Skip to main content

Asset Recovery bagi Terpidana Korupsi Sebagai Bentuk Pelaksanaan United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) di Indonesia



A.      PENDAHULUAN
                Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi  (United Nations Convention Against Corruption/ UNCAC) yang diikuti Indonesia pada tanggal  9 Desember 2003 di Merida Meksiko  bersama 137 negara lainnya menjadi bukti awal komitmen Indonesia untuk memperbaiki diri melalui pemberantasan korupsi.  Dengan ikut sertanya Indonesia meratifikasi konvensi ini pada 21 maret 2006 yang kemudian diikuti dengan disahkannya UU no. 7 tahun 2006, menunjukkan kesungguhan Indonesia untuk benar-benar mengimplementasikan  konvensi ini.[1]
                Korupsi menurut prespektif hukum didefinisikan secara gamblang dalam 13 pasal dalam UU 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut korupsi dirumuskan dalam tiga puluh bentuk. Ketiga puluh bentuk / jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis, misalnya tindakan yang menyebabkan kerugian pada keuangan negara (pasal 2 dan 3), suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.[2]
                Tindak pidana korupsi tidak lagi menjadi masalah nasional belaka, melainkan sudah merambah ke seluruh negara didunia dan menjadi fenomena yang transnasional (cross border crime). Oleh sebab itu, kerja sama internasional antar negara menjadi hal yang essensial dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, khususnya menyikapi tindakan koruptor yang melakukan berbagai cara untuk menyembunyikan aset yang ia peroleh dari tindak pidana yang ia lakukan. Tidak sedikit aset negara yang berhasil diraup oleh para koruptor dan disembunyikan dengan cara berinvestasi dinegara asing, khususnya dinegara maju yang memiliki sistem hukum yang sangat melindungi aset-aset dari koruptor tersebut.
                Lahirnya UNCAC adalah angin segar bagi negara berkembang khususnya Indonesia  yang saat ini berada pada kondisi ekonomi yang parah akibat tingkat korupsi yang semakin akud.  Karena konvensi ini  memberikan enforcement (paksaan) bagi contracting states (negara pihak) untuk melaksanakan kewajiban yang tercantum didalamnya termasuk sanksi bagi para negara pihak yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut. Hal ini merupakan sebuah paradigma baru dalam hal pemberantasan korupsi secara global.

