Skip to main content

Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia


I.             Perbedaan Alat Bukti dan Barang Bukti

Dalam kosa kata bahasa Inggris ada dua kata yang sama-sama diterjemahkan sebagai bukti dalam bahasa Indonesia, namun sebenarnya keduanya memiliki perbedaan yang cukup prinsipil. Pertama, adalah kata “evidence” dan yang kedua adalah kata “proof”. Kata evidence memiliki arti yaitu informasi yang memberikan dasar dasar mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara itu, proof adalah suatu kata dengan berbagai arti. Dalam wacana hukum, kata proof mengacu pada hasil suatu proses evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap evidence atau dapat juga digunakan lebih luas dalam mengacu pada proses itu sendiri.[1]
Ian Denis mengemukakan[2] :
evidence is information. It is information that provides grounds for belief that a particular fact or set of fact is true.  Proof is a term with a variable meaning. In legal discourse it may refer to the outcome of the process of evaluating evidence and drawing inferences from it, or it may be used more widely to refer to the process it self and or to the evidence which is being evaluated.   
(terjemahan bebas : "Bukti adalah informasi yang memberikan alasan untuk mempercayai bahwa suatu fakta atau kumpulan fakta yang benar. Bukti merupakan istilah yang bermakna variable, yang dalam wacana hukum mungkin mengacu pada hasil dari proses evaluasi dari suatu bukti dan dan kemudian ditarik suatu kesimpulan")

Berdasarkan penjelasan Ian Denis diatas dapat disimpulkan bahwa kata evidence lebih dekat kepada pengertian alat bukti menurut hukkum positif, sedangkan kata proof dapat diartikan sebagai pembuktian yang mengarah pada suatu proses. Hal ini sejalan dengan apa yang dikenal dalam hukum acara pidana Indonesia.
Secara umum bukti dalam KUHAP dikelompokan menjadi dua, yakni : alat bukti dan barang bukti (real evidence/physical evidence).  Masih terkait alat bukti, A. Karim Nasution berpendapat bahwa alat bukti madalah alat alat yang mana yang mendukung sejumlah fakta untuk disampaikan kepada hakim untuk pengetahuanya, yang setelah mengadakan pengujian secara cermat tentang kebenaran materilnya, akan mempergunakanya untuk menimbulkan keyakinan sang hakim tentang benar atau tidaknya suatu kesalahan yang dilakukan si terdakwa dan kemudian menghukumnya.[3]
Mengenai macam macam alat bukti yang digunakan dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa di persidangan dapat mengacu pada pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang menyebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah :


a.     Keterangan saksi :
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (pasal 1 angka 26 KUHAP).

Pengertian saksi pada KUHAP tersebut pada tahun 2010 sudah dilakukan perluasan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dengan putusan MK tersebut maka saksi dimaknasi sebagai “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.[4]

Didalam hukum acara pidana, agar keterangan saksi tersebut bernilai menjadi alat bukti maka keterangan saksi tersebut harus disampaikan didalam sidang pengadilan.[5]

b.    Keterangan ahli :
Pasal 1 angka 28 KUHAP menjelaskan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keteranagn ahli tersebut akan bernilai alat bukti jika ia disampaikan didalam persidangan sesuai ketentuan pasal 186 KUHAP.

c.     Surat :
Dalam hukum acara pidana khususnya pasal 187 KUHAP dikenal beberapa jenis surat, yakni[6] :
-       Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu. Misalnya Akta Notaries, Akta jual beli oleh PPAT dan Berita acara lelang.
-       Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnyadan yang diperuntukkan bagi pembuktian. Misalnya ; BAP, paspor, kartu tanda penduduk dll.
-       Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlianmengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi darinya, seperti visum et revertum.
-       Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain, contoh ; surat-surat dibawah tangan.

Selain jenis surat yang disebut pada pasal 187 KUHAP, dikenal pula 3 (tiga) macam surat sebagai berikut :
1)    Akta autentik, yakni suatu akta yang dibuat dalam suatu bentuk tertentu dan dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuatnya di wilayah yang bersangkutan.
2)    Akta dibawah tangan, yakni akte yang tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabatumum tetapi dibuat sengaja untuk dijadikan bukti. dan
3)    Surat biasa, yakni surat yang dibuat bukan untuk dijadikan alat bukti.

Terkait bagaimana nilai pembuktian dari surat tersebut di persidangan, maka menurut teorinya surat resmi/surat autentik yang diajukan dan dibacakan di sidang pengadilan merupakan alat bukti surat sedangkan surat biasa mempunyai nilai pembuktian alat bukti petunjuk jika isi surat tersebut bersesuaian dengan alat bukti sah lain.[7]

Kemudian jika dilihat dari kekuatan pembuktianya, maka Alat bukti surat resmi/autentik dalam perkara pidana tentu berbeda dengan perdata. Memang isi surat resmi bila diperhatikan dari segi materilnya berkekuatan sempurna, namun pada prakteknya terdakwa dapat mengajukan bukti sangkalan terhadap akta autentik tersebut. Kekuatan pembuktian dari alat bukti surat adalah kekuatan pembuktian bebas seperti halnya kekuatan pembuktian alat bukti lainnya, disini hakim bebas menentukan apakah alat alat bukti surat tersebut berpengaruh dalam membentuk keyakinan ataupun tidak.  Walaupun begitu bukan berarti hakim bisa menyangkal tanpa alasan suatu alat bukti surat yang sudah terbukti kebenarannya dan bersesuaian dengan alat-alat bukti lainnya. Dalam bukti surat yang diatur dalam KUHAP pasal 187 sub c disebutkan : Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya merupakan surat bukti. Ketentuan tersebut di atas menimbulkan kekaburan dengan keterangan ahli sebagaimana di atur dalam pasal 186,179,120 KUHAP.[8]

