringan anggaran ke perusahaan Nazaruddin selaku pemenang tender untuk proyek pembangunan sarana pendidikan dan olahraga pemerintah. Atas kerjasama tersebut AS, meminta imbalan sejumlah 7% (yang akhirnya dikurangi menjadi 5%) dari total dana anggaran yang diperoleh Permai Grup dan dibayarkan dalam dua tahap pembayaran yakni saat pembahasan anggaran di DPR dan saat DIPA telah disetujui.  

Untuk memperlancar kerjasama tersebut, AS aktif menghubungi beberapa pihak terkait khususnya dari kemendiknas guna memperlancar usaha penggiringan dana ke perusahaan Nazaruddin. Oleh sebab itu ia didakwa oleh penuntut umum dengan pasal tindak pidana korupsi berupa penerimaan suap atas diri AS, dengan tuntutan pidana penjara 12 tahun penjara, denga Rp 500 juta dan Uang Pengganti Rp 12 M + 2 juta 150 ribu U$ dollar.

Atas tuntutan tersebut, oleh pengadilan negeri tindak pidana korupsi, AS dijatuhi hukuman penjara selama 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 250 juta (sesuai dakwaan alternative ketiga). Tidak puas akan putusan hakim, jaksa akhirnya mengajukan upaya hukum melalui Mahkamah Agung (MA). Atas upaya kasasi tersebut MA memutuskan bahwa AS patut dijatuhi pidana penjara 12 tahun penjara, denga Rp 500 juta dan Uang Pengganti Rp 12 M + 2 juta 150 ribu U$ dollar berdasarkan dakwaan alternative pertama jaksa penuntut umum. Dari kondisi tersebut, terlihat bahwa terdapat putusan yang sangat jomplang antara putusan yang dijayuhkan judex factie dan putusan yang dijatuhkan oleh judex juris (MA).

II.                Isu Hukum atau Rumusan Masalah

1.      Dapatkah MA selaku judex juris menjatuhkan putusan yang lebih berat dari putusan yang telah dijatuhkan judex factie sebelumnya ?
2.      Keadaan seperti apa saja yang menjadi hal peringan dan pemberat hukuman terdakwa dalam penjatuhan putusan oleh hakim ?

III.              Isi

1.      Isu Hukum I (kewenangan Mahkamah Agung) :
Teori (dasar hukum)
             Pada masa kolonial, Mahkamah Agung (MA) merupakan sebuah simbol penting yang dalam konteks Indonesia modern menjadi mustahil disingkirkan begitu saja. Ia merupakan simbol spesialisai fungsional kekuasaan pemerintahan, sebuah sistem yang ditunjukan untuk memastikan agar badan legislative, pemerintah dan yudikatif terpisah dan dijalankan oleh orang orang dan lembaga yang berbeda.[1]Lahirnya gerakan reformasi tahun 1998 dan penyelenggaraan pemilihan umum pertama pasca reformasi tahun 1999 telah menghasilkan kekuatan partai politik yang menghendaki dilaku­kannya perubahan (amandemen) terh­adap UUD 1945. Hingga Akhirnya, perubahan UUD 1945 telah dilakukan sebanyak empat kali sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Sebelum amandemen, berdasarkan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung.
Dahulunya, kekuasaan kehaki­man banyak dipengaruhi dan tidak terlepas dari intervensi institusi negara lainnya termasuk pemerintah yang ikut mempengaruhi jalannya proses peradilan yang seharusnya bebas dan mandiri. Namun, Setelah reformasi tahun 1998, ide untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 mulai muncul sejak tahun  dengan Perubahan Pertama UUD 1945 hingga empat kali Perubahan. Salah satu kemajuan kekuasaan kehakiman tahun 1999 adalah telah dimulai upaya untuk menyatukan kekuasaan kehakiman dalam satu atap (one roof system) yakni di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung dan Fungsi Kasasi
Ditinjau dari segi istilah, Kasasi berasal dari kata casser yang artinya memecah. Lembaga Kasasi pertama kali diperkenalkan di Perancis, ketika suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Mulanya, kewenangan itu berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut conseil du Roi.[2] Di Perancis sendiri, pemeriksaan kasasi ini merupakan salah satu gagasan revolusi Perancis yang megatakan bahwa ” that the law ought to be codified so that if it would be uniform and applied equally to everyone. A logical extension of this idea was that a tribunal be instituted to ensure the uniform incorrectly, this tribunal would quash these decisions. Hence the word cassation..[3]
Awalnya pengadilan kasasi ini dibentuk sebagai bagian dari legislature bukan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman. Dengan kedudukan the Cour de cassation, yang tujuanya adalah untuk dapat memastikan bahwa ”its supremacy as the sole source of the law”. Dengan dibentuknya the Cour de cassation ini maka menurut Chaterine Elliott and Catherine Vernon,”All the courts ceased to have the power to make law”. Dalam perkembangannya putusan dalam pemeriksaan kasasi ini menjadi yurisprudensi sebagai sumber hukum dalam melengkapi legislasi. Oleh karena itu, menurut Prof. Oemar Seno Adji bahwa MA adalah “rechtsingang” ketiga, bukan sebagai suatu instansi ketiga.[4]
Setelah berkembang di Perancis, praktek tentang upaya hukum kasasi inipun kemudian dikembangkan di Belanda. Dalam perundang–undangan Belanda, ada tiga alasan untuk melakukan kasasi, yaitu [5];
1.      Apabila terdapat kelalaian dalam acara;
2.      Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya;
3.      Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan undang – undang.