B.      ISI
Secara khusus pengembalian aset dimuat dalam chapter V asset recovery UNCAC pasal 51 yang mengatur bahwa :
In return of asset pursuant to this chapter is a fundamental principle of this convention and Parties shall effort one another the widest measure of cooperation and assistance in this regard.[3]
             Pengertian Asset Recovery masuk dalam lingkup Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Administrasi. Di bawah hukum pidana, perdata dan administrasi, prosedural Asset Recovery meliputi : pelacakan, pembekuan, penyitaan, perampasan, pemeliharaan/pengelolaan dan pengembalian aset yang dicuri/ hasil kejahatan kepada korban kejahatan (negara untuk perkara korupsi).[4]
                Perampasan aset tindak pidana dikenal dalam hukum pidana Indonesia melalui Pasal 10 b (pidana tambahan) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan selanjutnya diatur lebih lanjut dalam pasal-pasal 39-42 KUHP. Konsep hukum (legal concept) perampasan aset menurut hukum pidana Indonesia adalah suatu pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh hakim, bersama-sama dengan pidana pokok (di Amerika Serikat dan Belanda dapat juga dijatuhkan secara tersendiri oleh hakim).
                Pasal 39 ayat (1) KUHP mengatur aset (barang) apa saja yang dapat dirampas yaitu barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dan kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan dapat dirampas. Istilah aset tindak pidana dirumusakan dalam Pasal 1 ayat (2) Draf Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset, adalah semua benda bergerak atau tidak bergerak, baik yang bewujud maupun tidak berwujudkan yang mempunyai nilai ekonomis yang diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana.
                Istilah “aset” dipergunakan dalam Draf Rancangan Undang-undang Perampasan Aset memiliki pengertian yang sama dengan istilah “benda” yang dipergunakan dalam KUHAP. KUHAP lebih menekankan kepada benda yang terkait dengan tindak pidana, termasuk benda hasil tindak pidana, sedangkan “aset” dalam Draf Rancangan Undang-Undang lebih ditujukan kepada benda (bergerak/ tidak bergerak, berwujud/ tidak berwujud) benda yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana, benda yang akan digunakan untuk melakukan tindak pidana, dan benda lain yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Rumusan dalam Draf Rancangan Undang-undang Perampasan Aset ini tidak sama dengan jenis aset yang dapat dirampas dalam Pasal 1 bagian ke 16 KUHAP yang mencakup juga aset yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Bahkan aset yang diduga akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Jika Draf Rancangan Undang-Undang ini hendak mengatur tentang Aset Tindak Pidana, sebaiknya dalam KUHAP benda atau aset yang dipergunakan sebagai alat tindak pidana dan hasil tindak pidana.[5]
                Jadi, Konsep dasar perampasan aset ini adalah bahwa harus dimungkinkan untuk merampas harta-kekayaan koruptor, meskipun para koruptor ini   a) dinyatakan bebas oleh pengadilan (karena tidak terbukti), atau b) wafat selama sidang belum selesai (sebelum putusan pengadilan berkekuatan-pasti/in kracht van gewijsde), atau c) terdakwa melarikan-diri (ke luar negeri) sebelum sidang selesai (yang terakhir ini membawa pula persoalan peradilan in absentia). Ketiga kemungkinan ini menyulitkan penggunaan pasal 10 jo. pasal-pasal 39 – 42 KUHP dan pasal 194 KUHAP. Karena terdakwa tidak dapat dijadikan pihak dalam perkara pidana tersebut, maka sebagai alternatif harta-kekayaannya yang menjadi sasaran perampasan dan harus dapat diajukan ke pengadilan. Konsep yang dipergunakan adalah in rem action (gugatan terhadap benda – sebagai lawan dari action in personam – gugatan terhadap person/manusia).[6]
                Selain melakukan upaya pemberatansan korupsi secara internal, misalnya dengan meratifikasi UNCAC yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi, pada tanggal 18 April 2006, pemerintah Indonesia juga kemudian membuat Undang-Undang tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Bidang Pidana (UU MLA), di mana salah satu prinsip dasarnya adalah asas resiprokal (timbal-balik).
                Pada UNCAC 2003, perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui jalur pidana dan jalur perdata. Proses perampasan asset kekayaan pelaku melalui jalur pidana melalui 4 (empat) tahapan, yaitu: pertama, pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi, bukti kepemilikan, lokasi penyimpanan harta yang berhubungan delik yang dilakukan. Kedua, pembekuan atau perampasan aset sesuai Bab I Pasal 2 huruf (f) UNCAC 2003 di mana dilarang sementara menstransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memidahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten. Ketiga, penyitaan aset sesuai Bab I Pasal 2 huruf (g) UNCAC 2003 diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten. Keempat, pengembalian dan penyerahan aset kepada negara korban. Selanjutnya, dalam UNCAC 2003 juga diatur bahwa perampasan harta pelaku tindak pidana korupsi dapat melalui pengembalian secara langsung melalui proses pengadilan yang dilandaskan kepada sistem “negatiation plea” atau “plea bargaining system”, dan melalui pengembalian secara tidak langsung yaitu melalui proses penyitaan berdasarkan keputusan pengadilan (Pasal 53 s/d Pasal 57 UNCAC).[7]
                Berdasarkan sistem peradilan pidana di Indonesia yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dalam rangka penyelesaian hukum terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan mekanisme sistem peradilan pidana tindak pidana korupsi khususnya untuk melakukan perampasa aset dalam rangka upaya pengembalian hasil tindak pidana korupsi dan pemulihan perekonomian negara. Mekanisme tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Terhadap mekanisme perampasan aset didasarkan pada Pasal 18 huruf (a) UU Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:
                “Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak     bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk       perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari             barang yang menggantikan barang-barang tersebut.”
