PEMERIKSAAN LANJUTAN (NASPORING) OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM SELAKU DOMINUS LITIS PADA TAHAP PENYIDIKAN GUNA MEWUJUDKAN INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM
Kejahatan merupakan
suatu fenomena yang kompleks yang selalu terjadi dalam kehidupan masyarakat di belahan dunia manapun. Jika
ditinjau dari ilmu kriminologi sebagai cabang ilmu yang mengkaji tentang
kejahatan, maka dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu
perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) dipidana. Jika ditinjau
lebih dalam sampai intinya, suatu kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan
perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. [1]
Perkembangan kejahatan
yang terjadi dalam masyarakat sangat berkaitan erat dengan penegakan hukum yang
terutama menjadi tugas para penegak hukum digaris depan. Dalam kaitan ini Hyman
Gross menyatakan bahwa penanggulangan kejahatan mendapat tempat penting diantara
pokok perhatian pemerintah disetiap negara dan peradilan pidana saat in, yang oleh
setiap orang hampir dianggap sebagai bagian dari usaha mayarakat yang besar
yang diadakan untuk mengurangi kejahatan. Penegakan hukum, menurut Gross
memainkan peranan terpenting dalam usaha ini karena termasuk didalamnya
penangkapan serta penjauhan orang orang yang telah menunjukan dirinya secara
sosial adalah berbahaya.[3]
Karena kejahatan
tersebut merupakan suatu perbuatan yang meresahkan masyarakat maka dibutuhkan
seperangkat norma dan aparatur negara yang bertugas dan memiliki wewenang untuk
mengusut suatu kejahatan hingga tuntas, dengan demikian ketentraman dalam hidup
di masyarakat dapat tercapai. Hal ini di negara kita sendiri sangat erat
kaitanya dengan sistem peradilan pidana yang didalamnya terdapat beberapa
aparatur seperti kepolisian, kejaksaan dan hakim. Karena perkembangan kejahatan
sangat erat kaitanya dengan penegakan hukum itu sendiri dalam sebuah negara.
Oleh sebab itu suatu sistem kerja yang baik,efektif dan efisien antara para
penegak hukum memegang peranan penting dalam mengatasi kejahatan tersebut.
Upaya penanggulanangan
kejahatan oleh para penegak hukum dikenal dengan istilah Criminal justice system atau sistem peradilan pidana. Sistem peradilan
pidana ini akan berhasil apabila kejahatan
yang diperoleh dari laporan atau aduan atau hasil tangkap tangan dari
penegak hukum sendiri (polisi) dapat diselesaikan dengan melalui proses yang
dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga putusan dan eksekusi
putusan pidana yang telah di buat oleh hakim. Dalam sistem peradilan
pidana tersebut, terdapat dua instansi yang sangat berhubungan erat yakni pihak
kepolisian dan kejaksaan. Kerjasama dan kordinasi yang baik akan sangat menjadi
faktor penentu kesuksesan dari adanya sistem peradilan pidana itu sendiri.
Adapaun tujuan yang ingin dicapai dengan sistem peradilan pidana itu sendiri
adalah : 1) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, 2) menyelesaikan
kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah
ditegakan dan yang bersalah dipidana, dan 3) mengusahakan agar mereka yang
pernah melakukan kejahtan tidak mengulangi kejahatannya. [5]. Ketiga tujuan dari
sistem tersebut sangat terkait satu sama lain. Namun menilik lebih dalam tujuan
pertama dari sistem peradilan pidana tersebut
merupakan tugas dari lembaga kepolisian. Kemudian untuk poin kedua dan
ketiga melibatkan dua lembaga sekaligus yakni kepolisian dan kejaksaan.
Hubungan keduanya sangat erat terutama dalam hal penyidikan.
Istilah “penyidikan”
adalah sinonim dari istilah “pengusutan”, yang merupakan terjemahan dari bahasa
belanda Opsporing atau dalam bahasa
inggris dikenal dengan istiah Investigation.