4)    Petunjuk :
Dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP, alat bukti petunjuk merupakan suatu perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. [9]
Alat bukti petunjuk merupakan suatu alat bukti yang dalam penerapannya sering mengalami kesulitan untuk ditemukam. Kekurang hati-hatian Hakim dalam memutus perkara yang menggunakan alat bukti petunjuk sebagai suatu alat bukti dapat menyebabkab putusan yang dihasilkan bersifat sewenang-wenang karena didominasi dengan penilaian yang subjektif dari sang hakim.[10]

5)    Keterangan terdakwa :
Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, antara lain[11]:
1)    Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan
Supaya keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah, keterangan itu harus dinyatakan di sidang pengadilan, baik pernyataan berupa penjelasan “yang diutarakan sendiri” oleh terdakwa, maupun pernyataan yang berupa “penjelasan” atau “jawaban” terdakwa atas pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum, atau penasihat hukum.
2)    Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Supaya keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu merupakan pernyataan atau penjelasan:
a)    Tentang perbuatan yang dilakukan terdakwa,
Pernyataan perbuatan dapat dinilai sebagai alat bukti ialah penjelasan tentang perbuatan yang dilakukan terdakwa sendiri.
b)    Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa,
Arti yang terdakwa ketahui sendiri adalah pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya. Bukan “pendapat atau rekaan” terhadap peristiwa pidana tersebut, tapi semata-mata pengetahuan langsung yang timbul dari peristiwa tindak pidana itu.
c)    Apa yang dialami sendiri oleh terdakwa,
Pernyataan terdakwa tentang apa yang dialami baru dianggap mempunyai nilai sebagai alat bukti jika pernyataan pengalaman itu mengenai “pengalamannya sendiri”. Tapi yang dialami sendiri ini pun bukan sembarang pengalaman, melainkan harus berupa pengalaman yang “langsung berhubungan” dengan peristiwa pidana yang bersangkutan.
d)    Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri,
Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat pada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya.

Selanjutnya terkait bukti di Indonesia juga dikenal apa itu barang bukti. Jika di cermati secara mendalam, terkait barang bukti sebenarnya tidak disebutkan secara eksplisit didalam KUHAP, namun untuk memahaminya kita dapat  mengacu pada pasal 39 (1) KUHAP tentang barang barang yang dapat dikenakan tindakan penyitaan, yakni :
a.     Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b.    Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkanya;
c.     Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d.    Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan untuk melakukan tindak pidana;  dan
e.    Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Mengenai kedudukan barang bukti itu sendiri dalam hukum acara pidana Indonesia dikuasai oleh negara. Namun demikian, dapat saja barang bukti tersebut berhubungan dengan mata pencaharian seseorang. Sehingga barang bukti yang telah disita negara dapat dipinjamkan kepada orang yang bersangkutan. Berdasarkan KUHAP dalam putusan pengadilan status mengenai barang atau benda sitaan yang dijadikan sebagai pendukung alat bukti dipersidangan harus dinyatakan secara jelas dan tegas mengenai statusnya kelak. Terkait hal tersebut, dimungkinkan ada tiga kondisi, pertama, benda atau barang sitaan tersebut dimusnahkan (seperti shabu dalam tindak pidana narkotika). Kedua, benda atau barang yang telah disita dikembalikan kepada negara (misalnya uang negara yang telah dikorupsi oleh koruptor). Ketiga, benda atau barang yang telah disita dikembalikan kepada pemiliknya (misalnya dalam hal pencurian kerbau, kerbau dikembalikan kepada sikorban). [12]
Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Misalnya, Prof. Andi Hamzah mengatakan bahwa barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), hal tersebut termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik. Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti tersebut adalah[13] :
a.     Merupakan objek materiil;
b.    Berbicara untuk diri sendiri;
c.     Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya; dan
d.    Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa.

Kemudian, ahli lain Martiman Prodjohamidjojo juga mengemukakan pendapat bahwa barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. [14].

Berdasarkan pendapat dari beberapa Sarjana Hukum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah[15] :
a.     Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana;
b.    Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana;
c.     Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana;
d.    Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana;
e.    Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara; dan
f.      Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan.


Daftar Pustaka
Fachmi. Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2011.
Hiariej, EddyO.S, Teori dan Hukum Pembuktian. Yogyakarta : Erlangga, 2012.





II.            Prinsip Prinsip Pembuktian
Sebelum masuk kedalam pembahasan mengenai prinsip prinsip pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia. Maka perlu kiranya untuk memahami terlebih dahulu mengenai system peradilan apa saja yang di kenal di dunia (termasuk Indonesia) dan bagaimana system tersebut kemudian mempengaruhi prinsip prinsip pembuktian itu sendiri.
1)    Sistem Adversarial di Negara Common Law (Amerika Serikat)
Terdapat berbagai sistem hukum yang ada di Dunia, adapun dua sistem hukum yang sangat relevan dengan hukum acara pidana adalah sistem hukum Eropa Kontinental (Eropa daratan atau civil law) dan sistem hukum Anglo Saxon (Eropa kepulauan atau common law). Dari rumpun civil law lahir sempalanya yaitu sistem hukum Sosialis yang dianut oleh negara Uni Soviet dan kemudian menyebar ke luar Eropa saat terjadinya peristiwa penjajahan di beberapa wilayah didunia seperti Perancis yang menerapkan hukum tersebut didaerah jajahanya seperti Vietnam, Kamboja, Laos dan lainya. Kemudian Belanda yang menerapkannya di Suriname, Stilen Belanda dan juga di Hindia Belanda (Indonesia).[16] Dari rumpun Common Law System lahir sempalanya, yaitu sistem hukum Anglo-Amerika yang berkembang di Amerika Serikat (saat itu masih koloni Inggris) kemudian berkembang ke Amerika Latin. Untuk Common Law yang berkembang dikepulauan Inggris dianut juga di Irlandia dan kemudian menyebar atau diterapkan di wilayah jajahan Inggris.[17]