                Berdasarkan pasal tersebut maka tindakan perampasan aset telah diatur dan dijadikan sebagai sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal upaya untuk mengembalikan hasil kejahatan tersebut. Selanjutnya UU Tindak Pidana Korupsi  menempatkan tindakan perampasan aset tidak hanya sebagai sanksi pidana, dalam suatu hal tindakan perampasan aset dapat dilakukan dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum adanya putusan dijatuhkan terhadapnya dengan didapatnya bukti yang cukup kuat bahwa bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan pihak penuntut umum menetapkan tindakan perampasan terhadap barang-barang yang telah disita sebelumnya (Pasal 38 angka (5) UU Tindak Pidana Korupsi).
                Dalam ketentuan hukum positif Indonesia sebagai hukum yang telah ditetapkan dan berlaku secara mengikat (ius constitutum) yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR), terdapat kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan kepemilikan aset  kekayaan  pelaku  tindak  pidana korupsi.  Pada dasarnya kebijakan hukum pidana tersebut yang diaplikasikan pada kebijakan formulatif menentukan bahwa pengaturan kepemilikan aset pelaku tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui 2 (dua) jalur yaitu secara hukum pidana melalui putusan pengadilan pidananya dan melalui hukum perdata yaitu melalui gugatan secara perdata (civil procedure)sesuai pasal 32 ayat 1 UU TIPIKOR.[8]
                Perampasan pidana terhadap aset hasil tindak pidana korupsi, merupakan sebuah sanksi pidana yang dijatuhkan berdasarkan putusan pengadilan pidana terhadap perkara tindak pidana korupsi yang telah diputuskan oleh hakim berdasarkan tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum pada sidang pengadilan pidana terhadap aset yang dikuasai oleh pihak terdakwa yang diyakini merupakan hasil tindak pidana yang terkait. Dengan melihat pada perkara tindak pidana korupsi itu sendiri, merupakan tindak pidana yang dalam penanganan perkaranya dilakukan secara khusus yang telah diberikan mekanismenya melalui sistem peradilan pidana berdasarkan Undang-undang yaitu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan pengadilan yang khusus menangani perkara korupsi. 
                Tindakan untuk merampas harta kekayaan (aset) yang diduga merupakan hasil dari suatu kejahatan atau tindak pidana merupakan langkah antisipasif dalam menyelamatkan dan atau mencegah larinya harta kekayaan yang merupakan salah satu langkah represif. Apabila telah terjadi suatu tindak pidana atau kejahatan maka dalam hal ini para aparat penegak hukum harus berpikir tidak hanya bagaimana mempidanakan pelakunya ke penjara akan tetapi harus pula memikirkan dan mempertimbangkan apakah ada harta hasil tindak pidana dari perbuatan pelaku tersebut dan apabila memang terindikasi adanya harta hasil tindak pidana maka patut dipikirkan dasar hukum dan langkah apa saja yang harus diambil untuk memulihkan kembali harta hasil tindak pidana tersebut. 
                Dalam upaya pemulihan harta hasil kejahatan atau tindak pidana korupsi, adalah dengan dilakukannya tindakan perampasan sebagai sanksi pidana tambahan pada putusan pengadilan pidana oleh hakim terhadap harta kekayaan yang dimiliki oleh terpidana tindak pidana korupsi, yang dimana harta kekayaan tersebut merupakan hasil dari tindak pidana korupsi dan atau harta kekayaan tersebut digunakan sebagai sarana atau prasarana melakukan tindak pidana korupsi. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) butir a UU Tindak Pidana Korupsi.
                Pada tindakan perampasan tersebut dapat dilakukan berdasarkan suatu putusan pidana dan/atau diperlukannya suatu peradilan pidana (yang telah memiliki kekuatan hukum yang pasti dengan ditetapkan oleh Hakim pengadilan pidana), dengan itu merupakan bagian dari sanksi pidana. Perampasan Pidana tersebut merupakan sistem yang didasari atas unsur obyektif, yang dalam hal ini kewenangan jaksa harus membuktikan bahwa aset yang dimaksud merupakan suatu hasil atau sarananya kejahatan yang telah selesai atau dalam proses kejadiannya. Pada kondisi tertentu Jaksa dapat berdasarkan nilai-nilai norma, yang memungkinkan untuk dirampas dari nilai manfaat bagi pelaku dari kejahatan, tanpa membuktikan hubungan antara kejahatan dan objek aset tersebut.     Perampasan aset pidana tunduk pada semua perlindungan prosedural konstitusional dan peraturan yang tersedia di bawah naungan hukum pidana. Penerapan tindakan perampasan harus disertakan dalam dakwaan yang diajukan oleh pihak Jaksa penuntut terhadap terdakwa yang berarti pihak penuntut umum harus mencari dasar untuk melakukan perampasan tersebut. Pada sidang pengadilan tersebut, tindakan perampasan yang diajukan dalam dakwaan didasarkan atas beban pembuktian tanpa keraguan (keyakinan yang sangat).
                Dasar tuntutan perampasan aset tersebut didasarkan pada adanya kerugian yang ditimbulkan atas tindak pidana korupsi tersebut berdasarkan atas penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik dalam bentuk audit investigasi keuangan negara yang dirugikan akibat terjadi tindak pidana korupsi oleh pelaku, selama ini jaksa banyak dibantu ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, atau ahli lain yang ditunjuk. Namun unsur kerugian negara pada perkembangannya saat ini tidak selalu menjadi dominan dalam dijadikan dasar untuk menjerat pelaku korupsi sebagai acuan dasar dakwaan tindak pidana kourpsi, seorang pejabat yang menerima suap dari seseorang tidak dapat dikatakan merugikan keuangan negara. Bahkan dalam UNCAC yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, unsur kerugian negara tidak dimasukkan lagi sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi. Walaupun demikian, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan perubahannya masih mencantumkan kerugian negara sebagai salah satu unsur korupsi.
                Selain dari mekanisme perampasan aset, dalam konteks upaya pengembalian aset dilakukan melalui mekanisme gugatan perdata dimungkinkan pengaturannya di dalam UU Tindak Pidana Korupsi didasarkan alasan-alasan bahwa penyelesaian perkara korupsi secara pidana tidak selalu berhasil mengembalikan kerugian keuangan negara, disamping tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa yang memerlukan penanganan dengan cara yang luar biasa. Tujuan gugatan perdata secara filosofis untuk memaksimalkan pengembalian keuangan negara dalam rangka memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dasar ligitimasi gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi terletak pada timbulnya kerugian, dalam hal ini keuangan negara yang harus dikembalikan.  
