Skip to main content

PEMERIKSAAN LANJUTAN (NASPORING) OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM SELAKU DOMINUS LITIS PADA TAHAP PENYIDIKAN GUNA MEWUJUDKAN INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM



Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang selalu terjadi dalam kehidupan  masyarakat di belahan dunia manapun. Jika ditinjau dari ilmu kriminologi sebagai cabang ilmu yang mengkaji tentang kejahatan, maka dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) dipidana. Jika ditinjau lebih dalam sampai intinya, suatu kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. [1]
Perkembangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat sangat berkaitan erat dengan penegakan hukum yang terutama menjadi tugas para penegak hukum digaris depan. Dalam kaitan ini Hyman Gross menyatakan bahwa penanggulangan kejahatan mendapat tempat penting diantara pokok perhatian pemerintah disetiap negara dan peradilan pidana saat in, yang oleh setiap orang hampir dianggap sebagai bagian dari usaha mayarakat yang besar yang diadakan untuk mengurangi kejahatan. Penegakan hukum, menurut Gross memainkan peranan terpenting dalam usaha ini karena termasuk didalamnya penangkapan serta penjauhan orang orang yang telah menunjukan dirinya secara sosial adalah berbahaya.[3]
Karena kejahatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang meresahkan masyarakat maka dibutuhkan seperangkat norma dan aparatur negara yang bertugas dan memiliki wewenang untuk mengusut suatu kejahatan hingga tuntas, dengan demikian ketentraman dalam hidup di masyarakat dapat tercapai. Hal ini di negara kita sendiri sangat erat kaitanya dengan sistem peradilan pidana yang didalamnya terdapat beberapa aparatur seperti kepolisian, kejaksaan dan hakim. Karena perkembangan kejahatan sangat erat kaitanya dengan penegakan hukum itu sendiri dalam sebuah negara. Oleh sebab itu suatu sistem kerja yang baik,efektif dan efisien antara para penegak hukum memegang peranan penting dalam mengatasi kejahatan tersebut.
Upaya penanggulanangan kejahatan oleh para penegak hukum dikenal dengan istilah Criminal justice system atau sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana ini akan berhasil apabila kejahatan  yang diperoleh dari laporan atau aduan atau hasil tangkap tangan dari penegak hukum sendiri (polisi) dapat diselesaikan dengan melalui proses yang dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga putusan dan eksekusi putusan pidana yang telah di buat oleh hakim. Dalam sistem peradilan pidana tersebut, terdapat dua instansi yang sangat berhubungan erat yakni pihak kepolisian dan kejaksaan. Kerjasama dan kordinasi yang baik akan sangat menjadi faktor penentu kesuksesan dari adanya sistem peradilan pidana itu sendiri. Adapaun tujuan yang ingin dicapai dengan sistem peradilan pidana itu sendiri adalah : 1) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, 2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana, dan 3) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahtan tidak mengulangi kejahatannya. [5]. Ketiga tujuan dari sistem tersebut sangat terkait satu sama lain. Namun menilik lebih dalam tujuan pertama dari sistem peradilan pidana tersebut  merupakan tugas dari lembaga kepolisian. Kemudian untuk poin kedua dan ketiga melibatkan dua lembaga sekaligus yakni kepolisian dan kejaksaan. Hubungan keduanya sangat erat terutama dalam hal penyidikan.
Istilah “penyidikan” adalah sinonim dari istilah “pengusutan”, yang merupakan terjemahan dari bahasa belanda Opsporing atau dalam bahasa inggris dikenal dengan istiah Investigation. Didalam sistem hukum Indonesia Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur undang undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti tersebut membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelakutindak pidanya. Sebelum masuk dalam tahap ini, biasanya telah didahului dengan adanya tahap penyelidikan oleh pihak penyelidik sesuai aturan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakan pada tindakan “mencari dan menemukan sesuatu peristiwa ” yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana.  Dari kedua penelasan tahapan tersebut hampir tidak ada perbedaan maknanya. Hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikanya pemeriksaan suatu peristiwa pidana.[6] Tahapan penyelidikan dan penyidikan ini mungkin saja tidak dilakukan dalam proses penanganan suatu perkara pidana dalam hal sipelaku tindak pidana dalam kondisi tertangkap tangan, tertangkap tangan sendiri dalam KUHAP adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau dengan segara sesudah beberapa saat tindak pidana dilakukan, atau sesaat kemudian, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukanya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. [7]
            Didalam undang undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 1 angka 1 : penyidik adalah  pejabat polisi negara republik indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang undang untuk melakukan penyidikan. [8] mengenai tugas dan kewenaganya sendiri di atur dalam pasal 6 dan pasal 7 undang undang yang sama. Persoalan yang kemudian muncul terkait hal tersebut adalah efektifitas penyidikan tindak pidana. Seperti yang kita ketahui untuk berhasilnya penuntutan yang dilakukan oleh seorang jaksa maka harus didukung dengan proses penyidikan dari tindak pidana terkait. Sebaliknya, kegagalan dalam penyidikan akan berakibat pada buruknya berkas perkara yang akan digunakan sebagai bahan pembuatan surat dakwaan dan berikutnya gagalnya jaksa dalam proses penuntutan di pengadilan. 
Dengan demikian hukum acara pidana harus memuat ketentuan sedemian rupa agar kordinasi dan kerjsama antar kedua lembaga tersebuut dapat terjalin dengan baik, sehingga tujuan ketiga dari sistem peradilan pidana yang telah di uraikan sebelumnya dapat tercapai. Lagi pula, di hampir setiap yurisdiksi jaksa itu merupakan tokuoh utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana, karena ia memainkan peranan penting dalam proses pembuatan keputusan. Walaupun polisi itu lebih terlatih dalam mengumpulkan bukti bukti ditempat kejadian kejahatan, dan walaupun polisi itu memiliki posisi komposisi tenaga manusia dan perlengkapan yang lebih baik, mereka itu tetap tergantung kepada jaksa. Salah satu sebabnya adalah karena umumnya jaksa itu lebih mahir dalam masalah yuridis dan memiliki hak utama yang eksklusif dalam menghubungi pengadilan. Bahkan di berbagai negara lain jaksa melakukan penyidikan tidak sendiri, ia juga memiliki diskresi penuntutan yang luas. Dengan kata lain, jaksa itu memiliki kekuasaan untuk menetapkan apakah akan menuntut atau tidak hampir disegala perkara pidana. [9]
Dalam sejarah hukum acara pidana dinegara kita tercatat bahwa dari tanggal 17 desember 1945 hingga 31 desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur dalam Reglemen Indonesia yang diperbaharuui (RIB S.1941 no. 44). Setelah 31 desember 1981 berlaku hukum acara pidana yang diatur dalam undang undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang hukum Acara Pidana. Dalam dua periode berlakunya hukum acara pidana tersebut, terdapat perbedaan penting dilihat dari aspek penyidikan tindak pidana (baik ditingkat tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus) serta kewenangan dari lembaga polisi dan kejaksaan. Jadi terdapat perbedaan pola hubungan antara polisi dan jaksa dalam dua periode tersebutdalam soal penyidikan tindak pidana. Sebelum KUHAP diberlakukan, wilayah tersebut secara tradisional “dikuasai” oleh kejaksaan. Degan kata lain, bidang penyidikan adalah wewenang pihak kejaksaan.[10]
Hal tersebut sejalan dengan yang diatur adalam undang undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan, khususnya dalam pada bab III tentang tugas dan kewenangan kejaksaan pasal 30 ayat (1), yang berbunyi :