Hukum acara pidana sendiri hadir untuk menjalankan ketentuan yang telah ada dalam hukum pidana materil (KUHP). Tujuanya tidak lain adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil yang merupakan kebenaran yang selengkap lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat. Hal tersebut merupakan sarana untuk mengetahui siapa pelaku yang dapat didakwa karena telah melakukan pelanggaran hukum untuk kemudian diperiksa dan diputus oleh pengadilan.[18] Konsep tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Van Bemmelen tentang tiga fungsi hukum acara pidana yang salah satu fungsi terpentingnya adalah “mencari kebenaran” yang diperoleh melalui penghadiran bukti dan kemudian diakhiri dengan putusan hakim.[19] Proses demikian dijalankan melalui sebuah prosedur yang dikenal dengan sistem peradilan pidana atau criminal justice system.

Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana (SPP) merupakan suatu istilah yang diartikan sebagai mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem. Remington dan Ohlin mengemukakan sebagai berikut : Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.[20] Mardjono Reksodiputro memberikan pengertian yang lebih jelas dari sistem peradilan pidana tersebut sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.[21] Pengendalian kejahatan tersebut bertujuan untuk mencegah masyarakat untuk menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus yang terjadi sesuai keadilan bagi masyarakat dan sipelaku, serta mengusahakan agar sipelaku tidak mengulangi tindakanya lagi.[22] Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu [23]:
a.     Pendekatan Normatif : memandang keempat aparat penegak hukum yakni keplosian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan sebagai institusi pelaksana peraturan perundang undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penegakan hukum,
b.    Pendekatan administratif : memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik secara horizontal ataupun vertikal dengan struktur organisasi,
c.     Pendekatan sosial : memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem sosial, sehingga masyarakatpun memiliki andil dalam hal berhasil atau tidaknya keempat aparatur tersebut menjalankan tugasnya untuk penegakan hukum.

Model Pendekatan normatif diatas lebih jauh dibedakan oleh Packer kedalam dua model, yaitu Crime Control Model dan Due Process Model. Crime control model merupakan pengambilan putusan yang mengutamakan excessive leniciency, sedangkan due process model merupakan pengambilan keputusan yang mengutamakan ketepatan dan persamaan.[24] Mengacu pada pada pendapat Packer tersebut, menurut ahli hukum Muladi terdapat beberapa kelemahan yang ada didalamnya, seperti [25] :
  1. Crime Control Model adalah tidak cocok dikarenakan model ini berpandangan bahwa tindakan yang bersifat represif adalah hal terpenting dalam proses peradilan pidana. Nilai nilai yang terkandung dalam crime control model ini adalah [26]:
1. Tindakan represif terhadap suatu tindakan criminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;
2. Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahanya dan melindungi hak haknya dalam proses peradilan;
3. Proses penegakan hukum harus dilaksanakan secara cepat dan tuntas;
4. Asas praduga bersalah atau presumption of guilt akan menyebabkan sistem bekerja lebih efisien;
5. Proses penegakan hukum harus menitik beratkan pada kualitas temuan temuan fakta administratif.

  1. Due Proess Model tidak sepenuhnya menguntungkan lantaran karena sifatnya yang anti authoritarian values. Nilai yang terkandung dalam prinsip ini adalah [27]:
1. Kemungkinan adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusiawi sehingga dimungkinkan sitertuduh untuk menyampaikan pembelaan atas dirinya;
2. Model ini menekankan pada pencegahan dan penghapusan mekanisme administrasi peradilan;
3. Model ini beranggapan menempatkan individu secara utuh dan utama dalam proses peradilan dan konsep pembatasan kewenangan formal agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia;
4. Model ini bertitik tolak dari nilai yang sifatnya anti terhadap kekuasaan sehingga doktrin legal guilt sangat dipegang teguh.

Akhirnya dari dua model diatas dapat disimpulkan bahwa dalam Due Process Model peradilan memiliki peran yang lebih aktif dibanding dengan yang ada pada Crime Control Model, karena dalam Due Process Model tujuanya sejalan dengan amanat konstitusi yang telah menjamin akan hak asasi manusia agar tidak tertindas, terutama oleh pihak pemerintah. Hal demikian dilatarbelakangi pula oleh suatu prinsip dimana : semua orang dipandang sama atau sederajat. Namun dengan kondisi yang terlalu mengutamakan perlindungan terhadap individu, sistem Due Process Model ini kemudian menjadi tidak efektif dalam hal penanganan perkara pidana dibanding dengan Crime Control Model. Bahkan dalam Due Process Model memungkinkan saja bahwa yang bersalah sekalipun dapat bebas dari sistem pemidanaan. [28]

Sejarah perkembangan penanggulangan kejahatan yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat menunjukan bahwa instansi pertama dan terdepan dalam menghadapi kejahatan adalah kepolisian.[29] Dinegara demokrasi tampak bahwa aparat kepolisian selalu dihadapkan pada dua konflik kepentingan, yakni kepentingan memelihara ketertiban disatu sisi dan kepentingan mempertahankan asas legalitas disisi lain. Hal yang sama juga di alami di Amerika Serikat, bahkan lebih kompleks sifatnya sebanding dengan yang terjadi di negara lain.[30]