Di Indonesia, dalam undang–undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan–alasan dan dasar putusan itu, memuat pula pasal–pasal tertentu dari peraturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Ini adalah dasar hukum yang sah bahwa suatu putusan hakim haruslah memuat alasan–alasan dan dasar–dasar putusan itu.
Pada tahun 1947 dan 1974, Hoge Raad membatalkan putusan hakim yang lebih rendah karena alasan–alasan yang kurang cukup dan kelihatan di situ bahwa pidana yang dijatuhkan kurang seimbang dengan alasan–alasan yang dikemukakan dalam putusan pengadilan tersebut. Berdasarkan alasan–alasan atau pertimbangan–pertimbangan yang ditentukan oleh undang–undang yang menjadi dasar suatu putusan yang kurang jelas, dapat diajukan kasasi melalui jalur kelalaian dalam acara (vormverzuim) itu. Dalam putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi kadang– kadang tidak disertai dengan pertimbangan yang dikehendaki oleh undang–undang (dalam hal ini khususnya yang tercantum pada Undang–Undang Kekuasaan Kehakiman). Tidak/kurang adanya pertimbangan/alasan–alasan atau pun alasan–alasan yang kurang jelas, sukar dimengerti ataupun bertentangan satu sama lain, dapat menimbulkan suatu kelalaian dalam acara, oleh karena itu dapat menimbulkan batalnya putusan pengadilan negeri/tinggi oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi. [6]
Pada asasnya, kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Hadar Djenawi Tahir menyebutkan dalam bukunya bahwa kasasi merupakan upaya hukum terhadap putusan banding yang telah dijatuhkan oleh pengadilan banding/tinggi. Selama ini banyak orang keliru menafsirkan bahwa pemeriksaan kasasi adalah pemeriksaan tingkat tiga. Pemeriksaan tingkat kasasi itu sebenarnya bukanlah pemeriksaan tingkat ketiga. Kasasi adalah membatalkan atau memecah. Kasasi merupakan upaya hukum terhadap putusan–putusan yang diberikan tingkat tertinggi oleh pengadilan–pengadilan lain dalam perkara– perkara pidana maupun perdata, agar dicapai kesatuan dalam menjalankan peraturan–peraturan dan undang–undang.[7]

Adapun tujuan utama dari upaya hukum kasasi menurut Yahya Harahap[8] :
1.      Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah satu tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum,agar hukum benar–benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar–benar dilakukan menurut ketentuan undang–undang.
2.      Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindakan koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi.
3.      Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum. tujuan lain dari pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion.

Prof. Andi Hamzah secara garis besar menguraikan tentang kasasi dan bagaimana pemeriksaan kasasi sampai dalam sistem hukum kita sebagai berikut[9] :

Lembaga kasasi ...kata asalnya ialah casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Semula berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut Conseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan Perancis, dibentuklah suatu badan khusus yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum jadi merupakan badan antara yang menjembatani pembuat undang-undang dan kekuasaan kehakiman.
Pada tanggal 21 Agustus 1790 dibentuklah le tribunal de cassation dan pada tahun 1810 de Cour de cassation telah terorganisasi dengan baik. Kemudian lembaga kasasi tersebut ditiru pula di Negeri Belanda yang pada gilirannya dibawa pula ke Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan ... penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Arti kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit. Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam memerapkan hukum.


Sebagai lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman secara bebas dan merdeka, Mahkamah Agung (MA) berdasarkan amanat pasal 24 ayat (2) UUD 1945 MA memiliki fungsi utama dalam hal penegakan hukum dan keadilan. Dalam menjalankan fungsi yudisial secara umum maka Pasal 28 UU MA mengatur bahwa : “Mahkamah Agung berwenang untuk memeriksa dan memutus :
a.      Permohonan kasasi
b.      Sengketa kewenangan mengadili
c.       Permohonan PK terhadap putusan yang BHT”

Kewenagan MA terkait kasasi yang membatalkan suatu putusan atau penetapan pengadilan dalam pasal 30 UUMA dimungkinkan apabila :
a). Tidak berwenang atau melampaui batas kewenangan;
b). Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,
Dikaji dari pendapat doktrina makna “salah menerapkan hukum” berarti judex facti telah keliru menerapkan suatu peraturan hukum seperti yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang (verkeerde toepossing) atau telah menerapkan suatu peraturan hukum bertentangan atau berlawanan dengan yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang (schending der wet). Tegasnya, dapat dikonklusikan bahwa adanya kesalahan penerapan hukum yang dilakukan judex facti baik terhadap hukum acara maupun hukum materiilnya. Menurut Bagir Manan, terdapat empat kemungkinan kesalahan dalam penerapan hukum yaitu: kesengajaan sebagai cara menyembunyikan keterpihakan,kelalaian atau kekurang cermatan, pengetahuan yang terbatas dalam menggunakan legal reasoning dan kurang dalam pertimbangan hukum. Hakim Agung sebagai puncak pelaksana kekuasaan kehakiman harus mengambil peran yang optimal untuk menjadi pembaru hukum guna mewujudkan pengadilan yang bersih. [10]
c). Lalai memenuhi syarat2 yang diwajibkan uu, yang jika lalai memenuhinya maka putusan akanbatal demi hukum. Hal ini terkait struktur suatu putusan dalam pasal 197 ayat  (1) KUHAP, yakni :
a)      Kepala putusan
b)      Identitas terdakwa
c)      Dakwaan
d)      Pertimbangan yang disusun secara ringkas, berdasarkan pembuktian penentu kesalahan dari diri terdakwa
e)      Tuntutan pidana
f)        Pasal yang menjadi dasar pemidanaan
g)      Hari dan tanggal musyawarah hakim
h)      Pernyataan kesalahan (pemenuhan unsur pidana) dari siterdakwa
i)        Keterangan terkait bukti surat
j)        Perintah untuk ditahan/ dibebaskan
k)      Hari, tanggal, jpu dan hakim, panitera terkait putusan.

