BAB I PENDAHULUAN
Dalam
pasal 1 ayat (3) UUD 45 disebutkan bahwa negara indonesia adalah negara hukum,
hal tersebut bermakna bahwa hukum merupakan urat nadi seluruh kehidupan di
indonesia. Hukum akan berperan dengan baik jika ditopang oleh suatu sistem yang
dilengkapi dengan berbagai instrumen dan berbagai kewenangan dalam penegakan
hukum itu sendiri. Salah satunya lembaga kejaksaan Republik Indonesia.
Untuk
mampu berjalan dengan baik, Sistem hukum sendiri terdiri dari substansi hukum
yang menyangkut peraturan perundang-undangan, struktur hukum yang menyangkut
sarana dan prasarana hukum, serta budaya hukum yang menyangkut tentang perilaku
masyarakat.
Kejaksaan
RI diatur secara mendasar namun hanya tersirat didalam UUD 45 terutama dalam
pasal II aturan peralihan dan pasal 24 ayat (3) terkait Badan Lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Kemudian lembaga kejaksaan diatur
secara khusus dalam UU nomor 5 tahun 1991 dan diubah menjadi UU nomor 16 tahun
2004 tentang Kejaksaan RI. Sebagai lembaga pemerintahan, Kejaksaan RI dituntut
untuk tidak hanya melaksanakan fungsinya dengan baik tetapi juga harus mampu
membentuk jati dirinya sebagai salah satu Instansi pelaksanaan kekuasaan negara
bukan alat kekuasaan sang penguasa.
Sejak
dikeluarkanya UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK fungsi penyidikan dan
penuntutan dalam tindak pidana korupsi tiak lagi menjadai tanggugjawab
kejaksaan RI. Sedangkan jika kita melihat kepada UU nomor 8 tahun 1981 (KUHAP)
pasal 284 ayat (2) kejaksaan RI sebenarnya masih memiliki kewenangan untuk hal
tersebut dalam kasus korupsi. Inilah merupakan suatu keambiguan terkait
eksistensi dari lembaga kejaksaan RI.
Lahirnya
KPK sendiri dan ditambah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana
korupsi, KPK dikhawatirkan terjadinya ego sektoral pada lembaga terkait
mengingat kewenaganya yang terlalu besar sebagai super body. Disamping itu KPK
tidak memiliki pembatasan prosedur dalam memeriksa pejabat negara dan rahasia
bank. Selain itu KPK juga mengambil alih penyidikan tindak pidana korupsi yang
dilakukan kepolisian dan kejaksaan.
BAB II KEJAKSAAN RI DALAM PRESPEKTIF TEORITIS HISTORIS
NEGARA HUKUM DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN
Lembaga
Kejaksaan adalah salah satu lembaga yang bergerak di bidang hukum yang
kewenangannya sekarang mulai dikurangi. Hal itu terjadi bermula dari KUHAP
yakni pada kewenagan penyidikan dan penyidikan lanjutan yang dipangkas menjadi
kewenangan di bidang tindak pidana umum. Begitu pula pada tindak pidana
penyeludupan telah dimonopoli oleh instansi bea cukai, begitu juga di bidang
korupsi juga telah di tangani oleh lembaga KPK.
Kedudukan
lembaga kejaksaan yang saat ini berada dibawah presiden yakni didalam lingkungan
eksekutif semakin menghambat fungsi dan tugas lembaga kejaksaaan untuk dapat
menjalankan tugasnya dalam hukum secara mandiri dan independen.
BAB III KEJAKSAAN DALAM LINTASAN SEJARAH KETATANEGARAAN
INDONESIA
Cikal
bakal lahirnya lembaga kejaksaan sudah ada jauh sebelum zaman kemerdekaan
indonesia. Misalnya saja pada zaman hindu di daerah jawa, yakni pada masa
kerajan majapahit dimana sudah ada beberapa jabatan yang dinamakan Dhyaksa,
Adhyaksa, dan Dharmadhyaksa. Gajah Mada adalah salah seorang Adhyaksa dimasa lampau.
Adhyaksa merupakan Hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi Dhyaksa / hakim
pengadilan.
Tugas
Gajah Mada dalam penegakan hukum bukan sekedar sebagai Adhyaksa melainkan juga
sebagai pelaksana segala peraturan raja dan melaporkan perkara-perkara sulit ke
pengadilan (layaknya fungsi jaksa saat ini).
Pada
masa kerajaan Majapahit ataupun Singosari, sang Prabu didampingi Oleh Dharmayaksaasa,
masing-masing untuk agama Syiwa dan Budha. Adapun tugasnya adalah :
a) Pengawas Tinggi
dari kekayaan suci
b) Pengawas Tinggi
dalam urusan kepercayaan
c) Ketua Pengadilan
Seiring
berjalanya waktu, terminologi Dhyaksa berubah menjadi Jeksa/jaksa dalam bahasa
sunda. Begitupun dengan tugas dan wewenang jaksa juga berubah sesuai struktur
kenegaraan dan sistem pemerintahan hingga saat ini.
Pada zaman penjajahan Belanda, diawal
kedatangan VOC sekitar tahun 1602, jaksa mulai berperan dalam melakukan
peradilan (hakim) untuk dan atas nama bupati setempat terkait penanganan
perkara yang tergolong ringan. Sedangkan untuk perkara berat jaksa bertindak
sebagai penuntut keadilan dengan Gubernur belanda sebagai ketuanya, dan bupati
sebagai anggotanya.
Pada Masa Kerajaan Mataram pengadilan
digolongkan pengadilan digolongkan menjadi dua jenis, yaitu Pradata dan Padu.
Pengadilan Pradata melaksanakan pengadilan terhadap perkara yang berat seperti
pembunuhan, pembakaran dan sebagainya yang diancam dengan pidana siksaan atau
pidana mati. Tugas jaksa dalam pengadilan ini adalah melakukan pekerjaan
kepaniteraan, menghadapkan terdakwa, serta saksi, sedangkan pemeriksaan dan dan
putusan dijatuhkan oleh raja mataram. Diluar daerah mataram proses mengadili
ditangani oleh jaksa atas nama bupati.
Walaupun
di cirebon terdapat empat orang sultan, namun hanya terdapat satu badan
pengadilan, yakni yang dijalankan oleh 7 jaksa yang fungsinya selain sebagai
hakim, jaksa juga menjalankan pekerjaan kepaniteraan, penuntutan, dan bisa juga
bertindak sebagai pembela.