Sistem peradilan pidana sendiri (SPP) awal mulanya diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science di Amerika Serikat. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh ketidak puasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum saat itu dan berdampak pula pada meningkatnya angka kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Dengan adanya sistem peradilan pidana, semua orang akhirnya setuju bahwa setiap yang bersalah haruslah dihukum, sedangkan yang tidak bersalah tentu harus dibebaskan.[31] Pada masa itu, pendekatan yang digunakan dalam penegakan hukum adalah Hukum dan Ketertiban atau law and order approach atau dikenal juga dengan istilah law enforcement.[32] Dengan istilah tersebut terdapat gambaran bahwa dalam penanggulangan kejahatan yang terjadi dikedepankanlah pihak kepolisian sebagai pendukung utamanya proses tersebut.
Robert H Jackson, selaku hakim agung pada Mahkamah Agung Amerika Serikat telah melakukan survey penegakan hukum melalui American Bar Association (ABA) mengenai penegakan hukum, ia juga memperingatkan bahwa penegakan hukum yang efektif hanya merupakan suatu tujuan peradilan pidana dan perlindungan atas hak asasi individu adalah tujuan terpentingnya. [33] Dalam sejarahnya ada dua jenis cara bagaimana untuk menemukan kebenaran dalam proses pidana, yaitu jenis non adversarial (inquisitorial) dan jenis adversarial (accusatorial). Jenis yang pertama dianut oleh Negara dengan sistem hukum civil law atau Eropa Kontinental[34]dan untuk negara yang menganut aliran common law seperti Amerika Serikat, sistem peradilan pidananya adalah jenis adversarial atau accusatorial.

Dalam teori murni, sistem akusatorial merupakan sistem peradilan pidana yang lahir berdasarkan keyakinan bahwa hak setiap orang harus dihormati dan tidak boleh diganggu gugat. Untuk menghukum seseorang yang telah bersalah, pemerintah harus menanggung beban untuk mencari dan mengumpulkan bukti secara independen. Sebagaimana pendapat salah seorang ahli yang menjelaskan bahwa, terdakwa pada tahap penuntutan atau persidangan haruslah diperlakukan seolah olah sebagai orang yang tidak bersalah dan negara wajib menjamin bahwa ia akan mendapat bantuan hukum selama proses pemeriksaan pidana terhadap dirinya berlangsung.[35]

Sistem akusatorial sudah mengakar di kerajaan Inggris selama dua abad ketika Magna Charta titandatangani oleh King Jhon tahun 1215. Kemudian menyebar ke negara negara yang mnggunakan bahasa Inggris. Dalam sistem ini, tindak pidana dianggap sengketa antara negara (jaksa) dengan tersangka. Maka baik jaksa dan polisi maupun tersangka diberi kesempatan untuk mengumpulkan bukti dan saksinya masing masing, Keduanya kemudian bertanding didepan hakim diruang persidangan.[36] Menurut sebuah definisi, sistem ini kerap dibandingkan dengan suatu permainan atau pertandingan dimana kedua belah pihak berupaya untuk unggul dengan seorang wasit yang netral untuk menentukan[37] :
a.     Apakah kedua belah pihak bermain menurut aturan main, dan
b.    Menentukan pihak mana yang unggul.

Ada kalanya hakim menentukan kedua duannya, hakim memutuskan yang pertama sedangkan juri berpendapat kepada yang kedua. Adversary model dalam sistem peradilan pidana di Amerika Serikat ini mengandung beberapa prinsip, yakni[38] :
  1. Prosedur peradilan pidana harus merupakan suatu sengketa (dispute) antara kedua belah pihak dalam kedudukan yang sama dimuka pengadilan;
  2. Tujuan utama prosedur diatas adalah menyelesaikan perkara kejahatan;
  3. Penggunaan cara mengajukan sanggahan atau pleadings sebagai suatu jaminanya;
  4. Adanya fungsi yang jelas kedua belah pihak terkait fungsi masing masing pihak, dimana penuntut umum menyampaikan fakta dan tertuduh menentukan fakta mana saja yang menguntungkan untuk dirinya.

Dalam penyelesaian proses perkara pidana dalam sistem ini dimulai dengan adanya investigasi dari polisi yang tidak netral, diarahkan pada pengumpulan bukti yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa.[39]Dengan adanya fungsi dan peranan diatas maka salah satu pihak dalam proses penyelesaian perkara pidana tidak dapat menggunakan pihak lain sebagai sumber bahan pembuktianya dipersidangan. Hal ini berdampak pada system pembuktian yang dianut oleh Negara yang bersangkutan. Dimana dengan adversary model maka akan terjadi pengurangan terhadap kemungkinan akan dituntutnya seseorang yang nyata nyata tidak bersalah. Sekalipun dengan resiko kemungkinan orang yang benar benar bersalahpun lepas dari hukuman. Jadi jelas bahwa sistem adversary ini mencita-citakan agar orang yang benar benar tidak bersalah dapat terlindungi.[40]

Ketatnya sistem pembuktian yang diterapkan dalam sistem ini membuat tidak jarang terjadi kesulitan untuk tercapainya kebenaran suatu perkara pidana. Misalnya saja terkait hak tersangka untuk tidak memberikan keterangan atau jawaban kepada polisi dengan alasan untuk mempermudah pembelaanya nanti. Hak tersebut dikenal dengan istilah “the privilege against self-incrimination”. Selain itu juga terdapat ketentuan bahwa pengadilan diperkenankan untuk menolak bukti yang diajukan polisi dimuka persidangan mana kala bukti tersebut diperoleh secara illegal, seperti penyiksaan dan sebagainya. Hak ini dikenal dengan istilah “exclusionary rule”.[41]