Didalam KUHAP, Pasal 253 ayat (1) juga dimuat beberapa alasan mengajukan kasasi, yaitu;
1.                  Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
2.                  Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang– undang;
3.                             Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Permohonan pemeriksaan tingkat kasasi harus dilakukan menurut tenggang–tenggang waktu tertentu, yaitu 14 hari setelah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa atau penuntut umum, dan kemudian harus disusul dengan mengajukan memori kasasi yang memuat alasan – alasan permohonan kasasi, dalam tempo 14 hari setelah mengajukan permohonan tersebut (pasal 245 dan 248). Jika tenggang waktu sebagaimana dimaksudkan di atas dilampaui, hak mengajukan permohonan kasasi dan hak menyerahkan memori menjadi gugur dengan sendirinya (pasal 246 ayat (2) dan pasal 248 ayat (4) KUHP).

Adapun pihak pihak yang diberi hak untuk mengajukan upaya hukum kasasi adalah :
1.      pihak–pihak terkait dalam perkara pidana, yaitu terdakwa atau penuntut umum, pihak–pihak ini mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung, maka pembatalan keputusan dalam tingkat kasasi mempengaruhi keputusan yang dimintakan kasasi itu;
2.      Jaksa Agung demi kepentingan hukum. jaksa agung menyampaikan permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung. Kasasi demi kepentingan hukum ini tidak membawa pengaruh terhadap putusan pengadilan yang elah dijatuhkan. Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang– undang atau keliru dalam menerapkan hukum.

Selain alasan-alasan diatas, hal lain yang juga dapat membenarkan MA untuk melakukan pembatalan putusan judex factie adalah terjadinya kondisi “onvoldoende  gemotiveerd” atau pertimbagan yang tidak cukup dalam suatu putusan, oleh pengadilan sebelumnya. Onvoldoende gemotiveerd  merupakan bahasa Belanda yang sering digunakan Mahkamah Agung dalam putusan-putusan untuk menyebut jika hakim pertama dan banding tak cukup pertimbangan. Dalam bahasa Inggris, keadaan tersebut lazim disebut sebagai insufficient judgement. Ada yang mengartikannya sebagai pertimbangan yang tidak cukup lengkap, ada pula yang menyebutnya putusan yang kurang pertimbangan. Pada putusan Mahkamah Agung No 1992 K/Pdt/2000 dipakai frasa ‘putusan tidak sempurna’. Putusan selalu disebut sebagai mahkota hakim, oleh sebab itu hakim harus benar-benar membuat putusan yang bagus dan benar secara formil ataupun materil. Sederhananya putusan hakim mencakup irah-irah dan kepala putusan, pertimbangan, dan amar. Dari cakupan itu, yang dipandang sebagai dasar putusan adalah pertimbangan. Dalam perkara pidana terdapat perpaduan antara penetapan peristiwa dengan penemuan hukum sebagai konsekuensi mencari kebenaran materiil. [11]
Putusan Mahkamah Agung No 638K/Sip/1969 juga menegaskan bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan menjadi alasan untuk kasasi, dan putusan demikian harus dibatalkan. Putusan Mahkamah Agung No 67 K/Sip/1972 juga mengandung kaidah hukum “putusan judex factie harus dibatalkan jika judex factie tidak memberikan alasan atau pertimbangan yang cukup dalam hal dalil-dalil tidak bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangannya. Kemudian, pasal 50 ayat (1) UU No 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan pula bahwa putusan pengadilan harus memuat alasan dan dasar putusan yang relevan dengan sumber hukum tertulis ataupun tidak. [12]
            Yahya Harahap (mantan hakim agung) berpendapat bahwa onvoldoende gemotiveerd adalah masalah yuridis. Konsekuensinya, putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak cukup pertimbangan bisa dibatalkan di tingkat banding. Demikian seterusnya ke Mahkamah Agung. Pasal 197 KUHAP membuat rincian apa saja yang harus dimuat hakim dalam surat putusan. Jika kurang memuat materi tersebut bisa berakibat putusan batal demi hukum. [13]
            Selain dalam Undang Undang tentang Mahkamah Agung diatas, tiga jenis kewenagan hakim MA terkait kasasi juga diatur sama persis dalam pasal 253 Kitab Undang Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP). Hal yang sama kemudian juga diatur dalam Rancangan KUHAP tahun 2012, namun fungsi MA terkait kasasi dalam RKUHAP tersebut dibatasi dengan tidak bolehnya MA menjatuhkan putusan yang lebih berat dari apa yang dijatuhkan judex factie kecuali ada alasan alasan tertentu  yang dibenarkan oleh undang undang. Adapun bunyi poin pertimbanga RKUHAP tentang kewenangan MA tersebut adalah :
                                   
“putusan MA tidak boleh menyangkut fakta dan pembuktian, serta MA juga tidak boleh menjatuhkan pidana lebih berat dari yang dijatuhkan oleh PN/PT. KECUALI, jika pengadilan yang lebih rendah tersebut memutus kurang dari minimum khusus pidana yang telah ditetapkan. ”[14]