Dalam
Pepakam cirebon jaksa melambangkan Candra Tirta Sari Cakra, yang berarti :
a) Candra : bulan
purnama yang menerangi kegelapan
b) Tirta : air yang
menghanyutkan segala yang kotor
c) Sari : bunga yang
menyebarkan bau harum
d) Cakra : dewa yang
melihat secara seksama apa yang benar dan yang tidak
Para
jaksa petipu dalam tugasnya tidak mengadili dalam sebuah gedung atau ruangan,
melainkan disebuah alun-alun besar dan duduk dibawah pohon beringin sebagai
lambang pengayoman yang juga terletak didepan pura didaerah keraton kesepuhan.
Oleh sebab itu sampai saat ini terkenal sebagai Kejaksaan. Jadi sebutan jaksa
di mataram lebih banyak diartikan sebgai hakim.
Pada Masa Pemerintahan Daendles, kekuasaan
pengadilan oleh kompeni hanya memiliki yurisdiksi di daerah jawa dan
sekitarnya. Untuk daerah lain dijalankan oleh Landdrost / landgerich yang
terdiri dari landdrost sebagi ketuanya, bupati / 7 penduduk terkemuka sebagai
anggota dan penasihatnya. Penuntut yang disebut sebagai Fisscal dilakukan oleh
jaksa besar atau Groot Djaksa.
Pada Masa Pemerintahan Raffles, dikeluarkan
sebuah Maklumat yang memuat landasan bagi badan-badan peradilan yang akan
disusunya untuk melaksanakan hal-hal yang termuat dalam maklumat tersebut. Berdasarkan
instruksi tersebut dibentuk badan pengadilan untuk golongan penduduk bumi putra
dalam dua susunan badan peradilan, yakni : kota dan daerah.
Pengadilan
untuk bangsa eropa ada di batavia, semarang dan surabaya. Setiap kota
masing-masing memiliki Court Of Justice. Sedangkan court of justice yang ada
didaerah batavia juga berfungsi sebagai pengadilan banding dari pengadilan yang
ada di semarang dan surabaya. Susunan dari Court of Justice itu adalah seorang
hakim ketua, dua hakim anggota dan satu fiscal (penuntut Umum), sedangkan
susunan suprame court terdiri dari seorang hakim ketua, seorang anggota dan
seorang advocate fiscal.
Pada masa Hindia-Belanda, badan yang
relevansinya dengan kejaksaan antara lain adalah pengadilan negeri (Landraad)
sebgai pengadilan sehari-hari golongan bumi putera. Pengadilan justisi (raad
van justitie) sebagai pengadilan sehari-hari orang eropa adalah pengadilan
banding bagi Landraad. Mahkamah Agung (Hooggerechtshof) adalah pengadilan
tinggi yang memiliki wewenang mengadili perkara banding dari perkara yang
diadili pengadilan tinggi, atau memeriksa perkara yang dimintakan kasasi.
Pada
masa ini, lembaga kejaksaan berfungsi sebagai perpanjangan tangan penguasa
penjajah negeri pada saat itu, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang
berkaitan dengan Hatzaai artikelen yang terdapat dalam WvS.
Pada Masa Pemerintahan Jepang, mulai 1942-1945
ada enam jenis peradilan umum di Madura :
a) Saikoo Hooin
(P.agama/MA)
b) Kootoo Hooin (PT)
c) Tihoo Hooin (PN)
Ketiga badan ini memiliki kantor kejaksaan atau Kensatsu Kyoto
d) Keizai Hooin (P.Kepolisisan)
e) Ken Hooin
(P.Kabupaten)
f) Gun Hooin
(P.Kewedanan)
Tugas kejaksaan saat itu adalah :
a) Menyidik
kejahatan dan pelanggaran
b) Menuntut perkara
c) Menjalankan
putusan pengadilan dalam perkara kriminal
d) Pekerjaan lain
terkait hukum
Jaksa adalah satu-satunyu penuntut umum dimasa pendudukan jepang. Mula-mula memang berada dibawah perintah dan kordinasi Sihoobucoo (direktur departemen kehakiman), kemudian Cianbucoo (direktur kemanan) dan ditingkat pusat ada Gunseikanbu dan tingkat daerah ada kantor keresidenan (Syuu). Dengan demikian jaksa didaerah tidak langsung berada dibawah residen, tetapi melalui kepala kejaksaan pengadilan setempat yang bertanggungjawab pada Cianbucoo.
Pada Masa Rovolusi Fisik misalnya pada
masa proklamasai kemerdekaan, dalam rapat PPKI diputuskan tentang kedudukan
kejaksaan yang berada dalam lingkungan departemen kehakiman. Kejaksaam
merupakan alat kekuasaan eksekutif dalam bidang yusticial.
Istilah
kejaksaan sendiri mulai dikenal sejak pendudukan jepang misalnya dalam Osamu
Seirei, yang mana ditegaskan didalamnya bahwa jaksa adalah satu-satunya pejabat
penuntut umum di negara RI.
Pada Masa Konstitusi RIS (1949-1950), jaksa
agung sudah aktif menjalankan tugasnya walaupun perihal jaksa baru diatur dalam
UU nomor 1 tahun 1950 atau UUMA. Sebagai negara federal yang alat perlengkapan
negaranya terdiri dari perlengkapan federal dan tingkat daerah bagian, maka
struktur organisasi kejaksaan terdiri dari kejaksaan pusat/ disebut kejaksaan
tingkat RIS dan tingkat daerah (tanpa instansi khusus terkait kejaksaan).
Pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959), kedudukan
kejaksaan sama dengan masa RIS, dimana kejaksaan berada dalam departmen
kehakiman. Kewenanganya diatur didalam pasal 156 (2), 157 (1), 158 (3) KRIS.
Dengan berdirinya negara kesatuan RI, lembaga kejaksaan agung masih eksis dan
tidak pernah dibubarkan meski tugasnya hanya pada tindak pidana tertentu yakni
masih pekerjaan lama.
Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965),
khususnya setelah dikeluarkanya dekrit presiden, terjadi perubahan pada status
kejaksaan yang dulunya sebagai lembaga non departemen dibawah dep.kehakiman
menjadi lembaga negara yang berdiri sendiri dan bekerja berdasarkan pada
putusan kabinet kerja I dan Kepres 204 th 1960 (berlaku surut). Hal ini bermula
sejak berubahnya kedudukan jaksa agung dari pegawai tinggi departemen menjadi
mentri Ex officio. Kemudian tanggal 30 juni 61 dibentulah UU 15 1961 tentang
kejaksaan, untuk menentukan tugas, wewenang dan kedudukanya dibentuklah UU 16
tahun 1961.