Kemudian peran hakim dalam sengketa tersebut hanyalah sebagai pengamat para kontestan sebagai wasit yang tidak memihak agar mematuhi peraturan tentang jalanya persidangan. Hakim akan aktif apabila salah satu pihak mengajukan keberatan atas argumentasi atau cara yang digunakan oleh pihak lain dalam penghadiran fakta dipersidangan.[42]Setelah semua proses persidangan selesai, hakim kemudian menentukan putusanya. Dengan model adversary system maka peradilan pidananya akan sangat banyak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan administrasi peradilan, atau teknis prosedural guna menjaga prinsip otonomi. Berdasarkan penjelasan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dalam sistem adversarial model ruang gerak dari penegak hukum terutama pihak kepolisian dibatasi terutama melalui konstitusi Amerika Serikat itu sendiri. Kemudian fungsi terpenting pembuktian dalam persidanganya lebih merupakan saringan atau filter untuk memisahkan mana pihak yang benar-benar bersalah dan mana pihak yang memang tidak bersalah sama sekali.[43]

Masih terkait dengan sistem adversarial yang dianut Amerika Serikat, disana juga dikenal tentang mekanisme Plea Bergaining yang merupakan suatu negosiasi antara pihak penuntut umum dengan dengan sitertuduh atau pembelanya.[44] Adapun motivasi dari tindakan negosiasi tersebut adalah untuk mempercepat proses penanganan perkara pidana yang mana sifatnya harus dilandaskan pada kesukarelaan tertuduh untuk mengakui kesalahanya dan kesediaan penuntut umum memberikan ancaman hukuman yang dikehendaki oleh tertuduh atau pembelanya. Kemudian dengan adanya keikutsertaan hakim sebagai wasit yang tidak memihak dalam negosiasi adalah tidak diperkenankan, karena akan berakibat pada buruknya independensi lembaga peradilan.[45]

Menurut Alschuler, Plea Bergaining ini muncul pada pertengahan abad ke 19 dan mulai berperan dalam proses penanganan perkara pidana Amerika Serikat pada abad ke 20. Bahkan pada tahun 1930 pengadilan di Amerika Serikat sangat bergantung pada sistem ini. Pada tahun 1958 Mahkamah Agung (supreme court) Amerika Serikat pernah mengatakan bahwa praktek sistem ini adalah illegal, namun karena adanya keberatan dari Departemen Kehakiman (department of justice) kehendak tersebut kemudian tidak dilaksanakan. [46]

Bila diteliti lebih jauh, sistem plea bargaining ini terjadi pada periode atau tahapan arraignment dan preliminary hearing. Apabila dalam tahap ini si tertuduh menyatakan dirinya bersalah atas kesalahan yang dilakukan, proses selanjutnya adalah penjatuhan hukuman tanpa melalui “trial”. Periode arraignment on information or indictment ini merupakan suatu proses singkat guna mencapai tujuan :
             i.    memberitahukan kepada tertuduh perihal tuduhan yang akan dijatuhkan kepadanya,
           ii.    memberikan kesempatan pada tertuduh untuk menjawab tuduhan tersebut dengan menyatakan not guilty atau guilty atau nolo contendence.
Pada tahap ini pengadilan akan membacakan tuduhan dan menanyakan bagaimana jawaban si tertuduh atas tuduhan yang dibacakan terhadap dirinya. Jika ia menjawab not guilty, maka perkaraya dilanjutkan untuk disidangkan dengan kehadiran juri. Sebaliknya jika ia menjawab guilty maka perkaranya siap untuk diputus. Dalam pernyataan guilty tidak disyaratkan bahwa sitertuduh harus mengakui kesalahanya, cukup ia mengatakan bahwa ia tidak menentang tuduhan jaksa dimuka juri kelak.[47]


2)   Sistem Inkuisitorial di Negara Civil Law (Belanda & Indonesia)
Pada awalnya sistem hukum akusatorial berkembang sangat dominan, seperti yang diperlihatkan dalam pembentukan Mahkamah Militer Internasional (IMT) di Nuremberg, Jerman untuk mengadili penjahat penjahat perang NAZI. Sehingga sistem inkuisitorial dari Perancis dan Rusia hampir tidak terlihat pengaruhnya. Dalam perjalanan waktu, pengaruh sistem Inkuisitorial mulai diterima oleh acara peradilan pidana internasional (ICC) di Den Haag Belanda. [48]

Dalam praktik peradilan saat ini di negara kesejahteraan seperti di Belanda, kebijakan hukum pidana dan peradilan pidana dititik beratkan pada perlindungan kesejahteraan masyarakat. Sehingga perlindungan terhadap masyarakatpun lebih besar dibandingkan dengan perlindungan terhadap individu. Dengan demikian ada kecenderungan untuk menyeimbangkan kepentingan negara dan kepentingan publik, dan meminimalisir pandangan individualisasi kepentingan tersangka dan menyeimbangkanya dengan kepentingan si korban. Sehingga keberadaan korban menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari komponen dari peradilan pidana itu sendiri. [49]