                Pengembalian keuangan negara yang dikorupsi tersebut dilakukan dengan cara menggugat perdata, yang secara alternatif diarahkan dari dua sumber yaitu:
                1. Dari hasil korupsi yang telah menjadi bagian dari kekayaan terdakwa atau tersangka;
                2. Diganti dengan kekayaan terpidana, terdakwa atau tersangka meskipun tanpa ada hasil korupsi yang dimilikinya. Korupsi yang dilakukan dalam hal ini menguntungkan orang lain atau suatu korporasi dan terpidana, terdakwa atau tersangka tidak mengambil keuntungan dari keuangan negara yang dikorupsi untuk dirinya sendiri.
                Gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi dengan demikian mengandung karakteristik yang spesifik, yaitu dilakukan setelah upaya pidana tidak dimungkinkan lagi untuk diproses karena dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, 33, 34, 38C UU Tindak Pidana Korupsi, meskipun telah terjadi kerugian keuangan negara. Tanpa adanya proses pidana terlebih dahulu, tertutup kemungkinan dilakukannya gugatan perdata untuk perkara tindak pidana  korupsi. Kondisi hukum tertentu tersebut meliputi:
1. Setelah dilakukan penyidikan ditemukan unsur tidak cukup bukti adanya tindak pidana korupsi;
2. Tersangka meninggal dunia pada saat penyidik;
3. Terdakwa meninggal dunia pada saat pemeriksaan sidang pengadilan;
4. Terdakwa diputus bebas;
5. Diduga terdapat hasil korupsi yang belum dirampas untuk negara walaupun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap.
                Gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi diajukan antara lain karena penyidik gagal menemukan unsur-unsur cukup bukti dalam tindak pidana korupsi, sehingga tidak dimungkinkan proses pidana ditindak lanjuti. Pengertian tidak cukup bukti dalam Pasal 32 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi jika penyidik menganggap tidak terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana korupsi dengan bukti-bukti yang dimilikinya. 
                Ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi selain memberikan dasar pengajuan gugatan perdata, juga berfungsi sebagai pijakan bagi para penyidik yang dituntut untuk bersikap profesional dan proporsional dalam penanganan tindakan korupsi dalam jalur pidana. Penyidik dalam pengertian ini tidak harus memaksakan suatu tindakan yang terindikasi korupsi selalu diajukan ke depan persidangan pidana apabila ternyata salah satu unsur tindak pidana korupsi tersebut tidak cukup bukti. Penyidik tidak perlu melakukan berbagai cara untuk memaksakan pembuktian unsur-unsur tindak pidana tersebut dengan cara-cara yang melawan hukum. 
                Gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi juga dapat diajukan dalam keadaan tersangka meninggal dunia pada saat proses penyidikan, sebagaimana ketentuan Pasal 33 UU Tindak Pidana Korupsi, sehingga tidak mungkin diproses secara pidana. Mengenai meninggal dunia saat proses pemeriksaan sidang pengadilan dalam keadaan sebagai terdakwa, diatur dalam Pasal 34 UU Tindak Pidana Korupsi. Tanpa adanya tersangka atau terdakwa meninggal dunia tidak mungkin dilakukan gugatan perdata. Hal ini merupakan ciri khas lainnya dari gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi, sehingga gugatan perdata dapat diajukan kepada ahli warisnya. Pengaturan gugatan perdata menjadi penting karena jika melalui jalur pidana, maka kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia, sebagaimana ketentuan Pasal 77 KUHP, yang menyatakan bahwa               “hak menuntut hilang karena meninggalnya si tersangka”. 
                Keberadaan Pasal 33 dan 34 UU  Tindak Pidana Korupsi tersebut menjadi penting dan tidak hanya sebagai dasar untuk dilakukannya gugatan perdata, tetapi juga merupakan solusi pengembalian keuangan negara, ketika proses pidana tidak mungkin dilakukan.
                Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas menunjukan bahwa karakteristik spesifik  gugatan perdata diajukan setelah tindak pidana tidak memungkinkan lagi dilakukan, karena dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu sebagaimana dimaksud Pasal 32, 33, 34, 38C UU Tindak Pidana Korupsi. Tanpa adanya pengaturan dalam UU Tindak Pidana Korupsi tidak memungkinkan untuk dilakukan gugatan perdata. Mengikuti logika UU Tindak Pidana Korupsi dapat didalilkan, apabila  tidak diatur oleh Undang-Undang berarti tidak dibenarkan untuk dilakukan gugatan perdata, khususnya dalam konteks terdapat hal-hal yang menyebabkan “hapusnya kewenangan menuntut pidana” dan “penghentian penyidikan atau penuntutan”, sebagaimana diatur dalam Pasal 77, Pasal 109 ayat (2) dan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP.
                KUHP atau KUHAP sebenarnya tidak melarang gugatan perdata atas terjadinya hal- hal yang menyebabkan “hapusnya kewenangan menuntut pidana” atau terjadinya “penghentian penyidikan atau penuntutan”, namun tidak mengatur ketentuan mengenai gugatan perdata. Hal ini sejalan dengan adanya ketentuan mengenai “Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian” sebagaimana diatur oleh Pasal 98-101 KUHAP.
                Akan tetapi yang perlu diperhatikan dalam gugatan perdata pada perkara tindak pidana korupsi ini haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang terkait didalamnya, yaitu: Pertama, prinsip kondisional. Prinsip ini maksudnya bahwa gugatan perdata tidak selalu dapat diajukan dalam perkara tindak pidana korupsi, terbatas pada kondisi-kondisi tertentu.  Kedua, prinsip gugatan perdata untuk jenis tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara. Prinsip ini menunjukkan bahwa gugatan perdata tidak mencakup keseluruhan jenis tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Gugatan perdata hanya terbatas pada tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Dan ketiga, prinsip gugatan perdata sebagai komplemen prosedur perampasan untuk negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 38C UU Tindak Pidana Korupsi memungkinkan dilakukan gugatan perdata khusus untuk hasil korupsi yang belum dilakukan perampasan untuk negara. [9]