Pada Masa Orde Baru (1966-1998), terjadi perubahan
pemimpin di kejaksaan serta susunan organisasinya. Kejaksaan sempat dibantu oleh
kabinet dwikora dan kemudian oleh kabinet
ampera. Singkatnya pada masa kabinet pembangunan IV, kedudukan jaksa
agung setingkat dengan mentri negara yang tercantum dalam kepres 48 th 1983. kemudian
untuk menyempurnakan hal tersebut juga dikeluarkan Keppres no 55 th 1991 ttg
susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan.
Pada Masa Orde Reformasi, kewenagan jaksa
agung bertambah dengan adanya kewenagan sebagai penyidik dalam tindak pidana
pelanggaran HAM berdasarkan UU 26 tahun 1999 tentang HAM. Kemudian terhadap
tindak pidana korupsi, kewenangan kejaksaan dikurangi dengan terbentuknya KPK
pada desember 2003. Dalam era ini, perkara terkait korupsi dan perka yang
disinyalir ada masalah politik belum ditangani secara serius oleh kejaksaan.
Misalnya perkara Ginanjar K (mantan mentri pertambangan dan energi), pekara
Syahrial Sabirin (gubernur BI), Djakfar Umar Sidik tentang tipid terhdap kepala
negara, kasus Abubakar Baasyr dalam kasus makar dan teror, serta tindak pidana
pelanggaran HAM di Tim-Tim dan Tj.Priok. namun sebuah kemajuan adalah lahirnya
UU 16 tahun 2004 tentang kejaksaan RI dan terjadi pergantian pada Jaksa agung,
dari Marzuki Darusalam hingga H.M.A Rachman.
BAB IV Perbandingan Kejaksaan dan KPK diberbagai negara
1. Kejaksaan Thailand
Kejaksaan
Agung thailand berwenang untuk menangani perkara tindak pidana umum dan perdata
serta memberikan pendapat hukum kepada lembaga pemerintah dan BUMN. Fungsi
kejaksaan agung thaliand adalah :
a. Penyelenggaran
peradilan pidana (penyidik dengan menunggu kordinasi dari polisi terlebih
dahulu, sebagai penuntut umum dan berhak menghentikan penuntutan jika alasan
kurang bukti dan demi kepentingan umum,sebagai pembela pejabat negara)
b. Perlindungan kepentingan
negara (pemberi pendapat hukum, pemeriksa setiap perjanjian badan negara baik
secara nasional atau internasional)
c. Representasi
masyarakat umum (melalui instruksi atau bantuan media masa dalam hal
mengenalkan hukum kepada masyarakat)
Lembaga kejaksaan thailand berada dibawah departemen kehakiman dan mengawasi lembaga pemasayarakatan yang ada dibawahnya. Di thailand mengacu pada KUHP thailand para korban tindak pidana dapat melakukan penuntutan pidana secara langsung di pengadilan.Tindak pidana di thailand dikelompokan menjadi dua :
a. Private offences
: tindak pidana ringan -> tindak pidana yang tidak berdampak kepada
masyarakat, hak menuntut dari tindak pidana ini adalah pihak yang dirugikan.
Jadi negara bersifat pasif. Selain itu perkara juga bisa diselesaikan para
pihak diluar pengadilan.
b. Offences againts
state : tindak pidana serius -> tindak pidana yang berdampak kepada
masyarakat/negara. Sengketa tindak pidana ini harus diselesaikan di pengadilan.
Selain
itu, Penuntut Umum di thailand memiliki kekuasaan untuk mengajukan kasus
perdata di tingkat banding dan MA asalkan dengan persetujuan pihak yang
bersengketa. Meskipun tidak menjadi kewajibanya kejaksaan tailand juga berperan
dalam menangani perkara yang bersifat administratif.
2. Kejaksaan Amerika Serikat
Jaksa
Penuntut Umum AS adalah Wakil. Bukan pihak biasa untuk suatu persengkrtaan,
melainkan seorang yang berdaulat dan Bertanggungjawab memerintah tanpa memihak
serta menegakkan keaslian dalam perkara pidana. Jaksa Penintut Umum adalah
seorang abdi hukum dengan keistimewaan yang bertujuan ganda, yaitu supaya yang
bersalah tidak bebas dan yang tidak berdosa menderita. Menuntut dengan cara
tegas, keras dan tetap manusiawi. Ia didalam prosedur internal harus memastikan
:
a. Keputusan
tuntutan yang dibuat itu wajar
b. Penyimpangan yang
terjadi dibarengi dengan tindakan perbaikan
Posisi pemerintahan dalam proses menjatuhkan hukuman akan menolong untuk memastikan penjatuhan hukuman oleh pengadilan dengan UU reformasi penghukuman. Selain itu yang paling penting adalah kejaksaan AS terbagi dalam 2 sistem penuntut umum : JPU Federal & JPU negara bagian/distrik/wilayah. Penyidikan dimulai apabila salah satu badan penyelidik tindak pidana seperti FBI/DEA/Inspektur pos menerima pengaduan mengenai adanya tindak pidana. Disini ada peran agen yang akan membantu jaksa memahami setiap masalah yang terjadi. Jaksa akan bekerja dengan agen dan bantuan penyidik lainya.
Prosedur penanganan perkara akan dimulai jika seseorang telah ditahan. Jaksa yang akan memberitahu ada atau tidaknya suatu masalah yang akan ditangani oleh para penegak hukum. Jaksa dapat memilih siapa saja yang dapat dijadikan sumber informasi terkait suatu perkara. Sebelum mengambil keputusan, jaksa harus melihat berbgai alat bukti yang ada. Alat bukti bermacam-macam bisa juga kesan-kesan dari berbagai orang terkait tindak pidana yang terjadi. Setelah mempelajari dan mengumpulkan berbagai informasi jaksa akan memutuskan apakah sipelaku akan didakwa atau tidak.
Ada
Grand jurors yakni masyarakat yang
akan dipilih untuk menghadirkan alat buti di persidangan dihadapan Gran Juri. Ia memiliki ruangan tertentu
untuk berdiskusi bersama terkait sah atau kekuatan alat bukti yang telah
dihadirkan. Sifatnya sangat rahasia. Terdakwa
akan dibantu pengacara secara Cuma-cuma untuk memahami fakta hukum yang ada,
layaknya jaksa yang mewakili negara. Ia akan diberi waktu memahami fakta yang
ada, jika perlu ia akan ditahan atau tidak ditahan sama sekali. Sebelum
memulai persidangan jaksa diberi waktu untuk Pre-Trial, untuk ia menguasai kasus dengan baik, bicara dengan
saksi, mempelajari alat bukti, mempratikan berbagai macam pertanyaan yang akan
ditanyakan nantinya. Proses ini disebut dengan Mooot Court.
