I.
Perbedaan Alat Bukti dan Barang Bukti
Dalam kosa kata bahasa Inggris ada dua kata yang
sama-sama diterjemahkan sebagai bukti dalam bahasa Indonesia, namun sebenarnya
keduanya memiliki perbedaan yang cukup prinsipil. Pertama, adalah kata
“evidence” dan yang kedua adalah kata “proof”. Kata evidence memiliki arti
yaitu informasi yang memberikan dasar dasar mendukung suatu keyakinan bahwa
beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara itu, proof adalah
suatu kata dengan berbagai arti. Dalam wacana hukum, kata proof mengacu pada
hasil suatu proses evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap evidence atau dapat
juga digunakan lebih luas dalam mengacu pada proses itu sendiri.[1]
Ian Denis mengemukakan[2] :
evidence is information. It is information that provides grounds for
belief that a particular fact or set of fact is true. Proof is a term with a variable meaning. In
legal discourse it may refer to the outcome of the process of evaluating
evidence and drawing inferences from it, or it may be used more widely to refer
to the process it self and or to the evidence which is being evaluated.
(terjemahan bebas : "Bukti adalah informasi yang memberikan alasan
untuk mempercayai bahwa suatu fakta atau kumpulan fakta yang benar. Bukti
merupakan istilah yang bermakna variable, yang dalam wacana hukum mungkin
mengacu pada hasil dari proses evaluasi dari suatu bukti dan dan kemudian
ditarik suatu kesimpulan")
Berdasarkan penjelasan Ian Denis diatas dapat
disimpulkan bahwa kata evidence lebih dekat kepada pengertian alat bukti
menurut hukkum positif, sedangkan kata proof dapat diartikan sebagai pembuktian
yang mengarah pada suatu proses. Hal ini sejalan dengan apa yang dikenal dalam
hukum acara pidana Indonesia.
Secara umum bukti dalam KUHAP dikelompokan menjadi
dua, yakni : alat bukti dan barang bukti (real evidence/physical
evidence). Masih terkait alat bukti, A.
Karim Nasution berpendapat bahwa alat bukti madalah alat alat yang mana yang
mendukung sejumlah fakta untuk disampaikan kepada hakim untuk pengetahuanya,
yang setelah mengadakan pengujian secara cermat tentang kebenaran materilnya,
akan mempergunakanya untuk menimbulkan keyakinan sang hakim tentang benar atau
tidaknya suatu kesalahan yang dilakukan si terdakwa dan kemudian menghukumnya.[3]
Mengenai macam macam alat bukti yang digunakan dalam
hal membuktikan kesalahan terdakwa di persidangan dapat mengacu pada pasal 184
ayat (1) KUHAP, yang menyebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah :
a. Keterangan saksi :
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (pasal 1 angka 26
KUHAP).
Pengertian saksi pada KUHAP tersebut pada tahun 2010 sudah
dilakukan perluasan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 terkait Pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan putusan MK tersebut maka saksi dimaknasi sebagai “orang
yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan
peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri”.[4]
Didalam hukum acara pidana, agar keterangan saksi tersebut
bernilai menjadi alat bukti maka keterangan saksi tersebut harus disampaikan didalam
sidang pengadilan.[5]
b. Keterangan ahli :
Pasal 1 angka
28 KUHAP menjelaskan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keteranagn ahli tersebut
akan bernilai alat bukti jika ia disampaikan didalam persidangan sesuai
ketentuan pasal 186 KUHAP.
c. Surat :
Dalam
hukum acara pidana khususnya pasal 187 KUHAP dikenal beberapa jenis surat,
yakni[6]
:
-
Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangan itu. Misalnya Akta Notaries, Akta jual beli
oleh PPAT dan Berita acara lelang.
-
Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat
yang
dibuat pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnyadan
yang diperuntukkan bagi pembuktian. Misalnya ; BAP, paspor, kartu
tanda penduduk dll.
-
Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahlianmengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi darinya, seperti visum et revertum.
-
Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain, contoh ; surat-surat dibawah tangan.
Selain
jenis surat yang disebut pada pasal 187 KUHAP, dikenal pula 3 (tiga) macam
surat sebagai berikut :
1)
Akta autentik, yakni suatu akta yang dibuat dalam suatu bentuk
tertentu dan dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk
membuatnya di wilayah yang bersangkutan.
2)
Akta dibawah tangan, yakni akte yang tidak dibuat di hadapan atau
oleh pejabatumum tetapi dibuat sengaja untuk dijadikan bukti. dan
3)
Surat biasa, yakni surat yang dibuat bukan untuk dijadikan alat
bukti.