Berbeda dengan sistem akusatorial, sistem inkuisitorial ini pemerintah memberikan izin kepada aparatur penegak hukum melakukan serangkaian tindakan untuk memperoleh bukti yang kuat, termasuk dari si terdakwa. Misalnya saja dengan melakukan introgasi koersif atau dengan mengharuskan sitersangka untuk memberikan DNA-nya, darah atau sidik jarinya. Selama persidanganpun hakim melakukan pemeriksaan fakta dan hukum, jadi tidak hanya, menyerahkan secara belaka kepada pengacara dan penuntut umum untuk saling beradu argumen. Dalam sistem inkuisitorial ini, hakim juga dapat memeriksa terdakwa untuk kemudian bersaksi terhadap dirinya sendiri.[50] Jadi, dalam sistem ini, pengakuan tersangka sangat diutamakan. Oleh sebab itu berkembang cara penyiksaan yang sangat mengerikan, dari dipukuli dengan tangan kosong maupun memakai benda tumpul atau senjata, disiksa dengan disiram air dingin, hingga ke penyiksaan air panas, besi panas dan sebagainya.[51]

Dari kenyataan tersebut, tidak sedikit banyak yang memiliki persepsi bahwa dalam sistem Inkuisitorial selalu dengan penyiksaan. Menurut Damaska, tipe inkuisitorial secara umum melukiskan acara pidana yang berlangsung di Benua Eropa, sejak abad ke-13 hingga abad ke-19. [52] Pada era tersebut, proses penanganan perkara pidana dimulai atas adanya inisiatif dari penyidik sendiri secara rahasia menyidik apakah suatu kejahatan sudah terjadi dan siapa yang dicurigai sebagai pelakunya. Jika tersangka telah ditemukan mulailah dilakukan pemeriksaan. Tersangka ditempatkan dalam tahanan dan dikucilkan dari segala bentuk interaksi dengan pihak luar, termasuk keluarganya sendiri. Investigator akan mencatat semua jawaban hasil investigasi untuk disampaikan kepada pengadilan. Di pengadilanpun hak untuk didampingi pengacara belumlah dikenal saat itu. [53]

Dalam perkembanganya, sistem inkuisitorial ini dapat digambarkan bahwa, seorang pejabat pengadilan yang tidak berpihak melakukan investigasi pidana dengan seorang hakim (dengan mempelajari Berita Acara Pemeriksaanya) untuk menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Persidangan berjalan tanpa dihadiri oleh juri serta dimungkinkan adanya peran dari pengacara yang sangat mendukung.[54] Terkait hakim dalam sistem inkuisitorial di negara civil law ini lebih mengutamakan hal menemukan kebenaran subtantif dibanding kebenaran prosedural.[55] Adapun maksud dari hakim bersifat aktif disini adalah, ketika fakta yang dihadirkan dipersidangan menuntukan beberapa keterkaitan atau malah sebaliknya (saling bertentangan) maka hakim dapat memerintahkan jaksa penuntut umum untuk meghadirkan alat bukti yang lain, yang mana dengan alat bukti tersebut hakim mendapatkan keyakinan akan kebenaran suatu fakta secara materil dan kemudian dijadikan dasar dalam pembuatan putusan olehnya.

Dalam sistem ini negara bersikap aktif untuk menemukan kebenaran materil dari suatu peristiwa pidana yang dibantu dengan penyidik professional dan peran ahli. Sedangkan peran penasihat hukum sifatnya terbatas pada yang diatur undang undang yang mana posisinya tidaklah sejajar dengan penyidik ataupun penuntut umum. Namun disediakan beberapa prosedur untuk mengawasi kerja penyidik dan penuntut umum misalnya dengan kehadiran Hakim Penyidik (Investigation Judge) yang berwenang untuk menentukan keabsahan bukti bukti yang ada dan kemudian dicantumkan dalam berkas perkara. [56]

Dalam sistem inkuisitorial murni tidak ada celah hukum untuk proses acara pidana terhenti, melainkan harus berlanjut ke pengadilan. Di Belanda sendiri sistem inkuisitorial tidak sepenuhnya dilaksanakan karena penuntut umum diberikan diskresi untuk melakukan penghentian penuntutan (deponering). Dalam sistem peradilan pidana Belanda polisi dan penuntut umum memiliki wewenang setiap saat untuk menghentikan perkara dengan alasan kepentingan umum yang berpola adanya penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan.[57] Terkait apa saja yang dikategorikan sebagai kepentingan umum tersebut, dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Belanda telah diatur dan disebut dengan transaksi atau tansactie antara penyidik, penuntut umum dan terdakwa. Bahkan dalam sistem peradilan pidana Indonesia khususnya KUHAP. Selain penghentian penuntutan, penyidik juga dapat melakukan penghentian penyidikan dengan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) dan penuntut umumpun juga dapat menghentikan penuntutanya dengan mekanisme Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang mana keduanya merupakan kewenangan murni dari masing masing instansi sesuai pasal 109 dan 140 KUHAP. [58]

Berdasarkan teori tersebut, ahli hukum Muladi mengatakan bahwa model sistem peradilan pidana yang cocok untuk bagi Indonesia sebenarnya adalah model yang mengacu pada daad dader strafrecht yang disebut juga dengan model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model realistik atau model yang memerikan perhatian terhadap berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan dari korban kejahatan itu sendiri. [59]

Disisi lain Romli Atmasasmita dalam bukunya yang berjudul Sistem Peradilan Pidana mengatakan bahwa dalam hal menentukan arah sistem peradilan pidana yang diterapkan dalam suatu negara khususnya Indonesia juga dipengaruhi oleh elit politik yang berperan dalam hal pembuatan undang undang itu sendiri guna menegakan hukum dinegara tersebut. Selain hal tersebut, dalam realitas kehidupan peradilan di Indonesia sendiri masih berkembang pandangan fragmentaris atau pengotakan setiap instansi, bukan kerjasama dan semangat yang tulus. Misalnya saja masih terjadi tarik menarik antara penyidik kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan suatu perkara. Begitu pula hakim yang cenderung berlindung dibalik asas “kebebasan kekuasaan kehakiman” sehingga putusan yang dijatuhkanpun tidak jarang mengabaikan pembelaan penasihat hukum atau malah dakwaan dari jaksa penuntut umum.[60]