C.      PENUTUP   
UNCAC pada tahun 2003 diatas, disusul dengan  diluncurkannya StAR initiative, pada bulan Juni 2007, yang memuat challenges, opportunities dan action plan dalam upaya pengembalian aset hasil korupsi.  StAR (Stolen Asset Recovery) merupakan program bersama yang diluncurkan oleh Bank Dunia (World Bank) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa khususnya UNODC (United Nations Office on Drugs and Crimes) untuk meningkatkan kerjasama  internasional dalam mengimplementasikan upaya pengembalian aset hasil korupsi, sebagai salah satu terobosan dalam hukum internasional yang menetapkan landasan mengenai pengembalian asset hasil kejahatan (terutama korupsi) di negara-negara sedang berkembang. StAR merupakan bagian integral dari Governance and Anti Corruption Strategy World Bank Group yang menyatakan perlunya bantuan bagi negara- negara berkembang dalam pengembalian asset. Progam yang diluncurkan oleh PBB ini sebenarnya terinspirasi dari keberhasilan Peru, Nigeria dan Filipina dalam mengembalikan aset-aset yang diinvestasikan di Negara lain oleh mantan kepala negaranya. Walaupun keberhasilan tersebut tidak mudah dan membutuhkan waktu yang relatif  lama. Pengembalian asset tersebut dilakukan dengan melalui proses litigasi dan permintaan antar pemerintah melalui MLA (Mutual Legal Assistance).
               