Terkait
bagaimana nilai pembuktian dari surat tersebut di persidangan, maka menurut
teorinya surat resmi/surat autentik yang diajukan dan dibacakan di sidang
pengadilan merupakan alat bukti surat sedangkan surat biasa mempunyai nilai
pembuktian alat bukti petunjuk jika isi surat tersebut bersesuaian dengan alat
bukti sah lain.[7]
Kemudian
jika dilihat dari kekuatan pembuktianya, maka Alat bukti surat resmi/autentik
dalam perkara pidana tentu berbeda dengan perdata. Memang isi surat resmi bila
diperhatikan dari segi materilnya berkekuatan sempurna, namun pada
prakteknya terdakwa dapat mengajukan bukti sangkalan terhadap akta autentik
tersebut. Kekuatan pembuktian dari alat bukti surat adalah kekuatan pembuktian
bebas seperti halnya kekuatan pembuktian alat bukti lainnya, disini hakim bebas
menentukan apakah alat alat bukti surat tersebut berpengaruh dalam membentuk
keyakinan ataupun tidak. Walaupun begitu bukan berarti hakim bisa menyangkal tanpa alasan suatu alat bukti surat yang sudah
terbukti kebenarannya dan bersesuaian dengan alat-alat bukti lainnya. Dalam
bukti surat yang diatur dalam KUHAP pasal 187 sub c disebutkan : Surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya
merupakan surat bukti. Ketentuan tersebut di atas menimbulkan kekaburan dengan keterangan ahli
sebagaimana di atur dalam pasal 186,179,120 KUHAP.[8]
4) Petunjuk :
Dalam
Pasal 188 ayat (1) KUHAP, alat bukti petunjuk merupakan suatu perbuatan,
kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan
yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. [9]
Alat
bukti petunjuk merupakan suatu alat bukti yang dalam penerapannya sering
mengalami kesulitan untuk ditemukam. Kekurang hati-hatian Hakim dalam memutus
perkara yang menggunakan alat bukti petunjuk sebagai suatu alat bukti dapat menyebabkab
putusan yang dihasilkan bersifat sewenang-wenang karena didominasi dengan
penilaian yang subjektif dari sang hakim.[10]
5) Keterangan terdakwa :
Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai
sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai
landasan berpijak, antara lain[11]:
1)
Keterangan itu dinyatakan di sidang
pengadilan
Supaya keterangan terdakwa dapat
dinilai sebagai alat bukti yang sah, keterangan itu harus dinyatakan di sidang
pengadilan, baik pernyataan berupa penjelasan “yang diutarakan sendiri” oleh
terdakwa, maupun pernyataan yang berupa “penjelasan” atau “jawaban” terdakwa
atas pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh ketua sidang, hakim anggota,
penuntut umum, atau penasihat hukum.
2)
Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri
atau alami sendiri. Supaya keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat
bukti, keterangan itu merupakan pernyataan atau penjelasan:
a)
Tentang perbuatan yang dilakukan terdakwa,
Pernyataan
perbuatan dapat dinilai sebagai alat bukti ialah penjelasan tentang perbuatan
yang dilakukan terdakwa sendiri.
b)
Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa,
Arti yang terdakwa
ketahui sendiri adalah pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana yang
didakwakan kepadanya. Bukan “pendapat atau rekaan” terhadap peristiwa pidana
tersebut, tapi semata-mata pengetahuan langsung yang timbul dari peristiwa
tindak pidana itu.
c)
Apa yang dialami sendiri oleh terdakwa,
Pernyataan terdakwa
tentang apa yang dialami baru dianggap mempunyai nilai sebagai alat bukti jika
pernyataan pengalaman itu mengenai “pengalamannya sendiri”. Tapi yang dialami
sendiri ini pun bukan sembarang pengalaman, melainkan harus berupa pengalaman
yang “langsung berhubungan” dengan peristiwa pidana yang bersangkutan.
d)
Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya
sendiri,
Menurut asas ini,
apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan dalam kedudukannya sebagai
terdakwa hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri.
Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing
keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat pada
dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap
terdakwa B, demikian sebaliknya.
Selanjutnya terkait bukti di Indonesia juga dikenal
apa itu barang bukti. Jika di cermati secara mendalam, terkait barang bukti sebenarnya
tidak disebutkan secara eksplisit didalam KUHAP, namun untuk memahaminya kita
dapat mengacu pada pasal 39 (1) KUHAP tentang
barang barang yang dapat dikenakan tindakan penyitaan, yakni :
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang
seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil
dari tindak pidana;
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk
melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkanya;
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi
penyidikan tindak pidana;
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan untuk
melakukan tindak pidana; dan
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan
tindak pidana yang dilakukan.
Mengenai kedudukan barang bukti itu sendiri dalam
hukum acara pidana Indonesia dikuasai oleh negara. Namun demikian, dapat saja
barang bukti tersebut berhubungan dengan mata pencaharian seseorang. Sehingga
barang bukti yang telah disita negara dapat dipinjamkan kepada orang yang
bersangkutan. Berdasarkan KUHAP dalam putusan pengadilan status mengenai barang
atau benda sitaan yang dijadikan sebagai pendukung alat bukti dipersidangan
harus dinyatakan secara jelas dan tegas mengenai statusnya kelak. Terkait hal
tersebut, dimungkinkan ada tiga kondisi, pertama, benda atau barang sitaan
tersebut dimusnahkan (seperti shabu dalam tindak pidana narkotika). Kedua,
benda atau barang yang telah disita dikembalikan kepada negara (misalnya uang
negara yang telah dikorupsi oleh koruptor). Ketiga, benda atau barang yang
telah disita dikembalikan kepada pemiliknya (misalnya dalam hal pencurian
kerbau, kerbau dikembalikan kepada sikorban). [12]
Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh
undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan
doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Misalnya, Prof. Andi Hamzah mengatakan bahwa barang bukti dalam
perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan
(objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk
melakukan delik), hal tersebut termasuk juga barang yang merupakan hasil dari
suatu delik. Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti tersebut adalah[13] :
a. Merupakan objek materiil;
b. Berbicara untuk diri sendiri;
c. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana
pembuktian lainnya; dan
d. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan
terdakwa.
Kemudian, ahli lain Martiman
Prodjohamidjojo juga mengemukakan pendapat bahwa barang bukti atau corpus
delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim
wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan
kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim
sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. [14].
Berdasarkan pendapat dari beberapa Sarjana Hukum di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah[15] :
a. Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana;
b. Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak
pidana;
c. Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana;
d. Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana;
e. Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan
tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara; dan
f. Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran
suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa
tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti,
seperti tindak pidana penghinaan secara lisan.
Daftar Pustaka
Fachmi.
Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal
Demi Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2011.
Hiariej, EddyO.S, Teori dan Hukum Pembuktian. Yogyakarta :
Erlangga, 2012.
http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/verstek/article/viewFile/689/643.
Diakses pada 7 januari 2018 pkl. 16.50 wib.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ca459db4ecc2/pemeriksaan-saksi-di-tingkat-penyidikan-dan-di-pengadilan.
Diakses pada 7 januari 2018. Pkl. 16.26 wib.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt59018c594fc14/penilaian-keterangan-terdakwa-yang-dinyatakan-di-luar-persidangan.
Diakses pada 7 januari 2018. Pkl 17.00 wib.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti-.