Jenis saksi :
a. Lay witness :
saksi biasa
b. Expert witnes :
seorang spesialis/ahli
c. Character witnes
: orang yang mengenal korban/pelaku/terlibat dalam kasus
Ketika
jaksa sudak merasa cukup kuat, pemerintah menawarkan terdakwa untuk hadir di
persidangan dengan syarat mau mengakui kesalahanya. Dan hakim yang akan
menjatuhkan hukuman.
3. Kejaksaan di Jepang, Korea dan Swedia
Kejaksaan
di tiga negara ini hanya memiliki kewenangan sebagai penuntut umum, tetapi
dapat langsung melakukan penyidikan terhadap perkara pidana. Ia mandiri dan tidak
dapat di intervensi pihak manapun meski kedudukanya tidak tercantum dalam
konstitusi.
Ia
punya kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
meminta keterangan para saksi, ahli, atau tersangka. Fungsi ini terdapat dalam
HIR Indonesia. Namun fungsi tersebut di Indonesia sudah mulai dicabaut.
4. Model Kejaksaan Diberbagai Negara Dalam Konteks
Penyidikan Dan Penuntutan
Terkait
penyidikan, ada 3 model yang dianut di berbagai negara :
a. Jaksa yang hanya
sebgaai penuntut umum (Thailand, Cina, India, Singapura, Srilangka, Papua
Nugini, Inggris dan Philipina)
b. Sebagai penuntut
umum dan penyidik (AS)
c. Melakukan
penuntutan dan penyidikan secara sendiri (Korea, Jepang, Swedia, Belanda dan
Indonesia pada masa HIR)
Terkait
penuntutan, peran jaksa dikelompokan menjadi 2:
a. Mandatary prosecutorial system : menuntut
berdasar alat bukti yang sudah ada (tailan, cina, india, srilangka dan papua
nugini)
b. Discretionary prosecutorial system : jaksa adapat
mengambil berbagai tindakan dalam hal penyelesaian suatu perkara. Selain alat
bukti juga dipertimbangkan faktor yang berkaitan terjadinya tindak pidana.
Kejaksaan
RI menganut kedua system tersebut, sesuai pasal 284 ayat 2 KUHAP.
5. KPK di Singapura...
Kenberhasilan
singapura dalam memberantas korupsi didukung oleh kemauan politik yang ada.
Strategi yang digunakan komprehensif dan terintegrasi secara nasional dengan
memperhatikan:
a. Corruption
Practices Investigaion Bureau
b. Attorney General
Chamber
c. Commercials
affairs departement
d. Auditor’s general
office
e. Public service
division
6. KPK di
Malaysia...
Juga
dijalankan secara komprehensif dan terintegrasi secara nasional. Walau dengan
ujung tobak sebuah badan yang dibentuk secara khusus untuk itu dengan
memperhatikan :
a. Badan Pencegah
Rusuah
b. Jabatan Peguam
Negara
c. Jabatan Audit
Negara
d. Jabatan Penghidmatan
Awam
e. United Malays
National Organization
7. KPK di Hongkong...
Hongkong
diperintah oleh gubernur jendral, sebuah excecutive counsil dan sebuah
legislatife counsile. Dibawahnya ada unit kepolisian yang dipimpin oleh seorang
komisaris dan dibantu deputy commisaris. Dan setiap kepolisian memiliki lima
cabang dan dipimpin masing-masingnya oleh direktor yang sepangkat dengan senior
assistent coumisaris.
Meski
polis hongkong dikenal jujur, namun masalah korupsi tetap ada dinegara
tersebut. Oleh sebab itu pada tahun 1948 dibentuk Preventive of Coruption Ordinance, yang memiliki kewenagan
melakukan investigasi sampai ke rekening milik tersangka, sebagai alat bukti
nantinya. 1959 kewenangan tersebut diperluas dengan adanya suatu komisi yang
dapat memeriksa standart of living dan control of pecuniary resources. Namun
korupsi tetap tumbuh subur dinegara tersebut.
8. Faktor Yang Berpengaruhi Dalam Pemberantasan Korupsi
Suatu Negara
a. Kemauan politik
yang direalisasikan dengan peraturan perundang-undangan
b. Merumuskan
strategi komprehensif dan terintegrasi secara nasional
c. Kedua hal
tersebut di implementasikan dengan membentuk sebuah lembaga yang independen
dalam pemberantsan korupsi
Keberhasilan
tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor internal seperti:
a. Luas negara dan jumlah penduduk yang kecil
b. Tingginya
kesadaran hukum masyarakat
c. Tingginya tingkat
kesejateraan aparat pemerintahan
d. Pengawasan dan
kontrol yang berjalan baik diseluruh lini yang ada.
BAB V KEJAKSAAN RI DALAM PRESPEKTIF HUKUM DAN
IMPLIKASINYA DENGAN DIBENTUKNYA KPK
Menurut
prof. Soebekti sistem hukum merupakan suatu susunan atau tatanan yang teratur,
yang bersifat keseluruhan dan terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu
sama lain, ia tersusun berdasarkan suatu pola, hasil sebuah pemikiran dan untuk
mencapai tujuan.
Menurut
prof.sudikno mertokusumo mengatakan sistem hukum adalah suatu kesatuan yang
terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan
bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.
Sistem
hukum ini memiliki subsistem tertentu salah satunya adalah kejaksaan RI sebagai
lembaga penegak hukum. Dalam hubunganya dengan upaya penegakan hukum di
Indonesia Soerjono Soekanto mengatakan bahwa hukum dan penegak hukum merupakan
sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan, karena penegakan
hukum akan menjadi tidak tercapai.
Sistem
kenegaraan merupakan suatu kesatuan hukum yang mengatur organisasi negara dan
susunan umum negara yang terdapat dalam UUD dan peraturan pelaksananya, yang
terdiri atas bagian seperti substansi hukum, struktur hukum, budaya hukum, yang
berinteraksi satu sama lain, tersusun secara tertib menurut asas-asasnya yang
berfungsi untuk mencapai suatu tujuan dari sistem hukum tersebut.
Logeman mengatakan ilmu hukum tata negara mempelajari hal-hal :
a. Jabatan-jabatan
dalam suatu negara
b. Siapa yang
mengadakanya
c. Bagaimana cara
melengkapi pejabatnya
d. Apa
tugas-tugasnya
e. Apa kewenanganya
f. Hubungan antar
kekuasaan
g. Batas-batas
organisasi negara dalam menjalankan tugasnya
Kejaksaan
sebagai pengendali perkara atau dominus
litis mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya
institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan
kepengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana menurut
hukum acara pidana. Disamping
itu kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (ex ecutive ambtenaar). Lembaga
kejaksaan diharapkan dapat berfungsi sebagai tulang punggung reformasi. Sebab pada
dasarnya makna reformasi adalah kembali kejalur hukum dan konstitusi sebagai
prasyarat bagi tegaknya demokrasi dan civil society yang dicita-citakan.