Berdasarkan teori dan dasar hukum diatas, dapat disimpulkan bahwa pengadilan di tingkat kasasi pada dasarnya bertujuan untuk menjaga kesatuan hukum, baik melalui pengawasan penerapan hukum pada pengadilan yang lebih rendah, maupun melalui penafsiran hukum yang diberlakukan sama di seluruh wilayah Indonesia. [15] Tirtaamidjaja, Hakim Agung pada MA RI tahun 1953, menyebutkan dengan sangat gamblang bahwa : “…kasasi itu pada asasnya tidak diadakan untuk kepentingan pihak-pihak yang berperkara – meskipun mereka benar berkepentingan dalam hal itu – tetapi untuk kepentingan kesatuan pemakaian hukum. [16] Oleh karena itu pemeriksaan dalam perkara kasasi fungsinya adalah untuk melihat apakah Hakim pada pengadilan yang lebih rendah telah menerapkan hukum dengan tepat.
           

Fakta Persidangan
-          Sebagai anggota DPR terdakwa mempunyai kewenangan membahas pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran bersama Pemerintah sebagai acuan bagi setiap Kementerian/Lembaga dalam menyusun usulan anggaran,
-          Berdasarkan kesepakatan internal di Komisi X, Terdakwa ditunjuk menjadi Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Anggaran yang bertugas menindaklanjuti kesepakatan anggaran dengan mitra kerja yakni Kemendiknas dan Kemenpora melalui Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dalam Badan Anggaran,

-          Terdakwa kemudian diajak oleh Muhammad Nazaruddin (rekan sesama anggota DPR) bertemu dengan Mindo Rosalina Manulang dan beberapa orang lainnya dari Permai Grup yakni Gerhana Sianipar, Clara Mauren, Silvy dan Bayu Wijokongko di Restoran untuk saling berkenalan sebagai sesama Pengusaha,

-          Mindo Rosalina Manulang adalah pihak yang nantinya berhubungan dengan Terdakwa dalam rangka mendapatkan proyek-proyek di Kemendiknas dan di Kemenpora setelah berbagi no.hp dan pin BBM,

-          Setelah pertemuan tersebut Mindo Rosalina kembali bertemu terdakwa guna menanyakan kesediaan Terdakwa untuk menggiring anggaran di Kemendiknas dan Kemenpora, untuk kerjasama berupa Proyek-Proyek Pembangunan/ Pengadaan dan Nilai Anggaran yang disesuaikan dengan permintaan Permai Grup,

-          Terdakwa menyanggupinya dengan syarat awal Permai Group harus membuat proposal tentang usulan kegiatan dari Universitas-Universitas, serta memastikanya ke Biro Perencanaan Ditjen Dikti Kemendiknas,

-          Setelah mempelajari berkas yang diajukan Mindo Rosalina, pertengahan Maret 2010 terdakwa menyanggupi permintaan Permai Grup dengan meminta imbalan uang (fee) sebesar 7% (tujuh persen) dari nilai proyek, dengan sistem 50% pada saat pembahasan dilakukan dan setelah DIPA  turun atau disetujui,

-          Terhadap permintaan tersebut Nazaruddin memerintahkan Mindo Rosalina supaya fee yang diminta terdakwa dapat dikurangi. Terdakwa akhirnya mau mengurangi fee menjadi 5%,


-          Setelah disetujui, Terdakwa kemudian memprakarsai pertemuan Mindo Rosalina Manulang dan Harris Iskandar selaku Sekretaris Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kemendiknas guna mempermudah upaya penggiringan anggaran di Kemendiknas sesuai dengan permintaan Permai Grup,

-          Selanjutnya Terdakwa mengikuti kegiatan pembahasan rapat-rapat di Badan Anggaran DPR RI membahas alokasi Anggaran APBN-P 2010 dan APBN 2011, dalam rapat Terdakwa mengajukan usulan program kegiatan sebagai aspirasi dari Komisi X,yang awalnya tidak diusulkan Kemendiknas,

-          Terdakwa beberapa kali melakukan komunikasi melalui telepon ataupun BBM dengan Mindo Rosalina Manulang untuk membicarakan tindak lanjut dan perkembangan upaya penggiringan anggaran serta  imbalan uang (fee) yang sebelumnya telah dijanjikan,

-          Memenuhi janji tersebut, maka Permai Grup memberikan sejumlah uang kepada Terdakwa beberapa kali secara bertahap yakni : pertama, Rp 70 juta - Rp 2 Milyar - Rp 5 Milyar - Rp 5 Milyar - 300.000 Dollar - 750.000 Dollar -  500.000 Dollar – 400.000 Dollar, dan terakhir sebesar Rp 10 Juta Rupiah,

-          Bahwa total keseluruhan uang yang diterima terdakwa dari Permai Group adalah Rp12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US $.2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu Dollar Amerika Serikat).


Analisa
Jika mengacu pada Pasal 253 KUHAP, MA memiliki kewenangan untuk mengadili perkara khususnya dalam perkara pidana jika : hakim sebelumnya salah menerapkan hukum, hakim sebelumnya tidak menerapkan hukum acara sebagaimana mestinya atau hakim tersebut telah melampaui kewenagan yang ia miliki. Berdasarkan pasal tersebut jika salah satu syarat atau secara alternative dapat dipenuhi, maka MA melalui kewenaganya dapat “mengadili sendiri” perkara yang bersangkutan. Untuk menjalankan fungsinya tersebut, maka MA akan atau bisa saja menilai fakta dari perkara yang bersangkutan dari awal hingga akhir, lalu kemudian membuat putusan sendiri, yang mana mungkin saja hal itu akan memberikan pidana yang lebih berat atau bahkan lebih ringan dari putusan hakim pada judex factie sebelumnya tergantung bagaimana hasil pembuktian yang ia. Jadi pasal 253 KUHAP itu harus dipedomani dalam hal kasasi dilakukan dalam kasus pidana.