Diakses pada 7 januari 2017. Pkl. 04.30 wib.
https://www.scribd.com/document/145819981/Kekuatan-Alat-Bukti-Surat-Menurut-Hukum-Acara-Pidana.
Diakses pada 7 januari 2018. Pkl 16.40. wib.
II.
Prinsip Prinsip Pembuktian
Sebelum masuk kedalam pembahasan mengenai prinsip
prinsip pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia. Maka perlu kiranya
untuk memahami terlebih dahulu mengenai system peradilan apa saja yang di kenal
di dunia (termasuk Indonesia) dan bagaimana system tersebut kemudian
mempengaruhi prinsip prinsip pembuktian itu sendiri.
1) Sistem Adversarial di Negara Common Law (Amerika
Serikat)
Terdapat
berbagai sistem hukum yang ada di Dunia, adapun dua sistem hukum yang sangat
relevan dengan hukum acara pidana adalah sistem hukum Eropa Kontinental (Eropa
daratan atau civil law) dan sistem
hukum Anglo Saxon (Eropa kepulauan atau common
law). Dari rumpun civil law lahir sempalanya yaitu sistem hukum Sosialis
yang dianut oleh negara Uni Soviet dan kemudian menyebar ke luar Eropa saat
terjadinya peristiwa penjajahan di beberapa wilayah didunia seperti Perancis
yang menerapkan hukum tersebut didaerah jajahanya seperti Vietnam, Kamboja,
Laos dan lainya. Kemudian Belanda yang menerapkannya di Suriname, Stilen
Belanda dan juga di Hindia Belanda (Indonesia).[16]
Dari rumpun Common Law System lahir
sempalanya, yaitu sistem hukum Anglo-Amerika yang berkembang di Amerika Serikat
(saat itu masih koloni Inggris) kemudian berkembang ke Amerika Latin. Untuk Common Law yang berkembang dikepulauan
Inggris dianut juga di Irlandia dan kemudian menyebar atau diterapkan di
wilayah jajahan Inggris.[17]
Hukum
acara pidana sendiri hadir untuk menjalankan ketentuan yang telah ada dalam
hukum pidana materil (KUHP). Tujuanya tidak lain adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil yang merupakan
kebenaran yang selengkap lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat. Hal tersebut merupakan
sarana untuk mengetahui siapa pelaku yang dapat didakwa karena telah melakukan
pelanggaran hukum untuk kemudian diperiksa dan diputus oleh pengadilan.[18]
Konsep tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Van Bemmelen tentang tiga fungsi hukum acara pidana yang salah satu
fungsi terpentingnya adalah “mencari kebenaran” yang diperoleh melalui
penghadiran bukti dan kemudian diakhiri dengan putusan hakim.[19]
Proses demikian dijalankan melalui sebuah prosedur yang dikenal dengan sistem
peradilan pidana atau criminal justice
system.
Istilah
Criminal Justice System atau Sistem
Peradilan Pidana (SPP) merupakan suatu istilah yang diartikan sebagai mekanisme
kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan
sistem. Remington dan Ohlin mengemukakan sebagai berikut : Criminal Justice System dapat diartikan
sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan
pidana dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi
antara peraturan perundang undangan, praktik administrasi dan sikap atau
tingkah laku sosial.[20]
Mardjono Reksodiputro memberikan pengertian yang lebih jelas dari sistem
peradilan pidana tersebut sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri
dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.[21]
Pengendalian kejahatan tersebut bertujuan untuk mencegah masyarakat untuk
menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus yang terjadi sesuai keadilan bagi
masyarakat dan sipelaku, serta mengusahakan agar sipelaku tidak mengulangi
tindakanya lagi.[22]
Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu [23]:
a. Pendekatan
Normatif : memandang keempat aparat penegak hukum yakni keplosian, kejaksaan,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan sebagai institusi pelaksana peraturan
perundang undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari penegakan hukum,
b. Pendekatan administratif
: memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen
yang memiliki mekanisme kerja, baik secara horizontal ataupun vertikal dengan
struktur organisasi,
c. Pendekatan
sosial : memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem sosial, sehingga masyarakatpun memiliki andil dalam hal
berhasil atau tidaknya keempat aparatur tersebut menjalankan tugasnya untuk
penegakan hukum.
Model
Pendekatan normatif diatas lebih jauh dibedakan oleh Packer kedalam dua model, yaitu Crime
Control Model dan Due Process Model.
Crime control model merupakan
pengambilan putusan yang mengutamakan excessive
leniciency, sedangkan due process
model merupakan pengambilan keputusan yang mengutamakan ketepatan dan persamaan.[24]
Mengacu pada pada pendapat Packer
tersebut, menurut ahli hukum Muladi terdapat beberapa kelemahan yang ada didalamnya,
seperti [25]
:
- Crime
Control Model
adalah tidak cocok dikarenakan model ini berpandangan bahwa tindakan yang
bersifat represif adalah hal terpenting dalam proses peradilan pidana.
Nilai nilai yang terkandung dalam crime
control model ini adalah [26]:
1. Tindakan
represif terhadap suatu tindakan criminal merupakan fungsi terpenting dari
suatu proses peradilan;
2. Perhatian
utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu penegakan hukum untuk
menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahanya dan melindungi hak haknya dalam
proses peradilan;
3. Proses
penegakan hukum harus dilaksanakan secara cepat dan tuntas;
4. Asas
praduga bersalah atau presumption of
guilt akan menyebabkan sistem bekerja lebih efisien;
5. Proses
penegakan hukum harus menitik beratkan pada kualitas temuan temuan fakta
administratif.