Di Amerika Serikat jaksa agung merangkap sebagai mentri kehakiman yang diangkat oleh presiden atas persetujuan senat menjadi anggota kabinet. Sementara itu di Belanda jaksa agung yang di Hoge Raad diangkat oleh ratu otonom, tidak terikat kepada pemerintah atau kabinet dan menjadi anggota MA. sedangkan ke 5 jaksa agung di PT berada dibawah Minister van Justitie yang dengan sendirinya meupakan bagian eksekutif, namun mempunyai kemandirian penuh dalam bidang penunutan dan penegakan hukum (handhaver der wetten). Di Indonesia dulunya, pada zaman PPKI oleh ketua PPKI yakni soepomo melaporkan kepada soekarno bahwa kejaksaan bersama-sama urusan pengadilan, kepenjaraan dan kadaster termasuk kedalam urusan kehakiman sebagaimana yang ditulis oleh M.Yamin dalam naskah persiapan UUD 45.
Elemen
essensial negara hukum :
a. Jaminan bahwa
pemerintah dalam menjalankan kekuasaanya selalu berlandaskan hukum peraturan
perundang-undangan
b. Jaminan
perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar
c. Pembagian
kekuasaan negara yang jelas, adil, dan konsisten
d. Perlindungan
hukum dari badan-badan peradilan terhadap
tindakan pemerintahan
Supremasi
hukum berarti adanya jaminan konstitusional dalam proses politik yang
dijalankan oleh kekuasaaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Supremasi akan
bertumpu pada kewenangan yang ditentukan oleh hukum. Dengan demikian kejaksaan
sebagai bagian kekuasaan eksekutif yang terkait dengan kekuasaan kehakiman
dalam penegakan hukum memiliki tugas dan wewenang yang ditetapkan oleh hukum.
Tugas
dan tanggung jawab kejaksaan RI sebagai institusi penegakan hukum :
a. Mengembangkan udaya hukum melalui penciptaan kesadaran
hukum dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum
b. Menegakan hukum
secara konsisten dan berkeadilan, berkepastian hukum dan berkemanfaatan
c. Mewujudkan
peradilan yang mandiri dan bebas
d. Menyelenggarakan
proses peradilan cepat, mudah dan biaya ringan
e. Menyelesaikan
pelanggaran hukum dan HAM yang belum ditangani secara tuntas
Dalam UU Propenas pemerintah menetapkan 4 program utama dalam pembangunan hukum nasional :
1. Prog. Pembentukan
peraturan perundang-undangan
2. Prog.
Pemberdayaan lembaga peradilan (pengawasan, perekrutan, peningkatan
kesejahteraan, pembentukan KY, terciptanya peradilan pidana terpadu,
peningkatan sarana prasarana bidang hukum)
3. Prog. Penuntusan
KKN dan pelangggaran HAM
4. Prog. Peningkatan
kesadaran dan pengembangan budaya hukum (kejaksaan RI sebagai ujung tombaknya)
Tujuan
kejaksaan dalam penegakan hukum :
1. Meinjau dan
menata kembali organisasi kejaksaan RI sesuai tuntutan supremasi hukum
2. Menyesuaikan
sistem dan tatalaksana pelayanan dan penegakan hukum yang mengacu pada
efisiensi, efektifitas dan optimal
3. Membentuk
aparatur kejaksaan yang propesional, transparan, akuntabel
Sasaran
kinerja kejaksaan RI :
1. Menjadikan
kejaksaan sebagai institusi yang akuntabel sehingga dapat beroperasi secara
efisien, efektif, dan responsif terhadap masyarakat
2. Menciptakan
instansi kejaksaan yang transparan dalam memberikan pelayanan hukum masyarakat
3. Terpeliharanya
kepercayaan masyarakat pada aparatur kejaksaan
Langkah-langkah
optimalisasi untuk mencapai tujuan kejaksaan :
1. Optimalisasi
pemberdayaan institusi kejaksaan melalui penataan organisasi, pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan dan peningkatan profesionalitas kejaksaan
2. Turut berperan
aktif dalam penyempurnaan peraturan perundang undangan
3. Mengembangkan
penyusunan perencanaan strategis yang meliputi pembinaan SDM, sarana prasarana
dan teknisnya
4. Optimalisasi
pemberdayaan lembaga intelegen yudisial
5. Peningkatan
kualitas penyelesaian perkara
6. Meningkatkan
transparansi dalam penyelesaian kasus
7. Mengembangkan
upaya penumbuhan kepercayaan masyarakatterhadap kejaksaan
Kedudukan
kejaksaan RI berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU kejaksaan :
1. Sebagai lembaga
pemerintah/eksekutif
2. Sebagai pelaksana
kekuasaan negara dalam penuntutan
3. Sebagai pelaksana
kewenangan lain berdasarkan UU
Visi
Kejaksaan RI :
kejaksaan
dalam penegakan hukum bersifat independen dengan kedudukan sentralnya sehingga
supremasi hukum dan penghormatan HAM dapat terwujud.
Misi
Kejaksaan RI :
1. Mengamankan dan
mempertahankan pancasila sebagai falsafah hidup bangsa indonesia terhadap
usaha-usaha yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, berbangsa
dan bernegara.
2. Mewujudkan
kepastian, ketertiban, keadilan, dan kebenaran hukum serta mengindahkan
norma-norma beragama, kesopanan, dan kesusilaan.
3. Menggali
nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat
4. Melaksanakan
pembangunan dengan turut menciptakan kondisi dan proses yang mendukung serta
mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil makmur
berdasarkan pancasila
5. Menjaga dan
menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan
masyarakat melalui penegakan hukum
Isu-Isu
sentral dalam Undang-Undang Kejaksaan RI :
1. 3 isu sentral
yang dikomperasi adalah soal kedudukan, fungsi dan komisi kejaksaan
2. Dasar komperasi
adalah UU 16 tahun 2004 tentang kejaksaan RI
3. Konsekuensi
komperasi adalah ditemukan dan dipahaminya persamaan & perbedaan ketiga isu
sentral itu dalam UU kejaksaaan (lama/baru)
4. Manfaat komperasi
ini adalah menempatkan kedudukan kejaksaan RI pada tempat yang tepat secara
konstitusional
Pasal
2 UU 16 tahun 2004 :
1. Kejaksaan sebagai
suatu lembaga pemerintahan
2. Kejaksaan melalui
kewenanganya dibidang penuntutan dan kewenangan lain berdasar UU
3. Kewenangan
tersebut dilakukan secara merdeka
4. Kejaksaan adalah
satu dan tidak terpisahkan
Penjelasan
pasal 2 ayat 2 UU kejaksaan : kejaksaan adalah 1 dan tidak dapat
dipisah-pisahkan merupaan landasan pelaksanaan tugas dan wewenang didalam
penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan dibidang penuntutan
sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku
dan tata kerja kejaksaan. Oleh karena itu kegiatan penuntutan oleh kejaksaan
tidak akan berhenti hanya karena jaksanya berhalangan. Sehingga penuntutan akan
tetap dilaksanakan meski dengan jaksa pengganti.