Kewenagan MA yang demikian adalah sangat penting karena didalam praktek cenderung hakim judex factie keliru dalam menjalankan kewenanganya dalam mengadili suatu perkara, misalnya dalam kasus Angelina Sondakh diatas. Dimana semenjak penyususnan dakwaan telah ditemukan kesalahan kesalahan oleh jaksa, sehingga akhirnya putusan yang dijatuhkanpun menjadi keliru atau tidak tepat. Adapun dakwaan yang dibuat oleh jaksa adalah berbentuk alternative, padahal seharusnya dakwaan tersebut disusun secara subsideritas. Karena secara logika dasar saja, jika dakwaan alternative, maka sifatnya pilihan sehingga hakim yang mengadili perkarapun tidak harus menggali kebenaran materil masing masing unsur pasal, namun cukup memilih salah satu saja yang jika menurutnya sudah terbukti, itulah yang dijadikan dasar memutuskan pidana.

Kesalahan berikutnya, dalam putusan terkait penggunaan pasal 12 dan pasal 5 UU Tindak Pidana Korupsi. Secara umum pasal 12 merupakan delik yang bisa terpenuhi baaik secara sengaja ataupun lalai sedangkan pada pasal 5 deliknya adalah delik opset sehingga mutlak 5 tahun. Logikanya bagaimana hakim bisa memilih pasal 5, sedangkan dalam kasus Anggelina Sondakh jelas suap yang diterima oleh sipelaku lantaran adanya sikap aktif dari dirinya untuk meminta dan melakukan serangkaian kegiatan agar ia mendapatkan uang dari si pemberi suap.

Sehingga dengan kondisi demikianlah diperlukan MA sebagai lembaga yang menjamin bahwa kekeliruan dalam hukum acara pidana bisa diperbaiki, agar putusan hakim dapat memenuhi rasa keadilan baik bagi sipelaku dan masyarakat pada umumnya sebagai korban tidak langsung dari tindak pidana korupsi yang terjadi. Adapun hal yang mendasari kewenangan pengadilan yang lebih tinggi tersebut untuk memperbaiki kekeliruan hukum yang terjadi dilakukan oleh MA melalui tugas dan kewenanganya dalam hal pengaturan dan sebagai lembaga judex factie. (Inilah yang tidak boleh dibatasi seperti apa yang ada didalam naskah akademis RUU KUHAP Tahun 2012)

Didalam praktekpun hal ini sudah sering diterapkan oleh Mahkamah Agung, terutama dalam Kasus Korupsi, dimana selain putusan Angelina Sondakh, ada beberapa putusan lain yang memiliki “nasib” yang sama dengan putusan tersebut, dimana di pengadilan negeri terdakwa diputus lebih ringan, dibanding apa yang kemudian diputuskan oleh peradilan kasasi di Mahkmah Agung, seperti dalam kasus [17]:

Nama & Jabatan
Kasus Korupsi
Putusan Judex Factie
Putusan Judex Juris/ MA
1.      TOMMY HINDRATNO (pegawai Ditjen Pajak).
suap Rp280 juta terkait restitusi pajak milik PT Bhakti Investama Tbk.
3,5 tahun penjara
10 tahun penjara
2.      ZEN UMAR (Direktur Utama PT Terang Kita).
Korupsi dana Askrindo.
5 tahun penjara
15 tahun penjara
3.      LABORA SITORUS (Anggota Polisi Sorong, Papua).
Kasus Pemilik rekening gendut Rp1,5 triliun.
2 tahun penjara dan denda Rp50 juta.
15 tahun penjara dan denda Rp5 miliar subsider satu tahun kurungan.
4.      ASMADINATA (hakim ad hov Pengadilan Tipikor Semarang)
Kasus korupsi/suap mantan Ketua DPRD Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah
6 tahun penjara

10 tahun penjara
5.      RUSLI ZAINAL (Mantan Gubernur Sumbar)
korupsi kehutanan dan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Riau 2012.
10 tahun penjara
14 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Hak politik Rusli juga dicabut.
6.      RATU ATUT CHOSIYAH (Mantan Gubernur Banten)
Kasus suap  Rp 1 miliar kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar melalui advokat Susi Tur Andayani.
4  tahun penjara
7 tahun penjara
7.      ANAS URBANINGRUM (Mantan Ketua Umum Partai Demokrat)
Kasus Korupsi dan pencucian uang terkait proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya.
7 tahun penjara
14 tahun penjara, denda 1 miliar, kembalikan uang rp 51 miliar dan hak politik dicabut.


Berdasarkan alasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam kasus Angelina Sondakh, Mahkamah Agung memang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan pemidaan yang lebih berat dibandingkan dengan yang dijatuhkan oleh judex factie. Apalagi dalam kasus Angelina Sondakh terdapat kekeliruan hakim judex factie yang tidak memberikan pertimbangan (onvoldoende  gemotiveerd) tentang sikap aktif Angelina Sondakh sebagai pelaku dalam tindak pidana suap untuk mendapatkan uang sebagai imbalan dari penggiringan dana untuk proyek Nazaruddin.  