- Due
Proess Model
tidak sepenuhnya menguntungkan lantaran karena sifatnya yang anti authoritarian values. Nilai yang
terkandung dalam prinsip ini adalah [27]:
1. Kemungkinan
adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusiawi sehingga dimungkinkan sitertuduh
untuk menyampaikan pembelaan atas dirinya;
2. Model ini
menekankan pada pencegahan dan penghapusan mekanisme administrasi peradilan;
3. Model ini
beranggapan menempatkan individu secara utuh dan utama dalam proses peradilan
dan konsep pembatasan kewenangan formal agar tidak terjadi pelanggaran terhadap
Hak Asasi Manusia;
4. Model ini
bertitik tolak dari nilai yang sifatnya anti terhadap kekuasaan sehingga
doktrin legal guilt sangat dipegang
teguh.
Akhirnya dari dua model diatas dapat
disimpulkan bahwa dalam Due Process Model
peradilan memiliki peran yang lebih aktif dibanding dengan yang ada pada Crime Control Model, karena dalam Due Process Model tujuanya sejalan
dengan amanat konstitusi yang telah menjamin akan hak asasi manusia agar tidak
tertindas, terutama oleh pihak pemerintah. Hal demikian dilatarbelakangi pula oleh
suatu prinsip dimana : semua orang dipandang sama atau sederajat. Namun dengan
kondisi yang terlalu mengutamakan perlindungan terhadap individu, sistem Due Process Model ini kemudian menjadi
tidak efektif dalam hal penanganan perkara pidana dibanding dengan Crime Control Model. Bahkan dalam Due Process Model memungkinkan saja
bahwa yang bersalah sekalipun dapat bebas dari sistem pemidanaan. [28]
Sejarah
perkembangan penanggulangan kejahatan yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat
menunjukan bahwa instansi pertama dan terdepan dalam menghadapi kejahatan
adalah kepolisian.[29]
Dinegara demokrasi tampak bahwa aparat kepolisian selalu dihadapkan pada dua
konflik kepentingan, yakni kepentingan memelihara ketertiban disatu sisi dan
kepentingan mempertahankan asas legalitas disisi lain. Hal yang sama juga di
alami di Amerika Serikat, bahkan lebih kompleks sifatnya sebanding dengan yang
terjadi di negara lain.[30]
Sistem
peradilan pidana sendiri (SPP) awal mulanya diperkenalkan oleh pakar hukum
pidana dan para ahli dalam criminal
justice science di Amerika Serikat. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh
ketidak puasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi
penegak hukum saat itu dan berdampak pula pada meningkatnya angka kriminalitas
di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Dengan adanya sistem peradilan pidana,
semua orang akhirnya setuju bahwa setiap yang bersalah haruslah dihukum,
sedangkan yang tidak bersalah tentu harus dibebaskan.[31]
Pada masa itu, pendekatan yang digunakan dalam penegakan hukum adalah Hukum dan
Ketertiban atau law and order approach
atau dikenal juga dengan istilah law
enforcement.[32]
Dengan istilah tersebut terdapat gambaran bahwa dalam penanggulangan kejahatan
yang terjadi dikedepankanlah pihak kepolisian sebagai pendukung utamanya proses
tersebut.
Robert H
Jackson,
selaku hakim agung pada Mahkamah Agung Amerika Serikat telah melakukan survey
penegakan hukum melalui American Bar
Association (ABA) mengenai penegakan hukum, ia juga memperingatkan bahwa
penegakan hukum yang efektif hanya merupakan suatu tujuan peradilan pidana dan
perlindungan atas hak asasi individu adalah tujuan terpentingnya. [33]
Dalam sejarahnya ada dua jenis cara bagaimana untuk menemukan kebenaran dalam
proses pidana, yaitu jenis non adversarial (inquisitorial) dan jenis adversarial (accusatorial). Jenis yang
pertama dianut oleh Negara dengan sistem hukum civil law atau Eropa Kontinental[34]dan
untuk negara yang menganut aliran common
law seperti Amerika Serikat, sistem peradilan pidananya adalah jenis adversarial atau accusatorial.
Dalam teori
murni, sistem akusatorial merupakan sistem peradilan pidana yang lahir
berdasarkan keyakinan bahwa hak setiap orang harus dihormati dan tidak boleh
diganggu gugat. Untuk menghukum seseorang yang telah bersalah, pemerintah harus
menanggung beban untuk mencari dan mengumpulkan bukti secara independen.
Sebagaimana pendapat salah seorang ahli yang menjelaskan bahwa, terdakwa pada
tahap penuntutan atau persidangan haruslah diperlakukan seolah olah sebagai
orang yang tidak bersalah dan negara wajib menjamin bahwa ia akan mendapat
bantuan hukum selama proses pemeriksaan pidana terhadap dirinya berlangsung.[35]
Sistem
akusatorial sudah mengakar di kerajaan Inggris selama dua abad ketika Magna
Charta titandatangani oleh King Jhon tahun 1215. Kemudian menyebar ke negara
negara yang mnggunakan bahasa Inggris. Dalam sistem ini, tindak pidana dianggap
sengketa antara negara (jaksa) dengan tersangka. Maka baik jaksa dan polisi
maupun tersangka diberi kesempatan untuk mengumpulkan bukti dan saksinya masing
masing, Keduanya kemudian bertanding didepan hakim diruang persidangan.[36] Menurut
sebuah definisi, sistem ini kerap dibandingkan dengan suatu permainan atau
pertandingan dimana kedua belah pihak berupaya untuk unggul dengan seorang
wasit yang netral untuk menentukan[37] :
a. Apakah kedua
belah pihak bermain menurut aturan main, dan
b. Menentukan
pihak mana yang unggul.
Ada
kalanya hakim menentukan kedua duannya, hakim memutuskan yang pertama sedangkan
juri berpendapat kepada yang kedua. Adversary
model dalam sistem peradilan pidana di Amerika Serikat ini mengandung
beberapa prinsip, yakni[38] :
- Prosedur
peradilan pidana harus merupakan suatu sengketa (dispute) antara kedua belah pihak dalam kedudukan yang sama
dimuka pengadilan;
- Tujuan
utama prosedur diatas adalah menyelesaikan perkara kejahatan;
- Penggunaan
cara mengajukan sanggahan atau
pleadings sebagai suatu jaminanya;
- Adanya
fungsi yang jelas kedua belah pihak terkait fungsi masing masing pihak,
dimana penuntut umum menyampaikan fakta dan tertuduh menentukan fakta mana
saja yang menguntungkan untuk dirinya.