Kedudukan
Kejaksaan RI dalam penegakan hukum jika ditinjau dari UU kejaksaan yang baru
dan UU kejaksan yang lama, maka akan terlihat beberapa persamaan dan perbedaan
:
1. Kesamaan ketiga
UU tersebut adalah kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Kemudian
kejaksaan menjalankan kewenangan utama dalam penuntutan
2. UU 16/2004 & UU
5/91 kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang memiliki kewenangan dalam
penuntutan, namun berbeda dengan uu 15/1961 kejaksaan adalah alat negara
penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum
3. Perbedaan ketiga
uu kejaksaan adalah jika dalam UU yang baru ditegaskan bahwa kewenangan
dijalankan secara merdeka dan mandiri dalam hal penuntutan. Sedangkan dalam UU
sebelumnya hanya menyebutkan tentang kemerdekaan saja
4. UU baru
menegaskan secara eksplisit kejaksaan harus menjunjung tingggi Hak Asasi
Masyarakat dan negara. Hal ini tidak disebutkan dalam UU kejaksaan yang lama
Karena
kedudukan kejaksaan dibawah kekuasaan eksekutif, disinilah terdapat kontradiksi
dalam pengaturanya, karena dirasa mustahil kejaksaan dalam melaksanakan fungsi,
tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan mungkin
juga pengaruh kekuasaan lainya. Hal ini diperkuat lagi dengan kedudukan jaksa
agung sebagai pemimpin dan penanggungjawab tertinggi kejaksaan yang memimpin,
mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan. Baik dibidang
penuntutan ia bertanggungjawab langsung kepada presiden.
Berdasarkan
UU Kejaksaan RI yang baru dapat disimpulkan bahwa
kedudukan jaksa masih ambigu. Disatu sisi ia dituntut menjalankan tugas dan
wewenangnya secara merdeka, namun disisi lain kejaksaan dipasung dengan
kedudukanya yang berada dibawah presiden langsung.
TUGAS
dan KEWENANGAN KEJAKSAAN RI – pasal 30 uu 16 tahun 2004 :
1. Dibidang pidana:
(psl 27 uu 5/91)
ü Melakukan
penuntutan
ü Melaksanakan
penetapan hakim dan putusan pengadilan yang BHT
ü Melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan dan putusan lepas bersyarat
ü Melakkan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan UU
ü Melengkapi berkas
perkara tertentu dan melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikordinasikan dengan penyidik
2. Dibidang perdata
& TUN:
ü Dengan kuasa
khusus dapat bertindak dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah
3. Dalam bidang
ketertiban dan ketentraman umum :
ü Peningkatan
kesadaran hukum masyarakat
ü Pengamanan
kebijakan penegakan hukum
ü Pengamanan
peredaran barang cetakan
ü Pengawasan aliran
kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara
ü Mencegah
penyalahgunaan/penodaan agama
ü Penelitian dan
pengembangan hukum serta statistik kriminal
4. Dapat meminta
kepada hakim untuk menempatkan terdakwa di RS/RSJ/tempat yang layak lainya
(pasal 31) (=psl 28 uu 5/91)
5. Membina hubungan
kerjasama dengan penegak hukum dan badan negara (pasal 32-33) 9=psl 30 uu 5/91)
6. Memberi
pertimbangan dalam bidang hukumkepada instansi pemerintah lainya (pasal 34)
Pasl 35 UU
kejaksaan Jaksa Agung memiliki tugas dan wewenang :
a. Menetapkan serta
mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas
dan wewenanang kejaksaan
b. Meefektifkan
proses penegakan hukum yang diberikan UU
c. Mengesampingkan
perkara demi kepentingan umum
d. Mengajukan KDKH
pada MA baik perdata,pidana dan TUN
e. Mengajukan
pertimbangan teknis hukum pada MA dalam kasasi perkara pidana
f. Mencegah orang
tertentu untuk masuk/keluar RI karena terlibat pidana
Pasal 36 UU
Kejaksaan : (= psl 33 uu5/91)
a. JA memberi izin
terdkwa untuk berobat/menjalani perawatan
b. JA memberi izin terdakwa
untuk berobat/menjalani perawatan diluar negri
Pasal 37 UU
kejaksaan : a. JA bertanggungjawab atas penuntutan secara mandiri dan
independen demi keadilan
Komisi Kejaksaan RI
Jaksa Agung
diangkat dan diberhentikan oleh presiden berdasasarkan persetujuan DPR. Dalam
pasal 38 UU kejaksaan yang baru bahwa untuk meningkatkan kualitas kinerja
kejaksaan, presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenanganya
diatur oleh presiden. Implikasi dari pengaturan tersebut adalah secara normatif
belum jelasnya kedudukan, susunan, tugas, dan wewenang komisi ini. Kemudian apa
yang menjadi tolak ukur menentukan kualitas kinerja kejaksaan sehingga perlu
dibentuk komisi.
Dalam Kepja
tentang penyempurnaan doktrin kejaksaan Tri Krama Adhyaksa disebutkan 3 ciri
hakiki kejaksaan :
1. Tunggal : sebagai
lembaga yang tidak terpisah dan dapat saling menggantikan
2. Mandiri :
satu2nya lembaga penuntut sesuai amanat UU
3. Mumpuni : setiap
warga kejaksaan mampu menjalankan tugasnya dengan prakarsa sendiri dan
membangun kerjasama dengan aparatur hukum/negara lainya
Kemudian 3 fungsi
pokok jaksa agung :
1. Dalam kedudukan
struktural : memimpin dan mengendalikan kejaksaan serta membina aparatur agar
berdaya guna,berdaya hasil dalam bertugas
2. Dalam kedudukan
sebagai pembantu presiden : terlibat aktif dalam pembangunan, pemerintahan dan
pembinaan masyarakat
3. Dalam kedudukan
sebagai fungsional : penegakan hukum secara preventif dan represif
Penyidikan dalam
Konteks Penuntutan sebagai Fungsi Kejaksaan RI
Saat HIR berlaku,
maka jaksa dapat melakukan penyidikan, baik hanya sebagai kordinator atau
sebagai penyidik langsung. Namun setlah KUHAP berlaku pasal 284 KUHAP inti yang
tersirat pada pasal tersebut adalah : “penyidikan diserahkan kepada polri
sebgai penyidik tunggal dibantu penyidik PNS”. Setelah berlaku UU 5/91 pasal 1
huruf d kejaksaan diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan tambahan yang
berbeda dengan pemeriksaan lanjutan/nasporing setelah opsporing. Namun
kewenangan tersebut terbatas terhadap permintaan keterangan kepada saksi dan
ahli serta upaya lain erupa penggeledahan, penyitaan. Dengan adanya UU 26 tahun
2000 tentang peradilan HAM, kewenangan penyidikan diberikan kepada kejaksaan
RI, selain itu kewenangan tersebut dapat dilimpahkan kepada penyidik ad hoc
yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat.