2.      Isu Hukum II (hal meringankan dan memberatkan) :
Teori Dasar
Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan terbukti atau tidak, sehingga hakim dapat menjatuhkan sanksi pidana yang tepat sehingga dapat memberikan efek jera kepada sipelaku. Hal ini memberikan wacana kepada para hakim dalam merumuskan vonis penjatuhan sanksi pidana kepada para pelaku kejahatan agar yang dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana harus disertai pula fakta-fakta yang digunakan, untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana, sebagaimana ditentukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
 Memorie Van Toelichting dari Strafwetboek tahun 1886, memberikan pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana sebagai berikut[18] :

“ Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejadian harus memperhatikan keadaan obyektif dan subyektif dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatikan perbuatan dan pembuatannya. Hak-hak apa saja yang dilanggar dengan adanya tindak pidana itu? Kerugian apakah yang ditimbulkan? Bagaimanakah sepak terjang kehidupan si pembuat dulu-dulu? Apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya itu langkah pertama kearah jalan yang sesat ataukan merupakan suatu perbuatan, merupakan suatu pengulangan dari watak jahat yang sebelumnya sudah tampak.”

Pedoman dari Memorie Van Toelichting ini dapat pula dipergunakan sebagai pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana dalam praktek peradilan di Indonesia, karena KUHP kita pada prinsipnya merupakan salinan dari Strafwetboek tahun 1886. Dalam perundang-undangan Indonesia juga terdapat ketentuan-ketentuan yang merupakan petunjuk ke arah pertimbangan berat ringannya pidana. Ketentuan demikian tercantum pula dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Didalam KUHAP sendiri, terkait hal yang meringankan dan memberatkan pemidanaan seorang terdakwa dimuat dalam pasal 197 ayat (1) tentang format suatu putusan. Adapun bunyi pasal tersebut adalah :
                       
“Suatu putusan pemidanaan memuat :
a)                  Kepala putusan
b)                  Identitas terdakwa
c)                  Dakwaan
d)                  Pertimbangan yang disusun secara ringkas, berdasarkan pembuktian penentu kesalahan dari diri terdakwa
e)                  Tuntutan pidana
f)                    Pasal yang menjadi dasar pemidanaan
g)                  Hari dan tanggal musyawarah hakim
h)                  Pernyataan kesalahan (pemenuhan unsur pidana) dari siterdakwa
i)                    Keterangan terkait bukti surat
j)                    Perintah untuk ditahan/ dibebaskan
k)                  Hari, tanggal, jpu dan hakim, panitera terkait putusan”

                                                                                                             
Berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP dapat disimpulkan bahwa surat putusan pemidanaan memuat “Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa”. Namun, terkait hal yang meringankan dan memberatkan tersebut, KUHAP tidak mengatur secara jelas hal-hal yang dijadikan tolak ukur nya, sehingga penentuan pemberat dan peringan tersebut merupakan kewenangan hakim dalam memutus suatu perkara berdasarkan fakta-fakta yang termuat dalam persidangan.
Oleh sebab itu, untuk mengetahui panduan akan hal apa saja yang menjadi peringan dan pemberat pemidanaan seseorang, maka kita dapat melihatnya pada Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) tentang Pedoman Penuntutan oleh jaksa. Dalam SEJA tersebut diatur bahwa :
I.       Dalam hal Faktor memberatkan lebih dominan maka pedoman tuntutan pidana adalah ancaman pidana badan maksimum yang diatur dalam pasal undang-undang bersangkutan.
II.    Dalam hal faktor meringankan lebih dominan dan pasal undang-undang yang didakwakan tidak mengatur ancaman pidana. mati, maka pedoman tuntutan pidana dibedakan antara tindak pidana Umum dan tindak pidana. khusus :
-          Untuk tindak pidana umum pada prinsipnya tuntutan pidananya adalah 2/3 (dua pertiga) dari ancaman pidana penjara maksimum sebagaimana diatur dalam pasal undang-undang bersangkutan.
-          Untuk tindak pidana khusus, pada prinsipnya tuntutan pidananya adalah 3/4 (tiga perempat) dari ancaman pidana penjara maksimum sebagaimana. diatur dalam pasal undang-undang yang bersangkutan.
III. Dalam hal ancaman pidana badan yang diatur dalam pasal undang-undang bersangkutan lebih dari satu seperti antara lain pasal 340 KUHP. Yang menentukan ancaman pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 tahun maka pedoman tuntutan pidananya adalah sebagai berikut:
-          Dalam hal faktor memberatkan lebih dominan maka tuntutan pidananya adalah ancaman pidana alternatif pertama (yang terberat) yaitu pidana mati.
-          Dalam hal faktor meringankan lebih dominan maka tuntutan pidananya adalah ancaman pidana alternatif kedua atau ketiga, sesuai dengan dominannya faktor meringankan tersebut.
IV. Apabila di dalam undangan-undang bersangkutan diatur mengenai hukuman tambahan, supaya di dalam tuntutan pidana dicantumkan juga mengenai hukuman tambahan tersebut.
V.    Mengenai berat ringannya pidana denda diserahkan kepada kebijakan kepala kejaksaan Tinggi / Kepala Kejaksaan Negeri.
VI. Di dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana perlu dipertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
A.    Pelaku, harus dipertimbangkan mengenai :
1.      Umur
2.      Pendidikan
3.      Kedudukan sosial, ekonomi, kultural
4.      Recidivist
5.      Mental / Psychis
6.      Motivasi
7.      Phisik
B.     Perbuatan, harus diperhatikan mengenai
1.      Cara, sifat dan kualitas perbuatan
2.      Kedudukan dan peranan
a.       Actor Intelectualis
b.      Pelaku
c.       Peserta
d.      Pembantu

C.     Akibat dari perbuatan, Dalam hal ini harus diperhatikan akibat perbuatan yang telah dilakukan apakah menimbulkan kerugian
1.      Material Terhadap :
a.       Negara
b.      Masyarakat
c.       Perorangan
2.      Jiwa
3.      Badan
4.      Immaterial
5.      Lingkup ruang
a.       Lokal
b.      Nasional .
c.       Internasional
6.      Lingkup waktu
a.       Jangka pendek
b.      Jangka panjang
D.    Faktor-faktor lain, Dalam hal ini perlu diperhatikan ialah :
1.      Politik hukum, yang ada kaitannya dengan rasa keadilan masyarakat.
2.      Politik pemidanaan, yang ada kaitannya dengan daya tangkal.