Adapun tujuan  dari StAR tersebut  adalah dalam rangkaian :
1)      memberikan faktor deterence dengan menunjukkan bahwa tidak adanya safe haven bagi koruptor serta meningkatkan kewaspadaan komunitas internasional untuk memberikan komitmen penuh dalam pemberantasan korupsi;
2)      meningkatkan kapasitas dalam mengembalikan aset-aset yang dicuri dan mencegah tindak pidana korupsi di masa depan. Aset- aset yang berhasil dikembalikan, dipergunakan untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan;
3)      meningkatkan kerjasama negara-negara berkembang dengan membantu mengurangi hambatan-hambatan yang dialami negara-negara tersebut dalam upayanya mengembalikan asset yang dicuri. Mendorong upaya- upaya bersama untuk mengembalikan asset-aset negara berkembang yang seringkali disimpan di negara maju[10]



                [1] http://acch.kpk.go.id/gap-analysis-indonesia-terhadap-uncac, diakses pada 21 mei 2014, pukul 13:00
                [2] Komisi Pembarantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006.
                [3] Jamin Ginting. Perjanjian Internasional Dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi Di Indonesia, Jurnal dinamika Hukum . vol 11 no. 3 september 2011. Hlm. 452
                [4] http://requisitoire-magazine.com/2012/07/14/asset-recovery-dalam-perspektif-kejaksaan-r-i/ diunduh pada 25 mei 2014, pukul 20:30
                [5] Ferry Fernanda Eka Setyawan, Perampasan Aset (forfeiture legal gein) Hasil Tindak Pidana Lingkungan Hidup di Indonesia, (http://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/06/Jurnal.pdf) diunduh pada 25 mei 2014, pukul 20:30
                [7] http://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_tentang_perampasan_aset.pdf hlm. 29. Diunduh pada 25 mei 2014, pukul 20:59
                [8] Wahyudi Hafiludin. Mekanisme Perampasan Aset Berdasarkan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
                [9] Wahyudi Hafiludin Sadeli,. Mekanisme Perampasan Aset Berdasarkan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2010
                [10] I Gusti Ketut Ariawan , Stolen Asset Recovery  Initiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara  : ( Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ). Hlm 8.