Perimbangan
positif jaksa terlibat dalam penyidikan :
a. Tehadap kejahatan
yang bersifat kompleks dan sulit pembktianya, jaksa seharusnya terlibat
langsung. Karena memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum dan mahir
menggunakan prosedur baku penyidikan
b. Jaksa memiliki
kedudukan yang tepat dalam hal mengambil keputusan apakah suatu perkara dapat
dituntut/tidak di pengadilan.
Akuntabilitas & Pengawasan atas Kejaksaan RI kini
& akan datang
Hinggasaat ini
lembaga yang mengawasi kejaksaan adalah pemerintah/presiden secra langsung.
Sebagai pejabat administrasi negara selain bertanggungjawab pada presiden ia
juga harus mampu bertanggung jawab kepada Tuhan YME.
Harapan kedepanya
adalah jaksa agung dipilih langsung oleh DPR sebagai simbol amanah rakyat.
Meski nanti akan diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Media
pertanggungjawabanya adalah langsung kepada publik secara transparan melalui
akuntabilitas kinerja. Melalui media cetak dan elektronik baik mengenai jumlah
perkara yang disidik atau yang di SP3kan. Hasil pertanggungjawaban akan dikirim
kepada dan dinilai oleh Presiden, DPR dan BPK yang dilakukan pada saat akhir
masa jabatan, bukan secara periodik.
Kejaksaam RI dalam Prespektif Hukum
Tujuanya adalah
untuk mencapai tujuan hukum, yakni : kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan
hukum bagi pencari keadilan. Ketiga tujuan tersebut adalah tujuan yang tidak
dapat dipisahkan satu dan lainya. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa dalam
menjalankan kekuasaan negara dibidang penuntutan tidak dapat dipisahkan dari
tahap penyidikan.
Prospek kejaksaan RI dalam Penegakan Hukum
Pembangunan
kejaksaan RI kedepanya dapat mewujudkan kejaksaan yang mandiri, independen
serta didukung oleh aparat yang yang proposional dan profesional sesuai
kehendak dan perkembangan masyarakat. Selain itu perlu ditata kembali proses
peradilan pidana dalam rangka “intergrated Criminal Justice System”. Misalnya
dengan menjamin dakwaan JPU yang berdasarkan proses penyidikan yang tepat dan
akurat serta benar berdasarkan UU.
Bagir Manan : “pembangunan
hukum nasional tidak hanya berhubungan dengan pembentukan asas dan kaidah
hukum, tetapi meliputi juga sistem pembentukan, penegakan, dan pembaharuan
dibidang politik, ekonomi,Sosial dan Budaya hukum.
Pembangunan hukum
harus bersifat integral, selain itu intervensi kekuasaan dan krisis moral para aparat
penegak hukum juga sangat mempengaruhi palayanan dan penegakan hukum itu
sendiri”.
Pada saat terjadi
transisi reformasi pembangunan kejaksaan, yang menjadi perhatian utama adalah
bidang struktural, operasional, instrumental, dan bidang kultural. Karena
melihat pada peraturan terkait kejaksaan sekarang jelas terlihat bahwa
kedudukan kejaksaan sekarang tidak mandiri dalam penuntutan dan penegakan hukum
karena ia sebagai lembaga pemerintah ia juga
merupakan komponen POLKAM. Sehingga agar ia mapuni maka kejaksaan harus
dilepaskan dari 2 lembaga tersebut.
Faktor yang Menstimulus Fungsi Kejaksaan RI dan
Implikasinya dengan dibentuknya KPK
Penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh institusi seperti kejaksaan,
kepolisian dan badan terkait lainya dalam praktek sering menemukan kendala
antara lain :
1. Modus operandi
yang canggih
Modus operandi cara operasi atau cara melaksanakan atau
juga cara melakukan tindakan, sedangkan canggih adalah sangat berpengalaman,
intelektual, atau modern.
Sulitnya tindak pidana korupsi dideteksi karena cara
kerja pelakunya yang begitu rapi dan sempurna sehingga mampu mengelabui aparat
penagak hukum.
2. Pelaku dilindungi oleh korps, atasan atau teman-temanya
Dimana dalam prakteknya kasus korupsi dilakukan berdasarkan
kebijakan organisasi yang merupakan sebuah kerjasama atau kolusi antara atasan
dan pelaku. Sehinggga untuk melindungi nama baik perusahaanya, cenderung para
pihak terkait sangat sulit untuk dimintai keterangan terlebih jika telah ada
temuan.
3. Objeknya rumit
Sulitnya membedakan mana yang menjadi bagian tindak
pidana penyeludupan dan mana yang menjadi tidak pidana korupsi
4. Sulitnya menghimpun bukti permulaan
Karena sering tindak pidana korupsi tersebut baru
terungkap setelah korupsi itu selesai dilaksanakan.
5. Managenem Sumber Daya Manusia
Dengan mengadakan pendidikan dan pelatihan khusus bagi
para aparat penegak hukum sehingga menjadi kader yang mumpuni, intelektual,
berwawasan dan ahli dibidangnya
6. Masih adanya perbedaan persepsi dan interpretasi
Maksudnya adalah masih adanya perbedaan penafsiran dan
tanggapan antara aparat pengawas struktural dalam kasus tindak pidana korupsi
dan antar penegak hukum dalam hal penaggulangan tindak pidana korupsi
Hal ini terletak pada penafsiran dan penerapan peraturan
perundang-undangan terhadap tindak pidana korupsi, baik menyangkut tindak
pidana materil maupun formil.