Jika ditinjau lebih jauh, maka sistem peradilan pidana yang dianut di Indonesia sejak zaman Herziene Indisce Reglement (HIR) sampai dengan KUHAP, dalam praktik tidak banyak mengalami perubahan signifikan secara subtansial kecuali sistem organisasi pendukung sistem peradilan tersebut telah berubah, dimana penyidik polri tidak berada dibawah supervise langsung penuntut umum. Kesederajatan kedua institusi ini tidak menjamin tidak ditemukanya permasalahan didalam KUHAP dan prakteknya sehari hari. Hal tersebut terbukti dari seringnya berkas perkara pidana yang bolak balik antara keduanya, sehingga untuk dinyatakan perkara tersebut secara bukti telah lengkap (P21) merupakan suatu keniscayaan kecuali memang ada komitmen antara keduanya untuk saling menghargai. Selain hambatan diatas, juga masih ditemukan dalam praktik mengenai upaya penangkapan dan penahanan sering mengabaikan hak asasi tersangka dan secara subjektif penyidik telah menafsirkan ketentuan alasan penahanan secara normative-legalistik tanpa mempertimbangkan keadaan lain yang berkaitan dengan kedudukan sitersangka.[61]

Pembuktian dan Prinsip Prinsip Pembuktian
Pembuktian tentang benar tidaknya Terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Dalam hal inipun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Indonesia sama dengan Belanda yang menganut prinsip bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang diajukan dengan keyakinan sendiri dan bukan juri seperti negara-negara Anglo Saxon.[62]

Sebelum meninjau sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP, ada baiknya ditinjau beberapa ajaran yang berhubungan dengan sistem pembuktian sebagai bahan perbandingan[63] :
a)    Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time).
Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya-tidaknya terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian "keyakinan" hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali. Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Perancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh.

b)    Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Conviction In Raisone).
Sistem pembuktian Conviction In Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh "reasoning" atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus “reasonable" yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan system pembuktian bebas.

c)    Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif (Positif Wettelijk Bewijstheorie).
Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan system pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wettelijk sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.
Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang Maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini adalah para hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang. Disisi lain kelemahan dari sistem ini adalah tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Karena yang dicari dalam sistem pembuktian positif ini adalah kebenaran formal, maka sistem ini akan lebih cocok digunakan dalam hukum acara perdata.
Positief wettelijk bewijstheori sistem di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka, dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.

d)    Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negative Wettelijk Bewijstheorie).
Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu.


Di Indonesia, Sistem pembuktian hukum pidananya diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal tersebut berbunyi : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka indonesia menganut sistem pembuktian berdasarkan Undang- Undang secara negative (negative wettelijk bewijstheorie). Dimana dengan ditetapkannya batas yang lebih tegas bagi hakim dalam usaha membuktikan kesalahan Terdakwa untuk menjatuhkan pidana serta batas minimum pembuktian yakni sedikitnya dua alat bukti yang sah diatur dalam Undang- Undang, hal tersebut menandakan bahwa sistem pembuktian negatif dalam KUHAP lebih menjamin kepastian hukum demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum. Dengan pasal 183 KUHAP kita juga mengetahui bahwa[64] :
1)      Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana;
2)      Terdapat standar/syarat yang harus dipenuhi untuk menyimpulkan hasil pembuktian yang berpengaruh pula pada pemidanaan yang akan dijatuhkan.


Daftar Pustaka
Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta : Kencana, 2011.
Dressler, Joshua dan Alan Michaels. Understanding Criminal Procedur. United States : LexisNexis, 2006.
Hamzah, Andi dan RM Surachman. Pre Trial Justice & Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara. Jakarta : Sinar Grafika, 2015.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Renggong, Ruslan. Hukum Acara Pidana : Memahami Perlindungan HAM dalam Proses Penahanan di Indonesia. Jakarta : Kencana, 2014.
Sunaryo, Sidik. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang : Universitas Muhamadiah Malang, 2004.