Didalam sistem hukum Indonesia Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang
dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur undang undang untuk
mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti tersebut membuat atau
menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan
tersangkanya atau pelakutindak pidanya. Sebelum masuk dalam tahap ini, biasanya
telah didahului dengan adanya tahap penyelidikan oleh pihak penyelidik sesuai
aturan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Pada tindakan penyelidikan
penekanan diletakan pada tindakan “mencari dan menemukan sesuatu peristiwa ”
yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Dari kedua penelasan tahapan tersebut hampir
tidak ada perbedaan maknanya. Hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan
dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya
saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikanya pemeriksaan suatu
peristiwa pidana.[6] Tahapan
penyelidikan dan penyidikan ini mungkin saja tidak dilakukan dalam proses
penanganan suatu perkara pidana dalam hal sipelaku tindak pidana dalam kondisi
tertangkap tangan, tertangkap tangan sendiri dalam KUHAP adalah tertangkapnya
seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau dengan segara sesudah
beberapa saat tindak pidana dilakukan, atau sesaat kemudian, atau sesaat kemudian
diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukanya, atau apabila
sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukan bahwa ia adalah pelakunya
atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. [7]
Didalam
undang undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) pasal 1 angka 1 : penyidik
adalah pejabat polisi negara republik
indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang undang untuk melakukan penyidikan. [8]
mengenai tugas dan kewenaganya sendiri di atur dalam pasal 6 dan pasal 7 undang
undang yang sama. Persoalan yang kemudian
muncul terkait hal tersebut adalah efektifitas penyidikan tindak pidana.
Seperti yang kita ketahui untuk berhasilnya penuntutan yang dilakukan oleh
seorang jaksa maka harus didukung dengan proses penyidikan dari tindak pidana
terkait. Sebaliknya, kegagalan dalam penyidikan akan berakibat pada buruknya berkas
perkara yang akan digunakan sebagai bahan pembuatan surat dakwaan dan
berikutnya gagalnya jaksa dalam proses penuntutan di pengadilan.
Dengan
demikian hukum acara pidana harus memuat ketentuan sedemian rupa agar kordinasi
dan kerjsama antar kedua lembaga tersebuut dapat terjalin dengan baik, sehingga
tujuan ketiga dari sistem peradilan pidana yang telah di uraikan sebelumnya
dapat tercapai. Lagi pula, di hampir
setiap yurisdiksi jaksa itu merupakan tokuoh utama dalam penyelenggaraan
peradilan pidana, karena ia memainkan peranan penting dalam proses pembuatan
keputusan. Walaupun polisi itu lebih terlatih dalam mengumpulkan bukti bukti
ditempat kejadian kejahatan, dan walaupun polisi itu memiliki posisi komposisi
tenaga manusia dan perlengkapan yang lebih baik, mereka itu tetap tergantung
kepada jaksa. Salah satu sebabnya adalah karena umumnya jaksa itu lebih mahir
dalam masalah yuridis dan memiliki hak utama yang eksklusif dalam menghubungi
pengadilan. Bahkan di berbagai negara lain jaksa melakukan penyidikan tidak
sendiri, ia juga memiliki diskresi penuntutan yang luas. Dengan kata lain,
jaksa itu memiliki kekuasaan untuk menetapkan apakah akan menuntut atau tidak
hampir disegala perkara pidana. [9]
Dalam sejarah hukum
acara pidana dinegara kita tercatat bahwa dari tanggal 17 desember 1945 hingga
31 desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur dalam Reglemen
Indonesia yang diperbaharuui (RIB S.1941 no. 44). Setelah 31 desember 1981
berlaku hukum acara pidana yang diatur dalam undang undang nomor 8 tahun 1981
tentang Kitab Undang Undang hukum Acara Pidana. Dalam dua periode berlakunya
hukum acara pidana tersebut, terdapat perbedaan penting dilihat dari aspek
penyidikan tindak pidana (baik ditingkat tindak pidana umum maupun tindak
pidana khusus) serta kewenangan dari lembaga polisi dan kejaksaan. Jadi
terdapat perbedaan pola hubungan antara polisi dan jaksa dalam dua periode
tersebutdalam soal penyidikan tindak pidana. Sebelum KUHAP diberlakukan,
wilayah tersebut secara tradisional “dikuasai” oleh kejaksaan. Degan kata lain,
bidang penyidikan adalah wewenang pihak kejaksaan.[10]
Hal tersebut sejalan
dengan yang diatur adalam undang undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan,
khususnya dalam pada bab III tentang tugas dan kewenangan kejaksaan pasal 30
ayat (1), yang berbunyi :
(1)
Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a.
melakukan penuntutan;
b.
melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan
yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c.