Dalam
penyelesaian proses perkara pidana dalam sistem ini dimulai dengan adanya
investigasi dari polisi yang tidak netral, diarahkan pada pengumpulan bukti
yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa.[39]Dengan
adanya fungsi dan peranan diatas maka salah satu pihak dalam proses
penyelesaian perkara pidana tidak dapat menggunakan pihak lain sebagai sumber
bahan pembuktianya dipersidangan. Hal ini berdampak pada system pembuktian
yang dianut oleh Negara yang bersangkutan. Dimana dengan adversary model maka akan terjadi
pengurangan terhadap kemungkinan akan dituntutnya seseorang yang nyata nyata
tidak bersalah. Sekalipun dengan resiko kemungkinan orang yang benar benar
bersalahpun lepas dari hukuman. Jadi jelas bahwa sistem adversary ini
mencita-citakan agar orang yang benar benar tidak bersalah dapat terlindungi.[40]
Ketatnya
sistem pembuktian yang diterapkan dalam sistem ini membuat tidak jarang terjadi
kesulitan untuk tercapainya kebenaran suatu perkara pidana. Misalnya saja
terkait hak tersangka untuk tidak memberikan keterangan atau jawaban kepada
polisi dengan alasan untuk mempermudah pembelaanya nanti. Hak tersebut dikenal
dengan istilah “the privilege against
self-incrimination”. Selain itu juga terdapat ketentuan bahwa pengadilan
diperkenankan untuk menolak bukti yang diajukan polisi dimuka persidangan mana
kala bukti tersebut diperoleh secara illegal,
seperti penyiksaan dan sebagainya. Hak ini dikenal dengan istilah “exclusionary rule”.[41]
Kemudian
peran hakim dalam sengketa tersebut hanyalah sebagai pengamat para kontestan
sebagai wasit yang tidak memihak agar mematuhi peraturan tentang jalanya
persidangan. Hakim akan aktif apabila salah satu pihak mengajukan keberatan
atas argumentasi atau cara yang digunakan oleh pihak lain dalam penghadiran
fakta dipersidangan.[42]Setelah
semua proses persidangan selesai, hakim kemudian menentukan putusanya. Dengan
model adversary system maka peradilan
pidananya akan sangat banyak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
administrasi peradilan, atau teknis prosedural guna menjaga prinsip otonomi.
Berdasarkan penjelasan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dalam
sistem adversarial model ruang gerak
dari penegak hukum terutama pihak kepolisian dibatasi terutama melalui
konstitusi Amerika Serikat itu sendiri. Kemudian fungsi terpenting pembuktian
dalam persidanganya lebih merupakan saringan atau filter untuk memisahkan mana
pihak yang benar-benar bersalah dan mana pihak yang memang tidak bersalah sama
sekali.[43]
Masih
terkait dengan sistem adversarial yang dianut Amerika Serikat, disana juga
dikenal tentang mekanisme Plea Bergaining
yang merupakan suatu negosiasi antara pihak penuntut umum dengan dengan
sitertuduh atau pembelanya.[44]
Adapun motivasi dari tindakan negosiasi tersebut adalah untuk mempercepat
proses penanganan perkara pidana yang mana sifatnya harus dilandaskan pada
kesukarelaan tertuduh untuk mengakui kesalahanya dan kesediaan penuntut umum
memberikan ancaman hukuman yang dikehendaki oleh tertuduh atau pembelanya.
Kemudian dengan adanya keikutsertaan hakim sebagai wasit yang tidak memihak
dalam negosiasi adalah tidak diperkenankan, karena akan berakibat pada buruknya
independensi lembaga peradilan.[45]
Menurut
Alschuler, Plea Bergaining ini muncul pada pertengahan abad ke 19 dan mulai
berperan dalam proses penanganan perkara pidana Amerika Serikat pada abad ke
20. Bahkan pada tahun 1930 pengadilan di Amerika Serikat sangat bergantung pada
sistem ini. Pada tahun 1958 Mahkamah Agung (supreme
court) Amerika Serikat pernah mengatakan bahwa praktek sistem ini adalah illegal, namun karena adanya keberatan
dari Departemen Kehakiman (department of
justice) kehendak tersebut kemudian tidak dilaksanakan. [46]
Bila
diteliti lebih jauh, sistem plea
bargaining ini terjadi pada periode atau tahapan arraignment dan preliminary
hearing. Apabila dalam tahap ini si tertuduh menyatakan dirinya bersalah
atas kesalahan yang dilakukan, proses selanjutnya adalah penjatuhan hukuman
tanpa melalui “trial”. Periode arraignment on information or indictment
ini merupakan suatu proses singkat guna mencapai tujuan :
i. memberitahukan
kepada tertuduh perihal tuduhan yang akan dijatuhkan kepadanya,
ii. memberikan
kesempatan pada tertuduh untuk menjawab tuduhan tersebut dengan menyatakan not guilty atau guilty atau nolo contendence.
Pada tahap ini
pengadilan akan membacakan tuduhan dan menanyakan bagaimana jawaban si tertuduh
atas tuduhan yang dibacakan terhadap dirinya. Jika ia menjawab not guilty, maka perkaraya dilanjutkan
untuk disidangkan dengan kehadiran juri. Sebaliknya jika ia menjawab guilty maka perkaranya siap untuk
diputus. Dalam pernyataan guilty tidak disyaratkan bahwa sitertuduh harus
mengakui kesalahanya, cukup ia mengatakan bahwa ia tidak menentang tuduhan
jaksa dimuka juri kelak.[47]
2)
Sistem
Inkuisitorial di Negara Civil Law (Belanda & Indonesia)
Pada
awalnya sistem hukum akusatorial berkembang sangat dominan, seperti yang
diperlihatkan dalam pembentukan Mahkamah Militer Internasional (IMT) di
Nuremberg, Jerman untuk mengadili penjahat penjahat perang NAZI. Sehingga
sistem inkuisitorial dari Perancis dan Rusia hampir tidak terlihat pengaruhnya.