(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.[11]

Dalam pasal tersebut, khususnya pada huruf e, jelas jaksa diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan tambahan dalam hal peyidkan guna melengkapi berkas perkara sebelum dsidangankan. Kemudian dalam penjelasan pasal tersebut dijelsakan bahwa, pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh jaksa tersebut harus memenuhi syarat-syarat seperti berikut :

1) tidak dilakukan terhadap tersangka;
2) hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan Negara;
3) harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana;
4) prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.

Dalam perkembangan selanjutnya dengan lahirnya undang undang kepolisian, polisi mengklain dapat melakukan penyidikan untuk semua tindak pidana. Klaim ini seolah ingin menangkis anggapan bahwa untuk penyidikan tindak pidana khusus hanya jaksa yang berwenang, padahal menurut pasal 284 Undng Undang Nomor 8 tahun 1981 wewenang jaksa itu bersifat sementara. Polisi seolah juga ingin menyatakann bahwa mereka kini sudah mampu untuk menyidik perkara perkara yang sulit seperti kasus tindak pidana korupsi, ekonomi dan subversi. Dualisme kewenangan penyidikan ini menimbulkan persoalan persoalan serius yang menegangkan hubungan hubungan antara polisi dan kejaksaan. Dalam periode ini muncul kasus demi kasus yang mencoreng kedua lembaga penegakan hukum tersebut. Pada kasus pembunuhan Nyo Beng Seng misalnya, polisi menangkap beberapa orang jaksa yang dituduh telah melakukan pemeriksaan palsu terhadap salah seorang saksi bernama Kiki. Sementara pihak jaksa menjawab bahwa mereka berwenang melakukan pemeriksaan tambahan karena hal itu memiliki dasarhukum dalam undang undang kejaksaan. Kasus ini seperti menandai perseteruan antara polisi dan jaksa dalam soal penyidikan. [12]
Padahal seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, penyidikan dan hasilnya sendiri sangat menentukan apakah suatu perkara dapat dilanjutkan ketahap penuntutan atau malah harus dihentikan karena sebab sebabt tertentu. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena sebagai public prosecutor, jaksa memiliki hak atau kewenangan untuk itu. Namun sebelum masuk pada kesimpulan apakah suatu perkara dapat dihentikan penuntutanya atau tidak, terdapat suatu fase dimana antara penyidik yang dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia (kapolri) saling berkordinasi untuk melengkapi bukti yang diperlukan jaksa dalam melengkapi dakwaanya sebelum berkas perkara dan tersangka dilimpahkan ke pengadilan. Tahapan tersebut dikenal didalam KUHAP dengan istilah Prapenuntutan.
Tahapan prapenuntutan ini dimulai saat penuntut umum menerima berrkas perkara dari penyidik. Dalam jangka waktu tujuh hari ia harus menentukan apakah berkas perkara tersebut sudah lengkap. “lengkap” artinya bukti buktinya cukup dan dan berkasnya disusun menurut KUHAP. Kalau penuntut umum berpendapat berkasnya belum lengkap, ia harus mengembalikanya kepada penyidik disertai dengan petunjuk petunjuk. [13] dalam waktu empat belas hari penyidik harus menyelesaikan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk petunjuk dari penuntut umum. Sebaliknya, berkas perkara dianggap sudah lengkap apabila sejak penyerahan berkas tersebut penuntut umum tidak mengembalikanya kepada penyidik.
Adapun alasan diskresi penuntutan menurut KUHAP dapat di kelompokan menjadi dua. Pertama, penghentian penuntutan karena alasan teknis. Kedua, penghentian penuntutan karena alasan kebijakan. Wewenang tidak menuntut karena alasan teknis, terdapat tiga keadaan yang dapat menyebabkan penuntut umum membuat ketetapan tidak menuntut karena alasan teknis atau ketetapan penghentian penuntutan. Yaitu :
1)      Kalau tidak cukup bukti-bukti
2)      Kalau peristiwanya bukan tindak pidana
3)      Kalau perkaranya ditutup demi hukum
Kemudian, wewenang tidak mennuntut karena alasan kebijakan, seperti para jaksa dinegara belanda dan jepang, sebelum tahun 1961 setiap jaksa di indonesia diberi wewenang tidak menuntut karena alasan kebjakan atau “mengesampingkan perkara”. Dengan kata lain, jaksa diperbolehkan mengenyampingkan perkara sekalipun buktinya cukup untuk menghasilkan penghukuman dari hakim. Wewenang tersebut dijalankan demi kepentingan umum, atau kepentingan individu dan didasarkan atas hukum tidak tertulis yang berasal dari hukum negara Belanda. Yang dikenal dengan asas opportunitas. Namun dalam perkembanganya guna mencegah penyalahgunaan kebijaksanaan (diskresi) penuntutan, maka wewenang tersebut ditiadakan sejak tahun 1961. Sejak saat itu, hanya Jaksa Agunglah yang boleh pengenyampingkan perkara karena alasan kebijakan (policy).[14]