Fakta Persidangan
Dalam dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum, selain merumuskan uraian pasal yang didakwakan serta pembuktianya didalam surat tuntutan, jaksa penuntut umum juga telah merumuskan hal hal yang meringankan dan memberatkan hukuman terdakwa Angelina Sondakh.
-          Bahwa Hal-hal yang memberatkan dari diri terdakwa :
a.       Perbuatan Terdakwa tidak mendukung program Pemerintah yang saat ini
sedang giat-giatnya memberantas tindak pidana Korupsi akan tetapi justru
memanfaatkan jabatannya selaku Anggota DPR-RI untuk melakukan tindak
pidana Korupsi ;
b.      Perbuatan Terdakwa telah merenggut hak sosial dan hak ekonomi masyarakat karena anggaran yang telah ditetapkan tidak sepenuhnya  digunakan untuk kepentingan masyarakat ;
c.       Terdakwa yang merupakan wakil rakyat dan publik figur justru tidak memberikan teladan yang baik kepada masyarakat ;
d.      Terdakwa tidak mengakui dan tidak menyesali perbuatannya ; 

-          Bahwa Hal-hal yang meringankan dari diri terdakwa :
a.       Terdakwa bersikap sopan di persidangan ;
b.      Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga yakni seorang anak yang masih kecil ;
c.       Terdakwa belum pernah dihukum dan relatif masih berusia muda sehingga diharapkan dapat memperbaiki diri ;


Analisa
Jika dikaji dari surat edaran dari jaksa agung dan putusan Angelina Sondakh, maka terdapat perbedaan aplikasi antara aturan hukum dan praktek yang terjadi dilapangan mengenai hal apa saja yang menjadi pemberat dan peringan pemidanaan seseorang. Kondisi ini juga dibenarkan oleh jaksa KPK bapak Adnan Pasliadja. Saat ini, jaksa menjadikan unsur delik sebagai pemberat pidana atas seseorang terdakwa, padahal tidak bisa dilakukan demikian karena unsur delik sudah memiliki ranah yang berbeda khususnya dalam pembuktian pokok perkara. Contohnya saja terkait keterangan yang diberikan terdakwa dipersidangan tidak sesuai BAP dijadikan dasar pemberat pidana, padahal terdakwa memang memiliki hak ingkar sehingga jika BAP nya tidak sesuai dengan yang ia rasakan, boleh saja untuk di Ingkari. Jadi seharusnya yang dijadikan hal yang meringankan dan memberatkan si terdakwa lebih ke kondisi atau keadaan diluar pidana terdakwa seperti yang diatur SEJA pedoman penuntutan.

Penyebab utama yang memperparah kesalahan praktek tersebut adalah dengan adanya mekanisme pelaporan Rencana Tuntutan oleh jaksa kepada atasanya, yang mana dengan proses tersebut hal-hal yang bisa memberatkan dan meringankan diri sipelaku ditentukan oleh atasan sang jaksa. Padahal jika diperhatikan proses pemeriksaan si tersangka, maka hal yang memberatkan dan meringankan pemidanaan terhadap sitersangka hanya bisa diamati oleh jaksa yang bersangkutan, bukan oleh atasanya. Oleh sebab itu, tidak adil rasanya jika orang yang tidak mengetahui secara langsung kondisi dan keadaan siterdakwa, malah menentukan hal peringan dan pemberat sitrerdakwa tersebut dalam proses penyelesaian perkaranya.

Didalam Surat Edaran diatas, juga diatur mengenai hubunganya penjatuhan jumlah pidana dan hal meringankan serta memberatkan diatas. Yang mana jika hal yang memberatkan akan dirinya lebih dominan, maka pidana yang dijatuhkan lebh dari ½ pidana yang didakwakan. Jika hal peringannya lebih dominan, maka pidananya kurang dari ½ dakwaan. Begitupun jika ternyata sebanding, maka ambilah jumlah pidana yang ditengah.Dalam kasus Angelina Sondakh diatas, hal hal yang memberatkan yang di ajukan oleh jaksa baik dalam dakwaan dan tuntutanya adalah hal hal yang berkaitan dengan unsur delik.


IV.             Penutup
Kesimpulan

1.      Sebagai lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk mengadili sendiri suatu perkara yang mana perkara tersebut menurut MA memenuhi kualifikasi bahwa telah dikeluarkan putusan yang tidak sesuai dengan hukum acara yang sebenarnya, misalnya kurangnya pertimbangan (onvoldoende  gemotiveerd ) hukum hakim pada putusan sebelumnya. termasuk dalam kasus Angelina Sondakh.
Dengan alasan kurangnya pertimbangan hakim sebelumnya, maka untuk menciptakan putusan yang adil, maka Hakim MA diberi kewenangan untuk menilai fakta fakta persidangan dan membuat putusan sendiri. Sehingga tidak tertutup kemungkinan jika putusan yang dikeluarkan pun mungkin saja lebih berat dari putusan pengadilan sebelumnya.