Dalam perjalanan waktu, pengaruh sistem Inkuisitorial mulai diterima oleh acara
peradilan pidana internasional (ICC) di Den Haag Belanda. [48]
Dalam
praktik peradilan saat ini di negara kesejahteraan seperti di Belanda,
kebijakan hukum pidana dan peradilan pidana dititik beratkan pada perlindungan
kesejahteraan masyarakat. Sehingga perlindungan terhadap masyarakatpun lebih
besar dibandingkan dengan perlindungan terhadap individu. Dengan demikian ada
kecenderungan untuk menyeimbangkan kepentingan negara dan kepentingan publik,
dan meminimalisir pandangan individualisasi kepentingan tersangka dan
menyeimbangkanya dengan kepentingan si korban. Sehingga keberadaan korban
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari komponen dari peradilan pidana itu
sendiri. [49]
Berbeda
dengan sistem akusatorial, sistem inkuisitorial ini pemerintah memberikan izin
kepada aparatur penegak hukum melakukan serangkaian tindakan untuk memperoleh
bukti yang kuat, termasuk dari si terdakwa. Misalnya saja dengan melakukan
introgasi koersif atau dengan mengharuskan sitersangka untuk memberikan
DNA-nya, darah atau sidik jarinya. Selama persidanganpun hakim melakukan
pemeriksaan fakta dan hukum, jadi tidak hanya, menyerahkan secara belaka kepada
pengacara dan penuntut umum untuk saling beradu argumen. Dalam sistem
inkuisitorial ini, hakim juga dapat memeriksa terdakwa untuk kemudian bersaksi
terhadap dirinya sendiri.[50]
Jadi,
dalam sistem ini, pengakuan tersangka sangat diutamakan. Oleh sebab itu
berkembang cara penyiksaan yang sangat mengerikan, dari dipukuli dengan tangan
kosong maupun memakai benda tumpul atau senjata, disiksa dengan disiram air
dingin, hingga ke penyiksaan air panas, besi panas dan sebagainya.[51]
Dari
kenyataan tersebut, tidak sedikit banyak yang memiliki persepsi bahwa dalam
sistem Inkuisitorial selalu dengan penyiksaan. Menurut Damaska, tipe inkuisitorial secara umum melukiskan acara pidana
yang berlangsung di Benua Eropa, sejak abad ke-13 hingga abad ke-19. [52]
Pada era tersebut, proses penanganan perkara pidana dimulai atas adanya
inisiatif dari penyidik sendiri secara rahasia menyidik apakah suatu kejahatan
sudah terjadi dan siapa yang dicurigai sebagai pelakunya. Jika tersangka telah
ditemukan mulailah dilakukan pemeriksaan. Tersangka ditempatkan dalam tahanan
dan dikucilkan dari segala bentuk interaksi dengan pihak luar, termasuk
keluarganya sendiri. Investigator akan mencatat semua jawaban hasil investigasi
untuk disampaikan kepada pengadilan. Di pengadilanpun hak untuk didampingi
pengacara belumlah dikenal saat itu. [53]
Dalam
perkembanganya, sistem inkuisitorial ini dapat digambarkan bahwa, seorang
pejabat pengadilan yang tidak berpihak melakukan investigasi pidana dengan
seorang hakim (dengan mempelajari Berita Acara Pemeriksaanya) untuk menentukan
apakah terdakwa bersalah atau tidak. Persidangan berjalan tanpa dihadiri oleh
juri serta dimungkinkan adanya peran dari pengacara yang sangat mendukung.[54]
Terkait hakim dalam sistem inkuisitorial di negara civil law ini lebih mengutamakan hal menemukan kebenaran subtantif
dibanding kebenaran prosedural.[55]
Adapun maksud dari hakim bersifat aktif disini adalah, ketika fakta yang
dihadirkan dipersidangan menuntukan beberapa keterkaitan atau malah sebaliknya
(saling bertentangan) maka hakim dapat memerintahkan jaksa penuntut umum untuk
meghadirkan alat bukti yang lain, yang mana dengan alat bukti tersebut hakim
mendapatkan keyakinan akan kebenaran suatu fakta secara materil dan kemudian
dijadikan dasar dalam pembuatan putusan olehnya.
Dalam
sistem ini negara bersikap aktif untuk menemukan kebenaran materil dari suatu
peristiwa pidana yang dibantu dengan penyidik professional dan peran ahli.