Dari penjelasn diatas, dapat ditarik kesimpulan yang juga menguatkan pentingnya penyidikan tambahan oleh jaksa, mengingat dalam tahap prapenuntutan sendiri, tidak ada batasan berapa banyak kali berkas perkara dapat dikembalikan kepada penyidik oleh jaksa dan sebaliknya. Hal ini penting, mengingat dengan jangka waktu yang tidak terbatas ditakutkan akan terjadi pelaggaran terhadap Hak Asasi dari tersangka itu sendiri. Yang mana hal tersebut didukung dengan asas dalam hukum acara pidana bahwa setiap orang diadili dengan proses yang cepat, mudah dan berbiaya ringan.
Terbatasnya  kewenangan pemeriksaan tambahan dengan tidak dapat memeriksa seorang terdakwa (verdachte) serta hanya dapat dilakukan atas suatu tindak pidana yang pembuktiannya bersifat kompleks menimbulkan suatu pertanyaan  bagaimana keefektifan penanganan suatu perkara. Mengingat telah adanya suatu duplikasi tindakan penyidikan  dengan adanya dua kali tahap penyidikan melalui dua insititusi yang berbeda dalam satu perkara. Jika merujuk pada asas dominus litis Kejaksaan RI, timbul suatu pertanyaan kembali apakah pemeriksaan tambahan merupakan bagian dari kewenangan kejaksaan sebagai dominus litis dalam tahap penyidikan. Suatu perdebatan tentu akan timbul dari adanya pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Rudy Satriyo mengatakan bahwa pada masa berlakunya HIR justru terjalin kordinasi yang sangat erat antara polisi dan jaksa dalam tugasnya melakukan penuntutan. Hal ini dikarenakan Jaksa dalam melaksanakan tugasnya perlu memahami berkas penyidikan yang menjadi bahan  baku penuntutannya. Tanpa ia mengetahui atau menguasai penyidikan atas perkara itu maka jaksa akan  menjadi lemah dalam melakukan penuntutan.[15] Pendapat tersebut diperkuat dengan adanya pendapat dari Menteri Kehakiman Ismail Saleh yang mengatakan “ Kurangnya peranan  itu (Penyidikan, penyelidikan) membuat kejaksaan sempit dalam spektrum penanggulangan tindak pidana secara preventif dan represif. Hal tersebut menurut Menteri kehakiman, acapkali menempatkan jaksa dalam posisi lemah atau tidak meyakinkan dalam sidang pengadilan. Hal ini senada dengan pendapat dari Loebby Loqman, Harkristuti Harkrisnowo, Andi Hamzah, Luhut Panggaribuan serta Bismar Siregar yang menyatakan sebenarnya hubungan polisi dan jaksa dalam konsepsi HIR memiliki potensi lebih kuat untuk terjalinnya proses penyidikan antara polisi dan jaksa. Kelima Pakar tersebut sepakat bagaimanapun penyidikan dan penuntutan tidak boleh terpisah-pisah secara tegas. Jaksa harus mengikuti jalannya proses pertama, untuk kepentingannya dalam berhadapan di sidang pengadilan, kedua untuk melakukan kontrol terhadap proses penyidikan yang berlangsung.[16]
Pendapat yang berbeda muncul dari Yahya Harahap yang menyatakan prinsip diferensiasi fungsional yaitu adanya penegasan pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP telah meletakkan suatu asas penjernihan dan modifikasi fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum. Sehingga antara Penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan terjalin adanya hubungan fungsi yang berkelanjutan dengan mekanisme adanya ceking antara penegaka hukum dalam rangkaian Integreated Criminal Justice System.[17] Sistem cekking tersebut dilakukan dengan dilembagakannya “pemberitahuan dimulainya penyidikan”, ”perpanjangan penahanan”, “Prapenuntutan”, dan “Praperadilan” sehingga hal ini merupakan bentuk kontrol atau pengawasan Jaksa dalam Sistem peradilan Pidana Terpadu Menurut Yahya Harahap.
Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia menganut sistem tertutup dan juga adanya pemisahan yang tajam antara penyidikan dan penuntutan.[18] Amerika Serikat dalam sistem peradilan pidana menganut sistem terbuka . Maksud dari sistem terbuka tersebut adalah polisilah yang melakukan penyidikan, tetapi dalam hal-hal tertentu , jaksa atau public attorney dapat melakukan juga penyidikan perkara. Begitu pula dalam acara pidana di Belanda menurut Van Bemmelen dalam hal penyidikan penuntut umum bertanggungjawab secara hirerarki.
Penuntut umum  mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan dalam suatu perkara layaknya penyidikan di Indonesia pada jaman HIR. [19] Bentuk sistem tertutup di Indonesia layak untuk dicermati lebih lanjut mengingat kedepannya KUHAP akan segera diperbaharui. Perdebatan mengenai kewenangan jaksa untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana umum akan menjadi menarik jika dikaitkan dengan asas Kejaksaan sebagai pemegang pengendali perkara (dominus litis) .
PEMERIKSAAN LANJUTAN (NASPORING) OLEH JAKSA SELAKU DOMINUS LITIS PADA TAHAP PENYIDIKAN GUNA MENCAPAI EFFEKTIFITAS DAN EFFISIENSI PENANGANAN PERKARA DALAM MEWUJUDKAN INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM


[1] W.A  Bonger, Pengantar tentang kriminologi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 21.
[2] Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang  : CV Ananta, 1994), hlm. 12.
[3] Topo Santoso, Polisi Dan Jaksa : Keterpaduan atau Pergulatan, (Jakarta : Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000), hlm. 18.
[4] Ibid,. Hlm. 19.    
[5] Ibid,. Hlm. 23.
[6] Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP  : Penyidikan dan Penyelidikan, Ed. 2,  (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hlm. 109.
[7] Indonesia, Undang Undang tentang  Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 36 Tahun 1983, TLN No. 3258, Ps. 1 angka 19.
[8] Ibid,. Ps. 1 angka 1.
[9] Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di berbagai negara : peranan dan kedudukanya, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hlm. 6.
[10] Santoso, Op Cit., hlm. 3 – 4.
[11] Indonesia, Undang Undang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 16 Tahun 2004 LN No.  67 Tahun 2004, TLN No. 4401, Ps. 30 ayat (1)
[12] Santoso, Op. Cit., hlm. 6.
[13] KUHAP, Op. Cit., ps. 110 (2) jo ps. 138.
[14] Surachman, Op. Cit., hlm. 37-38.
[15] Rudy Satrio, “Peranan Jaksa dalam Pelaksanaan Peradilan Pidana di Indonesia (Suatu Tanggapan Terhadap RUU Kejaksaan)”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No.1, Tahun XXI, (Februari 1991). Hlm. 17-24.
[16] Santoso,Op.Cit., hlm. 138.
[17] Harahap, Op. Cit., hlm. 47.
[18]  Hamzah,Op.Cit., hlm. 70.
[19] Ibid.,hlm. 71.