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan
pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d.
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e.
melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik.[11]
Dalam pasal tersebut,
khususnya pada huruf e, jelas jaksa diberi kewenangan untuk melakukan
pemeriksaan tambahan dalam hal peyidkan guna melengkapi berkas perkara sebelum
dsidangankan. Kemudian dalam penjelasan pasal tersebut dijelsakan bahwa,
pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh jaksa tersebut harus memenuhi
syarat-syarat seperti berikut :
1)
tidak dilakukan terhadap tersangka;
2)
hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat
meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan Negara;
3)
harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah dilaksanakan
ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun1981 tentang
Hukum Acara Pidana;
4) prinsip koordinasi dan kerjasama
dengan penyidik.
Dalam perkembangan
selanjutnya dengan lahirnya undang undang kepolisian, polisi mengklain dapat
melakukan penyidikan untuk semua tindak pidana. Klaim ini seolah ingin
menangkis anggapan bahwa untuk penyidikan tindak pidana khusus hanya jaksa yang
berwenang, padahal menurut pasal 284 Undng Undang Nomor 8 tahun 1981 wewenang
jaksa itu bersifat sementara. Polisi seolah juga ingin menyatakann bahwa mereka
kini sudah mampu untuk menyidik perkara perkara yang sulit seperti kasus tindak
pidana korupsi, ekonomi dan subversi. Dualisme kewenangan penyidikan ini
menimbulkan persoalan persoalan serius yang menegangkan hubungan hubungan
antara polisi dan kejaksaan. Dalam periode ini muncul kasus demi kasus yang
mencoreng kedua lembaga penegakan hukum tersebut. Pada kasus pembunuhan Nyo
Beng Seng misalnya, polisi menangkap beberapa orang jaksa yang dituduh telah melakukan
pemeriksaan palsu terhadap salah seorang saksi bernama Kiki. Sementara pihak
jaksa menjawab bahwa mereka berwenang melakukan pemeriksaan tambahan karena hal
itu memiliki dasarhukum dalam undang undang kejaksaan. Kasus ini seperti
menandai perseteruan antara polisi dan jaksa dalam soal penyidikan. [12]
Padahal seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya, penyidikan dan hasilnya sendiri sangat menentukan
apakah suatu perkara dapat dilanjutkan ketahap penuntutan atau malah harus
dihentikan karena sebab sebabt tertentu. Hal tersebut mungkin saja terjadi
karena sebagai public prosecutor, jaksa
memiliki hak atau kewenangan untuk itu. Namun sebelum masuk pada kesimpulan
apakah suatu perkara dapat dihentikan penuntutanya atau tidak, terdapat suatu
fase dimana antara penyidik yang dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia
(kapolri) saling berkordinasi untuk melengkapi bukti yang diperlukan jaksa
dalam melengkapi dakwaanya sebelum berkas perkara dan tersangka dilimpahkan ke
pengadilan. Tahapan tersebut dikenal didalam KUHAP dengan istilah Prapenuntutan.
Tahapan prapenuntutan
ini dimulai saat penuntut umum menerima berrkas perkara dari penyidik. Dalam
jangka waktu tujuh hari ia harus menentukan apakah berkas perkara tersebut
sudah lengkap. “lengkap” artinya bukti buktinya cukup dan dan berkasnya disusun
menurut KUHAP. Kalau penuntut umum berpendapat berkasnya belum lengkap, ia
harus mengembalikanya kepada penyidik disertai dengan petunjuk petunjuk. [13]
dalam waktu empat belas hari penyidik harus menyelesaikan penyidikan tambahan
sesuai dengan petunjuk petunjuk dari penuntut umum. Sebaliknya, berkas perkara
dianggap sudah lengkap apabila sejak penyerahan berkas tersebut penuntut umum
tidak mengembalikanya kepada penyidik.