[1] EddyO.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Yogyakarta : Erlangga, 2012), hlm. 2.
[2] Ibid.,
[3] Fachmi, Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 165.
[5] Ibid.,
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[10] Ibid.,
[12] Eddy O.S Hiariej, Op.Cit., hlm. 78.
[14] Ibid.,
[15] Ibid.,
[16] Andi Hamzah dan RM Surachman, Pre Trial Justice & Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), hlm. 5.
[17] Ibid,. hlm. 7.
[18] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,( Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm 7.
[19] Ibid,. hlm.9.
[20] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta : Kencana, 2011),  hlm.2.
[21] Ruslan Renggong, Hukum Acara Pidana : Memahami Perlindungan HAM dalam Proses Penahanan di Indonesia, ( Jakarta : Kencana, 2014), hlm 35. hlm. 157.
[22] Ibid,.
[23] Romli Atmasasmita .Op.Cit,. hlm. 6.
[24] Joshua Dressler dan Alan Michaels, Understanding Criminal Procedur, (United States : LexisNexis, 2006), hlm. 17.
[25] Romli Atmasasmita .Op.Cit ,. hlm. 13.
[26] Ruslan Renggong, Op.Cit., Hlm. 192.
[27] Ibid,. hlm. 193.
[28] Joshua Dressler dan Alan Michaels. Op.Cit,. hlm. 20.
[29] Romli Atmasasmita .Op.Cit ,. hlm. 21.
[30] Ibid,. hlm. 23.
[31] Joshua Dressler dan Alan Michaels. Op.Cit,.
[32] Romli Atmasasmita .Op.Cit ,. hlm. 27.
[33] Ibid,. hlm.  28.
[34] Andi Hamzah dan RM Surachman. Op. Cit,. hlm. 9.
[35] Joshua Dressler dan Alan Michaels. Op.Cit,. hlm. 23.
[36] Ibid,. hlm. 13.
[37] Ibid,. hlm. 14.
[38] Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang : Universitas Muhamadiah Malang, 2004), hlm 275.
[39] Andi Hamzah dan RA Surachman, Op.Cit., hlm.15.
[40] Ibid,. hlm. 45.
[41] Romli Atmasasmita. Op.Cit., hlm. 46.
[42] Ibid,. hlm 43.
[43] Ibid,.
[44] Sidik Sunaryo, Op.Cit., hlm. 283.
[45] Ibid,. hlm. 284.
[46] Romli Atmasasmita, Op.Cit., hlm. 119.
[47] Ibid,. hlm. 124.
[48] Andi Hamzah dan RM Surachman. Op.Cit. hlm. 9.
[49] Romli Atmasasmita, Op.Cit. hlm. 59.
[50] Joshua Dressler dan Alan Michaels. Op.Cit,. hlm. 24.
[51] Andi Hamzah dan Surachman, Op.Cit., hlm.11.
[52] Ibid., hlm. 12.
[53] Ibid,. hlm. 13.
[54] Ibid,. hlm. 15.
[55] Romli Atmasasmita, Op.Cit., hlm. 60.
[56] Ibid,.
[57] Ibid,. hlm. 61.
[58] Ibid,.
[59] Ibid,. hlm. 13.
[60] Ibid,. hlm. 19.
[61] Ibid,. hlm.65.

Comments

Popular posts from this blog

PEMERIKSAAN LANJUTAN (NASPORING) OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM SELAKU DOMINUS LITIS PADA TAHAP PENYIDIKAN GUNA MEWUJUDKAN INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM

Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang selalu terjadi dalam kehidupan   masyarakat di belahan dunia manapun. Jika ditinjau dari ilmu kriminologi sebagai cabang ilmu yang mengkaji tentang kejahatan, maka dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) dipidana. Jika ditinjau lebih dalam sampai intinya, suatu kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. [1] Perkembangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat sangat berkaitan erat dengan penegakan hukum yang terutama menjadi tugas para penegak hukum digaris depan. Dalam kaitan ini Hyman Gross menyatakan bahwa penanggulangan kejahatan mendapat tempat penting diantara pokok perhatian pemerintah disetiap negara dan peradilan pidana saat in, yang oleh setiap orang hampir dianggap sebagai bagian dari usaha mayarakat yang besar yang diadakan untuk mengurangi kejahatan. Penegakan hukum, menurut Gross memainkan pera

Analisis Putusan Nomor 1616 k/Pid.Sus/2013 atas nama terdakwa Angelina Sondakh

I.                    Kasus Posisi I.                    Kasus Posisi Angelina Sondakh (AS) selaku anggota DPR, mendapatkan amanah untuk mengikuti rapat pembahasan anggaran untuk beberapa proyek pemerintah pada saat itu.   Sebelumnya ia bertemu dengan Nazaruddin selaku owner dari Permai Grup untuk membicarakan kerjasama perihal penggiringan anggaran ke perusahaan Nazaruddin selaku pemenang tender untuk proyek pembangunan sarana pendidikan dan olahraga pemerintah. Atas kerjasama tersebut AS, meminta imbalan sejumlah 7% (yang akhirnya dikurangi menjadi 5%) dari total dana anggaran yang diperoleh Permai Grup dan dibayarkan dalam dua tahap pembayaran yakni saat pembahasan anggaran di DPR dan saat DIPA telah disetujui.    Untuk memperlancar kerjasama tersebut, AS aktif menghubungi beberapa pihak terkait khususnya dari kemendiknas guna memperlancar usaha penggiringan dana ke perusahaan Nazaruddin. Oleh sebab itu ia didakwa oleh penuntut umum dengan pasal tindak pidana korupsi

Pentingnya Penerapan Social Business Model Canvas dalam Merancang Inovasi Sosial di Bidang Hukum

  Hingga saat ini, akses masyarakat terhadap keadilan masih terbilang sulit. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengukuran pemerintah terkait akses keadilan di masyarakat (indeks) tahun 2019 lalu. Meskipun Indonesia memiliki skor cukup baik yakni 69,6 [1] dari maksimum 100, ternyata masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Salah satunya terkait akses akan layanan hukum seperti bantuan hukum dari pengacara.   Pandemi COVID-19 semakin mempersulit kondisi ini, mengingat ruang gerak masyarakat yang terbatas, akses keadilan pun semakin sulit dijangkau.   Berkaitan dengan kondisi tersebut, Kehadiran inovasi teknologi yang berbentuk situs cukup penting dan merupakan sebuah kebutuhan.   khususnya ketika banyak masyarakat sulit mendapat bantuan hukum lantaran persebaran Lembaga penyedia layanan bantuan hukum di Indonesia tidak merata.   Berbagai inovasi atau situs-situs di bidang hukum sudah digagas oleh banyak pihak, tidak hanya pemerintah dan swasta melainkan juga dilakukan oleh org