Sedangkan peran penasihat hukum sifatnya terbatas pada yang diatur undang
undang yang mana posisinya tidaklah sejajar dengan penyidik ataupun penuntut
umum. Namun disediakan beberapa prosedur untuk mengawasi kerja penyidik dan
penuntut umum misalnya dengan kehadiran Hakim Penyidik (Investigation Judge) yang berwenang untuk menentukan keabsahan
bukti bukti yang ada dan kemudian dicantumkan dalam berkas perkara. [56]
Dalam
sistem inkuisitorial murni tidak ada celah hukum untuk proses acara pidana
terhenti, melainkan harus berlanjut ke pengadilan. Di Belanda sendiri sistem
inkuisitorial tidak sepenuhnya dilaksanakan karena penuntut umum diberikan
diskresi untuk melakukan penghentian penuntutan (deponering). Dalam sistem peradilan pidana Belanda polisi dan
penuntut umum memiliki wewenang setiap saat untuk menghentikan perkara dengan
alasan kepentingan umum yang berpola adanya penyelesaian perkara pidana diluar
pengadilan.[57]
Terkait apa saja yang dikategorikan sebagai kepentingan umum tersebut, dalam
Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Belanda telah diatur dan disebut dengan
transaksi atau tansactie antara
penyidik, penuntut umum dan terdakwa. Bahkan dalam sistem peradilan pidana
Indonesia khususnya KUHAP. Selain penghentian penuntutan, penyidik juga dapat
melakukan penghentian penyidikan dengan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) dan
penuntut umumpun juga dapat menghentikan penuntutanya dengan mekanisme Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang mana keduanya merupakan kewenangan
murni dari masing masing instansi sesuai pasal 109 dan 140 KUHAP. [58]
Berdasarkan
teori tersebut, ahli hukum Muladi mengatakan bahwa model sistem peradilan
pidana yang cocok untuk bagi Indonesia sebenarnya adalah model yang mengacu
pada daad dader strafrecht yang
disebut juga dengan model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model
realistik atau model yang memerikan perhatian terhadap berbagai kepentingan
yang harus dilindungi oleh hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan
umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan
dari korban kejahatan itu sendiri. [59]
Disisi
lain Romli Atmasasmita dalam bukunya yang berjudul Sistem Peradilan Pidana
mengatakan bahwa dalam hal menentukan arah sistem peradilan pidana yang
diterapkan dalam suatu negara khususnya Indonesia juga dipengaruhi oleh elit
politik yang berperan dalam hal pembuatan undang undang itu sendiri guna
menegakan hukum dinegara tersebut. Selain hal tersebut, dalam realitas kehidupan
peradilan di Indonesia sendiri masih berkembang pandangan fragmentaris atau
pengotakan setiap instansi, bukan kerjasama dan semangat yang tulus. Misalnya
saja masih terjadi tarik menarik antara penyidik kepolisian dan kejaksaan dalam
penanganan suatu perkara. Begitu pula hakim yang cenderung berlindung dibalik
asas “kebebasan kekuasaan kehakiman” sehingga putusan yang dijatuhkanpun tidak
jarang mengabaikan pembelaan penasihat hukum atau malah dakwaan dari jaksa
penuntut umum.[60]
Jika
ditinjau lebih jauh, maka sistem peradilan pidana yang dianut di Indonesia
sejak zaman Herziene Indisce Reglement
(HIR) sampai dengan KUHAP, dalam praktik tidak banyak mengalami perubahan
signifikan secara subtansial kecuali sistem organisasi pendukung sistem
peradilan tersebut telah berubah, dimana penyidik polri tidak berada dibawah
supervise langsung penuntut umum. Kesederajatan kedua institusi ini tidak
menjamin tidak ditemukanya permasalahan didalam KUHAP dan prakteknya sehari
hari. Hal tersebut terbukti dari seringnya berkas perkara pidana yang bolak
balik antara keduanya, sehingga untuk dinyatakan perkara tersebut secara bukti
telah lengkap (P21) merupakan suatu keniscayaan kecuali memang ada komitmen
antara keduanya untuk saling menghargai. Selain hambatan diatas, juga masih
ditemukan dalam praktik mengenai upaya penangkapan dan penahanan sering
mengabaikan hak asasi tersangka dan secara subjektif penyidik telah menafsirkan
ketentuan alasan penahanan secara normative-legalistik
tanpa mempertimbangkan keadaan lain yang berkaitan dengan kedudukan
sitersangka.[61]
Pembuktian dan
Prinsip Prinsip Pembuktian
Pembuktian
tentang benar tidaknya Terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan
bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal inipun hak asasi manusia
dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwakan berdasarkan
alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah
maka sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan
hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Indonesia sama dengan
Belanda yang menganut prinsip bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang
diajukan dengan keyakinan sendiri dan bukan juri seperti negara-negara Anglo
Saxon.[62]
Sebelum
meninjau sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP, ada baiknya ditinjau
beberapa ajaran yang berhubungan dengan sistem pembuktian sebagai bahan
perbandingan[63]
:
a) Sistem Atau
Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time).
Sistem ini menganut ajaran bahwa
bersalah tidaknya-tidaknya terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya
tergantung pada penilaian "keyakinan" hakim semata-mata. Jadi
bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya
tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau
didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau
hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun
alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat
dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif
sekali. Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan
kepercayaan kepada hakim, kepada perseorangan sehingga sulit untuk melakukan
pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Perancis yang membuat
pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas
yang aneh.
b) Sistem atau
Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Conviction In
Raisone).
Sistem pembuktian Conviction In
Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar
satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim
disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal
pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena
memang tidak diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh
undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan
undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim
tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam
sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh
"reasoning" atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus “reasonable"
yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak
semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini
sering disebut dengan system pembuktian bebas.
c) Teori
Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif (Positif Wettelijk Bewijstheorie).
Sistem ini ditempatkan
berhadap-hadapan dengan system pembuktian conviction in time, karena sistem ini
menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya
alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan
kesalahan terdakwa. Teori positif wettelijk sangat mengabaikan dan sama sekali
tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan
kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan
pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut
undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.
Umumnya bila seorang terdakwa sudah
memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang
Maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan
sistem pembuktian ini adalah para hakim akan berusaha membuktikan kesalahan
terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena
menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang. Disisi
lain kelemahan dari sistem ini adalah tidak memberikan kepercayaan kepada
ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum
acara pidana. Karena yang dicari dalam sistem pembuktian positif ini adalah
kebenaran formal, maka sistem ini akan lebih cocok digunakan dalam hukum acara
perdata.
Positief wettelijk bewijstheori sistem
di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat
Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka,
dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.
d) Teori
Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negative Wettelijk
Bewijstheorie).
Menurut teori ini hakim hanya boleh
menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di
tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat
dari adanya alat-alat bukti itu.
Di
Indonesia, Sistem pembuktian hukum pidananya diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal
tersebut berbunyi : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah
yang bersalah melakukannya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka indonesia
menganut sistem pembuktian berdasarkan Undang- Undang secara negative (negative
wettelijk bewijstheorie).