Adapun alasan diskresi
penuntutan menurut KUHAP dapat di kelompokan menjadi dua. Pertama, penghentian
penuntutan karena alasan teknis. Kedua, penghentian penuntutan karena alasan
kebijakan. Wewenang tidak menuntut karena alasan teknis, terdapat tiga keadaan
yang dapat menyebabkan penuntut umum membuat ketetapan tidak menuntut karena
alasan teknis atau ketetapan penghentian penuntutan. Yaitu :
1) Kalau
tidak cukup bukti-bukti
2) Kalau
peristiwanya bukan tindak pidana
3) Kalau
perkaranya ditutup demi hukum
Kemudian, wewenang tidak mennuntut
karena alasan kebijakan, seperti para jaksa dinegara belanda dan jepang,
sebelum tahun 1961 setiap jaksa di indonesia diberi wewenang tidak menuntut
karena alasan kebjakan atau “mengesampingkan perkara”. Dengan kata lain, jaksa
diperbolehkan mengenyampingkan perkara sekalipun buktinya cukup untuk
menghasilkan penghukuman dari hakim. Wewenang tersebut dijalankan demi
kepentingan umum, atau kepentingan individu dan didasarkan atas hukum tidak
tertulis yang berasal dari hukum negara Belanda. Yang dikenal dengan asas
opportunitas. Namun dalam perkembanganya guna mencegah penyalahgunaan
kebijaksanaan (diskresi) penuntutan, maka wewenang tersebut ditiadakan sejak
tahun 1961. Sejak saat itu, hanya Jaksa Agunglah yang boleh pengenyampingkan
perkara karena alasan kebijakan (policy).[14]
Dari penjelasn diatas,
dapat ditarik kesimpulan yang juga menguatkan pentingnya penyidikan tambahan
oleh jaksa, mengingat dalam tahap prapenuntutan sendiri, tidak ada batasan
berapa banyak kali berkas perkara dapat dikembalikan kepada penyidik oleh jaksa
dan sebaliknya. Hal ini penting, mengingat dengan jangka waktu yang tidak terbatas
ditakutkan akan terjadi pelaggaran terhadap Hak Asasi dari tersangka itu
sendiri. Yang mana hal tersebut didukung dengan asas dalam hukum acara pidana
bahwa setiap orang diadili dengan proses yang cepat, mudah dan berbiaya ringan.
Terbatasnya kewenangan pemeriksaan tambahan dengan tidak
dapat memeriksa seorang terdakwa (verdachte) serta hanya dapat dilakukan atas
suatu tindak pidana yang pembuktiannya bersifat kompleks menimbulkan suatu
pertanyaan bagaimana keefektifan
penanganan suatu perkara. Mengingat telah adanya suatu duplikasi tindakan
penyidikan dengan adanya dua kali tahap
penyidikan melalui dua insititusi yang berbeda dalam satu perkara. Jika merujuk
pada asas dominus litis Kejaksaan RI, timbul suatu pertanyaan kembali apakah
pemeriksaan tambahan merupakan bagian dari kewenangan kejaksaan sebagai dominus
litis dalam tahap penyidikan. Suatu perdebatan tentu akan timbul dari adanya
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Rudy Satriyo mengatakan
bahwa pada masa berlakunya HIR justru terjalin kordinasi yang sangat erat
antara polisi dan jaksa dalam tugasnya melakukan penuntutan. Hal ini
dikarenakan Jaksa dalam melaksanakan tugasnya perlu memahami berkas penyidikan
yang menjadi bahan baku penuntutannya.