7. Kurangnya dukungan produk legislatif yang memadai
Dimana pada saat ini dengan munculnya produk legislatif
setelah undang-undang tipikor malah membuat para penegak hukum tidak leluasa
dalam menjalankan tugasnya. Misalnya adalah UU tentang perbankan nomor 10 tahun
1998, dimana dalam UU tersebut untuk dilakukanya pemeriksaan rekening tersangka
harus meminta izin terlebih dahulu dari Gubernur BI
Kemudian UU 22 tahun 2003 tentang kedudukan MPR, DPR, DPD
dan DPRD, dimana jika para pejabat tersebut ingin diselidi harus mendapat
persetujuan presiden.
8. Sarana prasarana yang belum memadai
Seperti ruang kerja yang memadai, kendaraan operasional,
dan alat kerja lainya.
9. Berupa teror, baik fisik dan psikis berupa ancaman dari telepon, pemberitaan negatif, unjuk rasa bahkan pembakaran rumah aparat penegak hukum.
UU 30 tahun 2002 mengamanatkan
dibentuknya pengadilan tipikor yang bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus tipikor yang penuntutanya diajukan oleh KPK. Kemudian susunan KPK
terdiri atas ketua komisi dan 4 wakil ketua komisi. KPK membawahi 4 bidang :
a. Bid. Pencegahan
b. Bid. Penindakan
c. Bid. Informasi
dan data
d. Bid. Pengawasan
internal dan pengaduan masyarakat
Dari keempat
bidang tersebut, bidang penindakan mempunyai tugas dan wewenang melakukan
penyidikan dan penuntutan terhadap perkara korupsi. Tenaga penyidikan diambil
dari Kepolisian RI. Khusus untuk penuntutan diambil dari pejabat fungsional
kejaksaan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 45 ayat 1 dan pasal 51 ayat 1 UU 30
tahun 2002 tentang KPK.
Berbeda dengan
penyidik polisi dan kejaksaan RI, penyidik dan jaksa KPK dapat menerobos
prosedur khusus baik dalam meminta keterangan saksi /tersangka yang menduduki
jabatan sebagai pejabat negara. Inilah yang menjadi penghambat bagi kepolisian
RI dan kejaksaan RI untuk menuntaskan proses penyidikan suatu perkara tindak
pidana korupsi.Menurut Nawawi
Arif untuk memberantas korupsi diperlukan suatu pendekatan khusus yang menitikberatkan
pada totalitas dan integritas atau disebut juga dengan istilah System Approuch.
Sebelum KPK
dibentuk, dulunya pemerintah pernah membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TGPTPK) dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN).
Namun umur lembaga ini sangat singkat, dan ironisna pelapor kusus perdana dalam
pemberantasan korupsi tersebut malah menjadi terdakwa dikasus korupsi. Sedang
perkara korupsinya kandas di pengadilan sebelum pemeriksaan pokok perkara. Dan
akhirnya lembaga tersebut dinyatakan bubar atas dasar judicial review dari
terdakwa yang menanyakan eksistensi dasar hukum lembaga tersebut.
Terkait
eksistensi lembaga kepolisian dalam hal menjalankan tugas penyelidikan dalam
perkara tindak pidana umum, diketahui bahwa dalam rentang waktu 2001-2003 dari
344.296 (100%) perkara yang diterbitkan SPDP hanya 62% yang selesai disidik
oleh kepolisian. Sehingga dapat disimpulkan kinerja kapolri masih belum
maksimal. Sedangkan dalam
tindak pidana korupsi, dari 1567 perkara hanya 84% yang mampu diselesaikan
kapolri. Sehingga dari data diatas dapat diketahui kepolisian belum mampu
menyelesaikan tugasnya dalam hal penyelidikan. Dalam disertasinya Untung Radjab
menjelaskan, kurang maksimalnya kinerja kapolri sebenarnya bukan karena
ketidakmampuan kapolri dalam menyelesaikan tugasnya, namun karena adanya
perebutan kewenangan yang terjadi antara kepolisian dan pihak kejaksaan. Selain
itu tidak sejajarnya pengetahuan hukum yang diterima oleh 2 instansi tersebut
juga mempengaruhi kedudukan dan fungsi polri itu sendiri. Selain itu
ketidak berhasilan penanganan suatu perkara juga terjadi akibat ketidakjelasan
kedudukan jaksa dalam menangani perkara terlebih setelah keluarnya UU kapolri
nomor2 ahun 2002. Jaksa disini apakah harus ditempatkan sebagai penyidik, atau
kordinator penyidikan atau hanya penuntut umum saja. Masalah ini tentu akan
mempengaruhi sukses/cepatnya penyelesaian suatu perkara oleh para aparat
penegak hukum.
Dari data diatas,
dibutuhkan faktor yang mampu menstimulasi agar kejahatan korupsi tidak
merajalela, adalah faktor kesejahteraan dan pengawasan. Selain itu sebenarnya
untuk memberantas korupsi semesinya tidak perlu dibentuk lembaga atau komisi
khusus seperti KPK, karena hal ini akan menimbulkan Social Cost yang membawa konsekwensi pada aspek pembiayaan dan
pembiayaan tersebut akan membebani negara. Langkah yang lebih efektif adalah Mereposisi Institusi Kejaksaan RI, baik
kedudukan maupun fungsinya menjadi suatu institusi yang mandiri, independen,
lepas dari eksekutif, dan menjadi badan negara yang menjalankan kekuasaan
negara bukan kekuasaan pemerintah dalam bidang penegakan hukum dan kewenangan
lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Karena
keberhasilan KPK dinegara lain dalam memberantas koripsi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yang mana faktor tersebut sangat berbeda dengan kondisi
indonesia, seperti :
1. Jumlah penduduk
dan luas wilayah yang relatif kecil
2. Tingkat kesadaran
hukum masrakat mereka yang cukup tinggi
3. Tingkat
kesejahteraan aparatur penegak hukum yang juga tinggi
4. Adanya sistem
kontrol dan pengawasan terhadap setiap lembaga yang berjalan dengan baik
Sebenarnya dengan
melihat kondisi indonesia yang homogen, masih kurangnya kesadaran hukum
masyarakat, kurangnya tingkat kesejahteraan aparat pemerintahan dan masalah
lainya dapat memberi cerminan bahwa seharusnya dalam pemberantasan korupsi
dapat berhasil tanpa adanya proses pengambil alihan hak dan kewenangan yang
sebenarnya dimiliki oleh penyidik dan penuntut meskipun sudah dibentuknya KPK,
yang mana seharusnya mereka dapat saling bekerja sama sehingga tujuan
memberantas KKN di Indonesia dapat dicapai secara cepat dan maksimal, layaknya
di negara Singapura, Malaysia dan Hong Kong.
Comments
Post a Comment