2.      Dalam praktek, jaksa penuntut umum sering keliru dalam merumuskan hal meringankan dan memberatkan dari siterdakwa terkait pemidanaan yang dijathkan terhadapnya dalam putusan hakim. Kekeliruan tersebut terjadi karena jaksa sering memasukkan unsur delik sebagai pertimbangan hal pemberat dan peringan pidana dari siterdakwa, padahal  hal hal yang seharusnya dijadikan dasar peringan dan pemberat pidana itu adalah hal yang berkaitan dengan diri dan lingkungan dari sipelaku, seperti usia, keadaan politik hukum dan politik pemidanaan itu sendiri.




Saran :
1.      Untuk menjamin terpenuhinya keadilan terkait penjatuhan pidana seseorang, seharusnya Mahkamah Agung diberi kewenangan yang lebih luas untuk menilai fakta hukum yang telah dinilai sebelumnya oleh hakim judex faxtie karena dalam praktek seringkali ditemukan kekeliruan yang dilakukan oleh hakim judex facti terkait penilainya terhadap fakta persidangan, sehingga menyeebabkan penjatuhan pidana menjadi kurang tepat.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan revisi terhadaop R-KUHAP sebelum pengesahan, khususnya terkait poin yang membatasi kewenangan MA untuk menjatuhkan putusan yang lebih berat dari yang telah dijatuhkan hakim judex factie, karena mungkin saja MA memberi  putusan yang lebih berat karena penilain fakta yang ditemukan MA memungkinkan untuk penjatuhan pidana yang demikian.

2.      Terkait hal yang meringankan dan memberatkan pemidanaan, harusnya dibuat suatu aturan yang memberikan arahan kepada jaksa untuk hal apa saja yang menjadi factor peringan dan pemberat pidana siterdakwa. Kemudian untuk penentuanya pun harusnya ditentukan oleh jaksa yang memang memeriksa sitersangka semenjak awal pemeriksaan hingga proses persidangan, Hal demikian adalah penting karena memang jaksa yang memeriksa itulah yang mengetahui kondisi si terdakwa, bukan atasan dari jaksa yang bersangkutan.



[1] Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan : Jakarta. 2012. Hlm. 31.
[2] http://media.unpad.ac.id/thesis/110120/2009/110520090514_2_5340.pdf, diakses pada 18 juni 2015. Pukul 11:00 wib.
[4] Ibid,.
[8] Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi, dan peninjauan kembali . Jakarta : Sinar Grafika, 2001.
[9] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Arika Media Cipta, Jakarta, 1993. Hlm 35i.
[12] Ibid,.
[13] Ibid,.
[14] Naskah Akademis Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2012 poin H
[15] Ibid,. hlm. 15
[16] Tirtaamidjaja, Kedudukan Hakim dan Djaksa dan Atjara Pemeriksaan Perkara Pidana dan Perdata. Jjakarta: Penerbit Djambatan, 1953. Hlm. 100.
[17] www.pejabatpublik.com/wp/category/hakim/, diakses pada 16 juni 2015. Pukul 23 :00 wib.
[18] hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/367_JURNAL-INTAN.pdf, diakses pada 17 juni 2015. Pukul 04:28 wib.

Comments

Popular posts from this blog

PEMERIKSAAN LANJUTAN (NASPORING) OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM SELAKU DOMINUS LITIS PADA TAHAP PENYIDIKAN GUNA MEWUJUDKAN INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM

Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang selalu terjadi dalam kehidupan   masyarakat di belahan dunia manapun. Jika ditinjau dari ilmu kriminologi sebagai cabang ilmu yang mengkaji tentang kejahatan, maka dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) dipidana. Jika ditinjau lebih dalam sampai intinya, suatu kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. [1] Perkembangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat sangat berkaitan erat dengan penegakan hukum yang terutama menjadi tugas para penegak hukum digaris depan. Dalam kaitan ini Hyman Gross menyatakan bahwa penanggulangan kejahatan mendapat tempat penting diantara pokok perhatian pemerintah disetiap negara dan peradilan pidana saat in, yang oleh setiap orang hampir dianggap sebagai bagian dari usaha mayarakat yang besar yang diadakan untuk mengurangi kejahatan. Penegakan hukum, menurut Gross memainkan pera

Pentingnya Penerapan Social Business Model Canvas dalam Merancang Inovasi Sosial di Bidang Hukum

  Hingga saat ini, akses masyarakat terhadap keadilan masih terbilang sulit. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengukuran pemerintah terkait akses keadilan di masyarakat (indeks) tahun 2019 lalu. Meskipun Indonesia memiliki skor cukup baik yakni 69,6 [1] dari maksimum 100, ternyata masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Salah satunya terkait akses akan layanan hukum seperti bantuan hukum dari pengacara.   Pandemi COVID-19 semakin mempersulit kondisi ini, mengingat ruang gerak masyarakat yang terbatas, akses keadilan pun semakin sulit dijangkau.   Berkaitan dengan kondisi tersebut, Kehadiran inovasi teknologi yang berbentuk situs cukup penting dan merupakan sebuah kebutuhan.   khususnya ketika banyak masyarakat sulit mendapat bantuan hukum lantaran persebaran Lembaga penyedia layanan bantuan hukum di Indonesia tidak merata.   Berbagai inovasi atau situs-situs di bidang hukum sudah digagas oleh banyak pihak, tidak hanya pemerintah dan swasta melainkan juga dilakukan oleh org