Comments

  1. Casino Games No Deposit - JTM Hub
    No 양산 출장마사지 Deposit Bonuses 속초 출장안마 2021 The games in question for casinos 울산광역 출장샵 with no deposit bonus or no deposit bonus are the slots machines. 파주 출장샵 In fact, if 성남 출장샵 you have to

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

PEMERIKSAAN LANJUTAN (NASPORING) OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM SELAKU DOMINUS LITIS PADA TAHAP PENYIDIKAN GUNA MEWUJUDKAN INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM

Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang selalu terjadi dalam kehidupan   masyarakat di belahan dunia manapun. Jika ditinjau dari ilmu kriminologi sebagai cabang ilmu yang mengkaji tentang kejahatan, maka dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) dipidana. Jika ditinjau lebih dalam sampai intinya, suatu kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. [1] Perkembangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat sangat berkaitan erat dengan penegakan hukum yang terutama menjadi tugas para penegak hukum digaris depan. Dalam kaitan ini Hyman Gross menyatakan bahwa penanggulangan kejahatan mendapat tempat penting diantara pokok perhatian pemerintah disetiap negara dan peradilan pidana saat in, yang oleh setiap orang hampir dianggap sebagai bagian dari usaha mayarakat yang besar yang diadakan untuk mengurangi kejahatan. Penegakan hukum, menurut Gross memainkan pera

Analisis Putusan Nomor 1616 k/Pid.Sus/2013 atas nama terdakwa Angelina Sondakh

I.                    Kasus Posisi I.                    Kasus Posisi Angelina Sondakh (AS) selaku anggota DPR, mendapatkan amanah untuk mengikuti rapat pembahasan anggaran untuk beberapa proyek pemerintah pada saat itu.   Sebelumnya ia bertemu dengan Nazaruddin selaku owner dari Permai Grup untuk membicarakan kerjasama perihal penggiringan anggaran ke perusahaan Nazaruddin selaku pemenang tender untuk proyek pembangunan sarana pendidikan dan olahraga pemerintah. Atas kerjasama tersebut AS, meminta imbalan sejumlah 7% (yang akhirnya dikurangi menjadi 5%) dari total dana anggaran yang diperoleh Permai Grup dan dibayarkan dalam dua tahap pembayaran yakni saat pembahasan anggaran di DPR dan saat DIPA telah disetujui.    Untuk memperlancar kerjasama tersebut, AS aktif menghubungi beberapa pihak terkait khususnya dari kemendiknas guna memperlancar usaha penggiringan dana ke perusahaan Nazaruddin. Oleh sebab itu ia didakwa oleh penuntut umum dengan pasal tindak pidana korupsi

Pentingnya Penerapan Social Business Model Canvas dalam Merancang Inovasi Sosial di Bidang Hukum

  Hingga saat ini, akses masyarakat terhadap keadilan masih terbilang sulit. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengukuran pemerintah terkait akses keadilan di masyarakat (indeks) tahun 2019 lalu. Meskipun Indonesia memiliki skor cukup baik yakni 69,6 [1] dari maksimum 100, ternyata masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Salah satunya terkait akses akan layanan hukum seperti bantuan hukum dari pengacara.   Pandemi COVID-19 semakin mempersulit kondisi ini, mengingat ruang gerak masyarakat yang terbatas, akses keadilan pun semakin sulit dijangkau.   Berkaitan dengan kondisi tersebut, Kehadiran inovasi teknologi yang berbentuk situs cukup penting dan merupakan sebuah kebutuhan.   khususnya ketika banyak masyarakat sulit mendapat bantuan hukum lantaran persebaran Lembaga penyedia layanan bantuan hukum di Indonesia tidak merata.   Berbagai inovasi atau situs-situs di bidang hukum sudah digagas oleh banyak pihak, tidak hanya pemerintah dan swasta melainkan juga dilakukan oleh org