Dimana dengan ditetapkannya batas yang lebih tegas bagi hakim dalam usaha
membuktikan kesalahan Terdakwa untuk menjatuhkan pidana serta batas minimum
pembuktian yakni sedikitnya dua alat bukti yang sah diatur dalam Undang-
Undang, hal tersebut menandakan bahwa sistem pembuktian negatif dalam KUHAP
lebih menjamin kepastian hukum demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian
hukum. Dengan pasal 183 KUHAP kita juga mengetahui bahwa[64] :
1)
Tujuan
akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat
pembuktian dapat menjatuhkan pidana;
2)
Terdapat
standar/syarat yang harus dipenuhi untuk menyimpulkan hasil pembuktian yang
berpengaruh pula pada pemidanaan yang akan dijatuhkan.
Daftar Pustaka
Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta : Kencana, 2011.
Dressler, Joshua dan Alan Michaels. Understanding Criminal Procedur. United
States : LexisNexis, 2006.
Hamzah,
Andi dan RM Surachman. Pre Trial Justice
& Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara. Jakarta : Sinar
Grafika, 2015.
Hamzah, Andi. Hukum
Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Renggong, Ruslan. Hukum Acara Pidana : Memahami Perlindungan HAM dalam Proses Penahanan
di Indonesia. Jakarta : Kencana, 2014.
Sunaryo, Sidik. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang : Universitas Muhamadiah
Malang, 2004.
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi%20Fix.pdf.
Diakses pada 7 januari 2018. Pkl 22.00 wib.
https://www.scribd.com/document/145819981/Kekuatan-Alat-Bukti-Surat-Menurut-Hukum-Acara-Pidana.
Diakses pada 7 januari 2018. Pkl 16.40. wib.
[1] EddyO.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Yogyakarta
: Erlangga, 2012), hlm. 2.
[3] Fachmi, Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum dalam Sistem
Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 165.
[4] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ca459db4ecc2/pemeriksaan-saksi-di-tingkat-penyidikan-dan-di-pengadilan. Diakses pada 7 januari 2018.
Pkl. 16.26 wib.
[6] https://www.scribd.com/document/145819981/Kekuatan-Alat-Bukti-Surat-Menurut-Hukum-Acara-Pidana. Diakses pada 7 januari 2018.
Pkl 16.40. wib.
[9] http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/verstek/article/viewFile/689/643. Diakses pada 7 januari 2018
pkl. 16.50 wib.
[11] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt59018c594fc14/penilaian-keterangan-terdakwa-yang-dinyatakan-di-luar-persidangan. Diakses pada 7 januari 2018.
Pkl 17.00 wib.
[12] Eddy O.S Hiariej, Op.Cit., hlm. 78.
[13] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti-. Diakses pada 7 januari 2017.
Pkl. 04.30 wib.
[16] Andi Hamzah dan RM Surachman, Pre Trial Justice & Discretionary
Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), hlm.
5.
[17] Ibid,. hlm. 7.
[18] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,( Jakarta :
Sinar Grafika, 2008), hlm 7.
[19] Ibid,. hlm.9.
[20] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer,
(Jakarta : Kencana, 2011), hlm.2.
[21] Ruslan Renggong, Hukum Acara Pidana : Memahami Perlindungan
HAM dalam Proses Penahanan di Indonesia, ( Jakarta : Kencana, 2014), hlm
35. hlm. 157.
[22] Ibid,.
[23] Romli Atmasasmita .Op.Cit,. hlm. 6.
[24] Joshua Dressler dan Alan
Michaels, Understanding Criminal
Procedur, (United States : LexisNexis, 2006), hlm. 17.
[25] Romli Atmasasmita .Op.Cit ,. hlm. 13.
[26] Ruslan Renggong, Op.Cit., Hlm. 192.
[27] Ibid,. hlm. 193.
[28] Joshua Dressler dan Alan
Michaels. Op.Cit,. hlm. 20.
[29] Romli Atmasasmita .Op.Cit ,. hlm. 21.
[30] Ibid,. hlm. 23.
[31] Joshua Dressler dan Alan
Michaels. Op.Cit,.
[32] Romli Atmasasmita .Op.Cit ,. hlm. 27.
[33] Ibid,. hlm. 28.
[34] Andi Hamzah dan RM Surachman. Op. Cit,. hlm. 9.
[35] Joshua Dressler dan Alan
Michaels. Op.Cit,. hlm. 23.
[36] Ibid,. hlm. 13.
[37] Ibid,. hlm. 14.
[38] Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,
(Malang : Universitas Muhamadiah Malang, 2004), hlm 275.
[39] Andi Hamzah dan RA Surachman, Op.Cit., hlm.15.
[40] Ibid,. hlm. 45.
[41] Romli Atmasasmita. Op.Cit., hlm. 46.
[42] Ibid,. hlm 43.
[43] Ibid,.
[44] Sidik Sunaryo, Op.Cit., hlm. 283.
[45] Ibid,. hlm. 284.
[46] Romli Atmasasmita, Op.Cit., hlm. 119.
[47] Ibid,. hlm. 124.
[48] Andi Hamzah dan RM Surachman. Op.Cit. hlm. 9.
[49] Romli Atmasasmita, Op.Cit. hlm. 59.
[50] Joshua Dressler dan Alan
Michaels. Op.Cit,. hlm. 24.
[51] Andi Hamzah dan Surachman, Op.Cit., hlm.11.
[52] Ibid., hlm. 12.
[53] Ibid,. hlm. 13.
[54] Ibid,. hlm. 15.
[55] Romli Atmasasmita, Op.Cit., hlm. 60.
[56] Ibid,.
[57] Ibid,. hlm. 61.
[58] Ibid,.
[59] Ibid,. hlm. 13.
[60] Ibid,. hlm. 19.
[61] Ibid,. hlm.65.
[62]
https://www.scribd.com/document/145819981/Kekuatan-Alat-Bukti-Surat-Menurut-Hukum-Acara-Pidana.
Diakses pada 7 januari 2018. Pkl 16.40. wib.
[63] http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi%20Fix.pdf. Diakses pada 7 januari 2018.
Pkl 22.00 wib.
Comments
Post a Comment