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Putusan Nomor 1616 k/Pid.Sus/2013 atas nama terdakwa Angelina Sondakh

I.                    Kasus Posisi I.                    Kasus Posisi Angelina Sondakh (AS) selaku anggota DPR, mendapatkan amanah untuk mengikuti rapat pembahasan anggaran untuk beberapa proyek pemerintah pada saat itu.   Sebelumnya ia bertemu dengan Nazaruddin selaku owner dari Permai Grup untuk membicarakan kerjasama perihal penggiringan anggaran ke perusahaan Nazaruddin selaku pemenang tender untuk proyek pembangunan sarana pendidikan dan olahraga pemerintah. Atas kerjasama tersebut AS, meminta imbalan sejumlah 7% (yang akhirnya dikurangi menjadi 5%) dari total dana anggaran yang diperoleh Permai Grup dan dibayarkan dalam dua tahap pembayaran yakni saat pembahasan anggaran di DPR dan saat DIPA telah disetujui.    Untuk memperlancar kerjasama tersebut, AS aktif menghubungi beberapa pihak terkait khususnya dari kemendiknas guna memperlancar usaha penggiringan dana ke perusahaan Nazaruddin. Oleh sebab itu ia didakwa oleh penuntut umum dengan pasal tindak pidana korupsi

Pentingnya Penerapan Social Business Model Canvas dalam Merancang Inovasi Sosial di Bidang Hukum

  Hingga saat ini, akses masyarakat terhadap keadilan masih terbilang sulit. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengukuran pemerintah terkait akses keadilan di masyarakat (indeks) tahun 2019 lalu. Meskipun Indonesia memiliki skor cukup baik yakni 69,6 [1] dari maksimum 100, ternyata masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Salah satunya terkait akses akan layanan hukum seperti bantuan hukum dari pengacara.   Pandemi COVID-19 semakin mempersulit kondisi ini, mengingat ruang gerak masyarakat yang terbatas, akses keadilan pun semakin sulit dijangkau.   Berkaitan dengan kondisi tersebut, Kehadiran inovasi teknologi yang berbentuk situs cukup penting dan merupakan sebuah kebutuhan.   khususnya ketika banyak masyarakat sulit mendapat bantuan hukum lantaran persebaran Lembaga penyedia layanan bantuan hukum di Indonesia tidak merata.   Berbagai inovasi atau situs-situs di bidang hukum sudah digagas oleh banyak pihak, tidak hanya pemerintah dan swasta melainkan juga dilakukan oleh org