Tanpa ia mengetahui atau menguasai penyidikan atas perkara itu maka jaksa
akan menjadi lemah dalam melakukan
penuntutan.[15]
Pendapat tersebut diperkuat dengan adanya pendapat dari Menteri Kehakiman
Ismail Saleh yang mengatakan “ Kurangnya peranan itu (Penyidikan, penyelidikan) membuat
kejaksaan sempit dalam spektrum penanggulangan tindak pidana secara preventif
dan represif. Hal tersebut menurut Menteri kehakiman, acapkali menempatkan
jaksa dalam posisi lemah atau tidak meyakinkan dalam sidang pengadilan. Hal ini
senada dengan pendapat dari Loebby Loqman, Harkristuti Harkrisnowo, Andi
Hamzah, Luhut Panggaribuan serta Bismar Siregar yang menyatakan sebenarnya
hubungan polisi dan jaksa dalam konsepsi HIR memiliki potensi lebih kuat untuk
terjalinnya proses penyidikan antara polisi dan jaksa. Kelima Pakar tersebut
sepakat bagaimanapun penyidikan dan penuntutan tidak boleh terpisah-pisah
secara tegas. Jaksa harus mengikuti jalannya proses pertama, untuk
kepentingannya dalam berhadapan di sidang pengadilan, kedua untuk melakukan
kontrol terhadap proses penyidikan yang berlangsung.[16]
Pendapat yang berbeda
muncul dari Yahya Harahap yang menyatakan prinsip diferensiasi fungsional yaitu
adanya penegasan pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat penegak
hukum secara instansional. KUHAP telah meletakkan suatu asas penjernihan dan
modifikasi fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum. Sehingga
antara Penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan terjalin
adanya hubungan fungsi yang berkelanjutan dengan mekanisme adanya ceking antara
penegaka hukum dalam rangkaian Integreated
Criminal Justice System.[17]
Sistem cekking tersebut dilakukan dengan dilembagakannya “pemberitahuan
dimulainya penyidikan”, ”perpanjangan penahanan”, “Prapenuntutan”, dan
“Praperadilan” sehingga hal ini merupakan bentuk kontrol atau pengawasan Jaksa
dalam Sistem peradilan Pidana Terpadu Menurut Yahya Harahap.
Indonesia adalah
satu-satunya negara di dunia menganut sistem tertutup dan juga adanya pemisahan
yang tajam antara penyidikan dan penuntutan.[18]
Amerika Serikat dalam sistem peradilan pidana menganut sistem terbuka . Maksud
dari sistem terbuka tersebut adalah polisilah yang melakukan penyidikan, tetapi
dalam hal-hal tertentu , jaksa atau public attorney dapat melakukan juga
penyidikan perkara. Begitu pula dalam acara pidana di Belanda menurut Van
Bemmelen dalam hal penyidikan penuntut umum bertanggungjawab secara hirerarki.
Penuntut umum mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan
dalam suatu perkara layaknya penyidikan di Indonesia pada jaman HIR. [19]
Bentuk sistem tertutup di Indonesia layak untuk dicermati lebih lanjut
mengingat kedepannya KUHAP akan segera diperbaharui. Perdebatan mengenai
kewenangan jaksa untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana umum akan
menjadi menarik jika dikaitkan dengan asas Kejaksaan sebagai pemegang
pengendali perkara (dominus litis) .
PEMERIKSAAN LANJUTAN (NASPORING) OLEH JAKSA SELAKU DOMINUS LITIS PADA TAHAP PENYIDIKAN GUNA
MENCAPAI EFFEKTIFITAS DAN EFFISIENSI PENANGANAN PERKARA DALAM MEWUJUDKAN INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM
[1] W.A Bonger,
Pengantar tentang kriminologi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 21.
[2] Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan
Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang : CV Ananta, 1994), hlm. 12.
[3] Topo Santoso, Polisi Dan Jaksa : Keterpaduan atau Pergulatan,
(Jakarta : Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000), hlm. 18.
[4] Ibid,. Hlm. 19.
[5] Ibid,. Hlm. 23.
[6] Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :
Penyidikan dan Penyelidikan, Ed. 2,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hlm. 109.
[7] Indonesia, Undang Undang tentang Hukum
Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 36 Tahun 1983, TLN No. 3258, Ps.
1 angka 19.
[8] Ibid,. Ps. 1 angka 1.
[9] Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di berbagai negara : peranan dan
kedudukanya, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hlm. 6.
[10] Santoso, Op Cit., hlm. 3 – 4.
[11] Indonesia, Undang Undang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 16 Tahun 2004 LN
No. 67 Tahun 2004, TLN No. 4401, Ps. 30
ayat (1)
[12] Santoso, Op. Cit., hlm. 6.
[13] KUHAP, Op. Cit., ps. 110 (2) jo ps. 138.
[14] Surachman, Op. Cit., hlm. 37-38.
[15] Rudy Satrio, “Peranan Jaksa dalam
Pelaksanaan Peradilan Pidana di Indonesia (Suatu Tanggapan Terhadap RUU
Kejaksaan)”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No.1, Tahun XXI, (Februari 1991). Hlm.
17-24.
[16] Santoso,Op.Cit., hlm. 138.
[17] Harahap, Op. Cit., hlm. 47.
[18]
Hamzah,Op.Cit., hlm. 70.
Comments
Post a Comment